23/06/15

Penerapan Perpajakan Internsional



Perjanjian Perpajakan Internasional
Perjanjian Internasional
Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas. Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatangan, pengesaha, pertukaran dokumen perjanjian/ nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:
a.       Ratifikasi
b.      Aksesi
c.       Penerimaan
d.      Penyetujuan
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila barkenaan dengan : masalah politik, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara republik indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan/ atau hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk masalah tersebut, dilakukan dengan keputusan presiden (Keppres). Pembuatan perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan dengan itikad baik.
b.      Perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan, saling menguntukan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun internasional yang berlaku.

Tahapan Pembuatan perjanjian Internasional
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, adalah sebagi berikut:
a.       Penjajakan
Pada tahap pertama, negara yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan suatu perjanjian perpajakan dengan indonesia. Sebulam permohonan diajukan, didahului dengan pembicaraan atau penjajkan antara perwakilan negara asing bersangkutan di indonesia dengan pihak-pihak yang berwenang di Indonesia ( departemen Luar negeri dan Departemen Keuangan). Dapat pula terjadi permohonan untuk mengadakan perjanjian perpajakan diajukan oleh pihak Indonesia, yaitu dalam hal justru Indonesia yang merasa kepentingan untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan. Dalam hal negara asing yang mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia, permohonan resminya biasanya diajukan oleh duta besarnya masing-masing kepada Departemen Luar negeri Republik Indonesia. Departemen Luar Negeri republik Indonesia kemudian meneruskan permohonan tersebur kepada instansi terkait, yaitu departemen keuangan dan direktorat jendaral pajak sebagai instansi yang menangani masalah-masalah perpajakan di Indonesia. Selanjutnya, direktorat jendral pajak akan memberikan jawabannya kepada departemen luar negeri. Departemen luar negeri kemudian meneruskan jawaban tersebut kepda pihak yang mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, yang memberikan jawaban resminya adalah departemen luar negeri atas nama Indonesia. Jawaban dapat berisi persetujuan atas permohonan, dapat pula berisi penolakan kalau dipandang dari segi ekonomi, politik, maupun alasan-alasan lainnya, kurang dirasakan manfaat bagi Indonesia. Disamping itu, jawabannya dapat berisi pula penundaan, kalau kondisinya belum memungkinkan bagi indonesia untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan.

b.      Perundingan
Apabila permohonan yang diajukan untuk mengadakan perjanjian itu disetujui oleh pihak Indonesia, tahap selanjutnya yaitu melaksanakan saling surat menyurat antara kedua belah pihak langsung maupun melalaui saluran-saluran diplomatik untuk menentukan kapan perundingan pertama akan diadakan, dimana tempatnya dan merundingklan masalah-masalah protokoler lainnya. berdasarkan kebiasaan-kebiasaan protokoler yang berlaku antar bangsa, tempat perundingan biasanya diadakan secara bergantian di Indonesia dan di nergara asing yang mengadakan perjanjian dengan indonesia itu. dalam perundingan pertama, biasanya masing-masing delagasi mengajukan draft kerja konvensi perpajakan masing-masing sebagai bahan yang akan dibahas dalam perundingan. Istilah konvensi biasanya digunakan bagi perjanjian-perjanjian formal yang bersifat multilateral. Istilah ini juga meliputi bagian-bagian yang disetujui oleh lembaga-lembaga internasional seperti misalnya konvensi buruh internasionla. Namun pada naskah resmi perjanjian-perjanjian perpajakan yang diadakan oleh indonesia dipergunakan istilah agreement, walaupun perjanjian-perjanjian perpajakan yang bersangkutan tingkatannya merupakan suatu traktat, bukan agreement. Hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan perjanjian perpajakan di Indonesia memakai model indonesia yang merupakan campuran antara model konvensi perpajakan yang disusun oleh OECD dan united national model. Disamping itu, yang dijadikan acuan adalah naskah perjanjian-perjanjian perpajakan yang telah diadakan oleh masing-masing negara dengan negara lain.
c.       Penerimaan
Setelah beberapa kali pembahasan dan semua materi permasalahan telah dibahas dan disepakati, proses berikutnya adalah dilakukan pemanfaatan atas draft perjanjian perpajakan oleh masing-masing ketua delegasi. Draft perjanjian perpajakan yang telah diparaf tersebut kemudian oleh masing-masing delagasi perundingan disampaikan kepada masing-masing pemerintahnya untuk mendapatkan persetujuan. Di Indonesia, draft tersebut disampaikan ke Menteri keuangan, menteri luar negeri dan sekretariat negara, dengan dilampiri laporan singkat mengenai perkembangan yang terjadi dalam perundingan.

d.      Penandatanganan
Apabila draft perjanjian tersebut telah mendapat persetujuan dari pemerintah masing-masing, tahapan proses berikutnya adalah penandatangan perjanjian oleh wakil-wakil dari masing-masing negara. Di Indonesia, yang berwenang untuk menandatangani suatu perjanjian perpajakan adalah menteri luar negeri. Dalam hal penandatangan suatu perjanjian perpajakan, wewenang ini bisa dilimpahkan ke pejabat terkait lain, misalnya menteri keuangan atau duta besar Indonesia yang bertugas di negara yang mengadakan perjanjian perpajakan dengan indonesia. Berakhirnya perjanjian internasional adalagh apabila terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian tersebut telah dicapai, terdapat perubahan mendasar yang memperngaruhi pelaksanaan perjanjian, salah satunya tihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, meuncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek perjanjian hilang atau terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Pengertian hukum pajak internasional
Ottmar Buhler yang terjemakan oleh Agus Setiawan (2006) mendefinisikan, “Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai objek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan”. Menurut negara-negara anglo sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai berikut:
1.      National external tax low
Merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek yang ada diluar negeri).
2.      Foregin tax low
Adalah keseluruhan perundangan-perundangan dan peraturan-peraturan pajak dari negara-negara yang ada diseluruh dunia.
3.      Internasional tax low
Dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.

Sumber-sumber hukum pajak internasionalsumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin dikaji, sehingga penelitian ini hanya mempersempit  yang berkaitan dengan negara indonesia sumber-sumber hukum tersebut antara lain:
a.       Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing antara lain:
1.      Peraturan perpajakan nasional yang mengatur P3B tentang “pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.      Peraturan perpajakan nasional tentang: subjek pajak luar negeri dan bentuk usaha tetap.
3.      Peraturan perpajakan nasional tentang: tidak termasukk subjek pajak.
4.      Peraturan perpajakan nasional tentang: hubungan istimewa, bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan.
5.      Peraturan perpajakan nasional tentang: kredit pajak luar negeri.
6.      Peraturan perpajakan nasional tentang: pemotongan pajak atas subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari indonesia.
b.      Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
1.      Perjanjian bilateral yang diwujudkan dengan adanya perjanjian penghindaran pajak berganda.
2.      Perjanjian multilateral, perjanjian ini seperti konvensi wina.
c.       Keputusan hakim nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional. hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakn internasional, atau keputusan pengadilan internasional den haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Perjanjian penghindaran pajak berganda
Pengertian perjanjian penghindaran pajak berganda
Pengertian perjanjian penghindaran pajak berganda dikemukakan sebagai perjanjian pajak antar kedua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan. Karena itu, perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.
Tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda
Adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda.
Disampinh itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu:
a.       Mencegah timbulnya pengelakan pajak.
b.      Memberikan kepastian
c.       Pertukaran informasi
d.      Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B
e.       Non diskriminasi
f.       Bantuan dalam penagihan pajak
Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha.
Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan.
b.      Peningkatan investasi modal diluar negeri
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalty dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan  yang tinggi, maka dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c.       Peningkatan sumber daya manusia
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara dimana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan , maka dipastikan dapat meningkatan kemampuan sumber daya mausia yang lebih memadai. Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan.
d.      Exchange og information guna mencegah pengelakan pajak
Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
e.       Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antat kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

Metode penghindaran pajak berganda
Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari beberapa negara, perlu diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan pajak. Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan ganda antara lain,:
a.       Metode pemajakan Unilateral
Metode ini mengatur bahwa negara republik indonesia mempunyai kekuatan hukum didalamnya yang mengatur masyarkat atau badan internasional, dan ditetapkan sepihak oleh negara indonesia, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kedaulatan negara kita. Penrapan metode ini adalah dengan  diberlakukannya PPh pasal 26 UU PPh. Apabila tidak ada perjanjian tax treaty atau konvensi internasional, maka negara indonesia memiliki hak atau kewenangan internasional atau badan internasional yang memperoleh pendapatan dari negara indonesia. Seperti halnya pajak penduduk indonesia di negara lainnya, yang telah dikenakan pajak, atas pemajakan tersebut pajak yang telah dibayar dinegara lainnya dapat dijadikan penguran, guna menghindari pemajakan ganda, sebagaimana tertuang dalam pasal 24 UU PPh.
b.      Metode pemajakan bilateral
Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan perjanjian ke dua negara. Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Penerapan pajak ganda diberlakukan dengan mengurangi jumlah pajak terutang, misalnya untuk PPh pasal 23 atas deviden yang semula 15%, dapat dikurangkan menjadi 10% karena deviden tersebut tentu akan dikenakan pajak lagi di negara dimana mereka berkedudukan.
c.       Metode pemajakan Multilateral
Metode ini didasarkan pada konvensi yang ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani oleh beberapa negara, misalnya konvensi wina. Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing, organisasi internasional dibawah naungan PBB, dan penduduk asing yang bekerja di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya pemajakan tetap berada di negara mana mereka berdomisili. Metode penting lainnya yang dipakai untuk menghindarkan pajak ganda internasional, berdasarkan penjelasan yang tertuang dalam Un model Commentary adalah sebagai berikut:
a.       Metode pembebasan. Pengecualian pajak
b.      Metode kredit pajak
c.       Metode lainnya.

A.    Metode pembebasan
1.      Pembebasan subjek pajak
Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang berada di Indonesia, metode ini muncul dikarenakan adanya konvensi wina pada tanggal 18 april 1961 yang dihadiri 81 negara diantaranya indonesia, yang mengatur tentang kekebalan para diplomat terutama perpajakan wakil-wakil diplomatik. Undang-undang pajak penghasilan pasal 3 juga menegaskan bahwa yang tidak termasuk subjek pajak adalah:
a.       Badan perwakilan negara asing
b.      Pejabat-pejabat perwakilan diplomati, dan konsultasn atau pejabat-pejabat lain dinegara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan negara Indonesia dan di indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik.
c.       Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat:
1.      Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
2.      Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari indonesia selain pemberian kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
d.      Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan meneteri keuangan dengan syarat bukan wargan negara indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2. Pembebasan objek pajak
Metode ini tidak menghitung kembali penghasilan dari luar negeri, termasuk kerugian atau perpajakannya dinegara domisili. Dengan demikian pengahasilan atau laba dari luar negeri dianggap terpisah dan tidak perlu dikenakan oajak lagi, seperti PPh Final.
3.    Pembebasan pajak
Pada dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan maupun kerugian dari luar negeri pajak yang dibebaskan sebanding dengan penghasilan luar negeri dibadning keseluruhan dikalikan pajak terutang atas keseluruhan. Bilamana dari luar negeri mengalami kerugian, maka kerugia tersebut tetap diperhitungkan, sehingga akan mengurangi pajak terutang dalam negeri, meskipun tidak ada pembebasan pajak, karena kerugian secara otomatis telah mengurangi pajak.
B.       Metode pengkreditan pajak
Metode ini pada prinsipnya menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar negeri dan jumlah pajak terutang keseluruhan di negara domisili. Pajak yang telah dibayar di luar negeri dapat mengurangkan pajak teruamg di negara domisili. Metode ini dibagi dalam tiga macam:
1.      Kredit penuh
Metode ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk mengkreditkan seluruh pajak yang dibayar diluar negeri, sehingga jika tarif pajak di luar negeri lebih besar dibandinghkan dengan tarif pajak di dalam negeri, dipastikan akan terjadi restitusi pajak. Dalam hal ini berarti negara domisili iktu membayar jumlah pajak yang terutang di luar negeri, sebagai mana diatur dalam UU PPh pasal 24 tentang Tax Credit.
2.      Kredit terbatas
Metode ini membatasi pajak yang dibayar diluar negeri, dapat dikreditkan atau dapat dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas pajak yang dibayr di dalam negeri atau paling tinggi adalag sebesar tarif pajak yang ada di dalam negeri.
3.      Kredit Fiktif
Metode ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong investor ke dalam negeri, namun untuk menghindari pemajakan di negara investor, maka dibuatlah kredit fiktif ini, sehingga pemajakan bebas untuk di negara lainnya dan negara domisili. Metode ini tidak digunakan di Indonesia.



Daftar Pustaka
Advianto, L.Y Hari sih. Transaksi Hubungan Istimewa. Majalah gagas pajak edisi 3 maret 2011.
Aprilina, Ria. 2011. Pengaruh penerapan sistem modernisasi adminitrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Dewan standar akuntansi keuangan. Pernyataan standar akuntansi keuangan no. 7 (revisi 2010). Jakarta: ikatan akuntan Indonesia, 2010.
Ervina. 2013. Analisa pengaruh penerapan tax treaty indonesia-hongkong terhadap investasi modal di indonesia.
Kristanto, Septian bayu. 2012. Transaksi hubungan istimewa dan pengaruhnya terhadap tarif pajak efektif perusahaan. Universitas kristen krida wancaa.
Kristanto, Septian bayu. 2012. Transaksi hubungan istimewa dan pengaruhnya terhadap tarif pajak efektif perusahaan. Universitas kristen krida wancaa.
Mangoting, Yenni. Tax Planning: Sebuah  Pengantar Sebagai Alternatif Meminamalkan Pajak. Jurnal akuntansi dan keuangan Universitas Petra.
Prijadi, Budi. 2004. Survei Transparansi Fiskal di beberapa daerah sebagai bahan laporan ke lembaga internasional.
Rahayu, Ning. 2010. Evaluasi Regulasi Praktik Penghindaran Pajak Penanaman modal asing. Jurnal akuntansi dan keuangan indonesia, vol. 7, no. 1.