BAB
1
Pengertian Hukum.
Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan
hukum sehingga dapat diartikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Tujuan Hukum.
Dengan adanya Hukum di Indonesia maka setiap perkara dapat
diselesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku, selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan
mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Sumber-sumber Hukum.
1. Sumber-sumber
hukum Material.
2. Sumber-sumber
hukum formal.
3. Undang-undang
(statute).
4. Kebiasaan
(costum).
5. Keputusan-keputusan
hakim.
6. Traktat
(treaty).
7. Pendapat
Sarjana hukum (doktrin).
Kodifikasi Hukum.
Adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertulis dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Dari segi bentuknya hukum di bagi dua,
1.
Hukum tertulis.
2. Hukum tak
tertulis.
Kaidah atau Norma
Tujuan Norma adalah untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik
aman dan tertib. Contoh jenis dan macam norma :
1.
Norma Sopan Santun.
2.
Agama.
3. Hukum.
Pengertian ekonomi.
Menurut M.Manulang ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari
masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Istilah ekonomi berasal
dari bahasa Yunani, Oikos berarti rumah tangga, dan Nomos berarti
aturan.
Adapun ilmu ekonomi di bagi menjadi 3,yaitu :
1. Deskriptif
2. Teori
·
Ekonomi Mikro
·
Ekonomi Makro
Hukum Ekonomi
Adalah suatu hubungan sebab
akibat pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang
lainya dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Adanya hukum ekonomi di latar
belakangi oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.
Hukum ekonomi di bagi menjadi 2 yaitu:
1.
Hukum ekonomi pembangunan
2.
Hukum ekonomi social
Kasus
Hukum Ekonomi Di Indonesia
Indonesia saat ini, kebutuhan
masyarakat akan barang atau jasa semakin terus meningkat dan tidak diseimbangi
dengan pengelolaan yang baik dari sumber daya manusia, segi sumber daya alam
dan segi pemerintah. Sehingga membuat tekanan terhadap lingkungan serta sumber
kehidupan lain-nya. Hal ini menimbulkan masalah dan tantangan mengenai
bagaimana membangun perekonomian yang baik serta didukung dengan pengelolaan
yang baik pula. Oleh karena itu. Hukum untuk mengatur kegiatan perekonomian
saat ini perlu dibuat dan dilaksanakan secara tegas, tanpa pandang bulu atau
membeda-bedakan.
Tetapi dalam kenyataannya, hukum
di Indonesia terkadang sudah tidak murni lagi, banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, Salah satu masalahnya adalah pembangunan kegiatan
usaha illegal yang meraja lela serta adanya kecurangan-kecurangan dari pelaku
usaha yang kadang kegiatannya dibiarkan oleh pihak berwajib, sungguh
mengenaskan memang sehingga muncul keresahan kepada masyarakat, dan ini akan
menjadi salah satu factor terjadinya pergolakan di Indonesia.
Dan apabila kita berbicara tentang ekonomi,
pastinya tidak terlepas dari factor politik, karena politik dan ekonomi adalah
suatu hal yang tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan masalah hukum di
Indonesia, lebih terfokus dengan unsur politik dan ekonomi. Jadi antara hukum, politik, dan ekonomi
sangat berkaitan kuat. Untuk kondisi ekonomi saat ini, public banyak menilai
ekonomi di Indonesia buruk. Salah satu perstiwa yang menyebabkan pergolakan
hukum ekonomi , yang pada saat ini masih belum dapat dikupas tuntas oleh badan
–badan dan lembaga-lembaga pemerintah adalah “Kasus Bank Century” berikut ini
adalah kronologi kejadian-nya.
“Krisis yang dialami Bank Century bukan
disebabkan karena adanya krisis global, tetapi karena disebabkan permasalahan
internal bank tersebut. Permasalahan internal tersebut adalah adanya penipuan
yang dilakukan oleh pihak manajemen bank terhadap nasabah menyangkut:
Pertama,
Penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century
sebesar Rp 1,4 Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar
Rp 1,4 Triliiun) Penjualan reksa dana fiktif produk Antaboga Deltas Sekuritas
Indonesia. Dimana produk tersebut tidak memiliki izin BI dan Bappepam LK.
Kedua, permasalahan tersebut menimbulkan
kerugian yang sangat besar bagi nasabah Bank Century. Dimana mereka tidak dapat
melakukan transaksi perbankan dan uang mereka pun untuk sementara tidak dapat
dicairkan.
Kasus Bank Century sangat merugikan nasabahnya. Dimana setelah
Bank Century melakukan kalah kliring, nasabah Bank Century tidak dapat melakukan
transaksi perbankan baik transaksi tunai maupun transaksi nontunai. Setelah
kalah kliring, pada hari yang sama, nasabah Bank Century tidak dapat menarik
uang kas dari ATM Bank Century maupun dari ATM bersama. Kemudian para nasabah
mendatangi kantor Bank Century untuk meminta klarifikasi kepada petugas Bank.
Namun, petugas bank tidak dapat memberikan jaminan bahwa besok uang dapat
ditarik melalui ATM atau tidak. Sehingga penarikan dana hanya bisa dilakukan
melalui teller dengan jumlah dibatasi hingga Rp 1 juta. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran nasabah terhadap nasib dananya di Bank Century.
Setelah tanggal 13 November 2008, nasabah Bank Century mengakui
transaksi dalam bentuk valas tidak dapat diambil, kliring pun tidak bisa,
bahkan transfer pun juga tidak bisa. Pihak bank hanya mengijinkan pemindahan
dana deposito ke tabungan dolar. Sehingga uang tidak dapat keluar dari bank.
Hal ini terjadi pada semua nasabah Bank Century. Nasabah bank merasa tertipu
dan dirugikan dikarenakan banyak uang nasabah yang tersimpan di bank namun
sekarang tidak dapat dicairkan. Para nasabah menganggap bahwa Bank Century
telah memperjualbelikan produk investasi ilegal. Pasalnya, produk investasi
Antaboga yang dipasarkan Bank Century tidak terdaftar di Bapepam-LK. Dan sudah
sepatutnya pihak manajemen Bank Century mengetahui bahwa produk tersebut adalah
illegal.
Hal ini menimbulkan banyak aksi protes yang dilakukan oleh
nasabah. Para nasabah melakukan aksi protes dengan melakukan unjuk rasa hingga
menduduki kantor cabang Bank Century. Bahkan para nasabah pun melaporkan aksi
penipuan tersebut ke Mabes Polri hingga DPR untuk segera menyelesaikan kasus
tersebut, dan meminta uang deposito mereka dikembalikan. Selain itu, para
nasabah pun mengusut kinerja Bapepam-LK dan BI yang dinilai tidak bekerja
dengan baik. Dikarenakan BI dan Bapepam tidak tegas dan menutup mata dalam
mengusut investasi fiktif Bank Century yang telah dilakukan sejak tahun 2000
silam. Kasus tersebut pun dapat berimbas kepada bank-bank lain, dimana
masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap sistem perbankan nasional. Sehingga
kasus Bank Century ini dapat merugikan dunia perbankan Indonesia.
Analisis dari kasus Bank Century adalah
1)
Dari sisi manager Bank
Century menghadapi dilema dalam etika dan bisnis. Hal tersebut dikarenakan
manager memberikan keputusan pemegang saham Bank Century kepada Robert
Tantular, padahal keputusan tersebut merugikan nasabah Bank Century. Tetapi
disisi lain, manager memiliki dilema dimana pemegang saham mengancam atau
menekan karyawan dan manager untuk menjual reksadana fiktif tersebut kepada
nasabah. Manajer Bank Century harus memilih dua pilihan antara mengikuti
perintah pemegang saham atau tidak mengikuti perintah tersebut tetapi dengan
kemungkinan dia berserta karyawan yang lain terkena PHK. Dan pada akhirnya
manager tersebut memilih untuk mengikuti perintah pemegang saham dikarenakan
manager beranggapan dengan memilih option tersebut maka perusahaan akan tetap
sustain serta melindungi karyawan lain agar tidak terkena PHK dan sanksi lainnya.
Walaupun sebenarnya tindakan manager bertentangan dengan hukum dan etika
bisnis. Solusi dari masalah ini sebaiknya manager lebih mengutamakan
kepentingan konsumen yaitu nasabah Bank Century. Karena salah satu kewajiban
perusahaan adalah memberikan jaminan produk yang aman.
2)
Dari sisi pemegang saham
yaitu Robert Tantular, terdapat beberapa pelanggaran etika bisnis, yaitu
memaksa manajer dan karyawan Bank Century untuk menjual produk reksadana dari
Antaboga dengan cara mengancam akan mem-PHK atau tidak memberi promosi dan
kenaikan gaji kepada karyawan dan manajer yang tidak mau menjual reksadana
tersebut kepada nasabah. Pelanggaran yang terakhir adalah, pemegang saham
mengalihkan dana nasabah ke rekening pribadi. Sehingga dapat dikatakan pemegang
saham hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan perusahaan,
karyawan, dan nasabahnya (konsumen). Solusi untuk pemegang saham sebaiknya
pemegang saham mendaftarkan terlebih dahulu produk reksadana ke BAPPEPAM untuk
mendapat izin penjualan reksadana secara sah. Kemudian, seharusnya pemegang
saham memberlakukan dana nasabah sesuai dengan fungsinya (reliability), yaitu
tidak menyalah gunakan dana yang sudah dipercayakan nasabah untuk kepentingan
pribadi.
3)
Dalam kasus Bank Century
ini nasabah menjadi pihak yang sangat dirugikan. Dimana Bank Century sudah
merugikan para nasabahnya kurang lebih sebesar 2,3 trilyun. Hal ini menyebabkan
Bank Century kehilangan kepercayaan dari nasabah. Selain itu karena dana
nasabah telah disalahgunakan maka menyebabkan nasabah menjadi tidak sustain,
dalam artian ada nasabah tidak dapat melanjutkan usahanya, bahkan ada nasabah
yang bunuh diri dikarenakan hal ini. Solusi untuk nasabah sebaiknya dalam
memilih investasi atau reksadana nasabah diharapkan untuk lebih berhati-hati dan
kritis terhadap produk yang akan dibelinya. Jika produk tersebut adalah berupa
investasi atau reksadana, nasabah dapat memeriksa kevalidan produk tersebut
dengan menghubungi pihak BAPPEPAM.
4)
Dikarenakan kasus ini
kinerja BI dan BAPPEPAM sebagai pengawas tertinggi dari bank-bank nasional
menjadi diragukan, karena BI dan BAPPEPAM tidak tegas dan lalai dalam memproses
kasus yang menimpa Bank Century. Dimana sebenarnya BI dan BAPPEPAM telah mengetahui
keberadaan reksadana fiktif ini sejak tahun 2005. Untuk Bank-bank nasional
lainnya pengaruh kasus Bank Century mengakibatkan hampir terjadinya efek domino
dikarenakan masyarakat menjadi kurang percaya dan takut bila bank-bank nasional
lainnya memiliki “penyakit” yang sama dengan Bank Century dikarenakan krisis
global, dengan kata lain merusak nama baik bank secara umum. Solusi untuk BI
dan BAPPEPAM sebaiknya harus lebih tegas dalam menangani dan mengawasi
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank yang diawasinya. Selain
itu sebaiknya mereka lebih sigap dan tidak saling melempar tanggung jawab satu
sama lain. Dan saran untuk Bank Nasional lainnya, sebaiknya bank-bank tersebut
harus lebih memperhatikan kepentingan konsumen atau nasabah agar tidak
terjadi kasus yang sama.
Kesimpulan dari kasus diatas adalah:
dapat disimpulkan bahwa pembenahan hukum ekonomi di
Indonesia sebaiknya didahului dengan penanganan kasus-kasus korupsi yang masih
merajalela di Indonesia, karena tindak korupsi menurut saya dirasa sangat
berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Dan untuk menangani kasus-kasus korupsi
tersebut dirasa pula tidak cukup hanya dengan memberikan wewenang kepada KPK
dan lembaga pemerintahan lain-nya untuk menindak kasus korupsi, melainkan juga
dengan menanamkan rasa kesadaran dan perbaikan moral setiap individu masyarakat
Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat.
BAB 2
Subjek dan Objek dalam Pengadilan Tata
Usaha Negara.
A.
Subjek PTUN
Yang menjadi
subjek dalam Pengadilan Tata Usaha Negara ialah:
1. Penggugat
Penggugat
adalah :
a)
Orang
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara.
b)
Badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata
Usaha Negara.
Jadi
, pada pemeriksaan disidang pengadilan di lingkungan PTUN tidak dimungkinkan
badan atau pejabat, bertindak sebagai penggugat.
Dalam
kepustakaan hukum Tata Usaha Negara yang ditulis sebelum berlakunya
Undang-undang No. 5 tahun 1986, masih dimungkinkan badan atau pejabat Tata
Usaha Negara bertindak sebagai penggugat[1]. Tetapi setelah berlakunya
Undang-undang No. 5 tahun 1986 , hal tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi.
Hanya
saja untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
ada yang mempunyai pendapat, bahwa BUMN dapat juga bertindak sebagai penggugat
dalam sengketa Tata Usaha Negara, khusus tentang sertifikat tanah, karena dasar
hak dari gugatan adalah keperdataan dari BUMN tersebut[2]. Disini BUMN tidak
bertindak sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata.
Oleh
karena unsur kepentingan ada ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1
sangat penting dan menentukan agar seseorang atau badan hukum perdata dapat
bertindak sebagai penggugat, maka perlu terlebih dahulu diketahui apa yang
dimaksud dengan “ Kepentingan” pada
ketentuan tersebut.
Menurut
INDROHARTO,
pengertian kepentigan dalam kaitannya dengan hukum acara tata usaha Negara itu
mengandung arti , yaitu :
a.
Menunjuk
kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum.
b.
Kepentingan
proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan
yang bersangkutan. [3]
Selanjutnya
oleh Indroharto dikemukakan bahwa nilai yang harus dilindungi oleh hukum
tersebut ditentukan oleh factor-faktor sebagai berikut :
a. Kepentingan
dalam kaitannya yang berhak menggugat
Atas dasar
yurisprudensi peradilan perdata yang ada sampai sekarang, kepentuingan yang
harus dilindungi oleh hukum yang baru ada, jika kepentingan tersebut jelas;
1) Ada hubungannya dengan penggugat
sendiri.
2) Kepentingannya harus bersifat pribadi
3) Kepentingan itu harus bersifat langsung
4) Kepentingan itu secara objektif dapat
ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.
b. Kepentingan
dalam hubungannya dengan keputusan tata usaha Negara yang bersangkutan.
Indroharto
juga mengemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah
terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum. Jadi barang siapa
menggunakan haknya untuk berproses itu dianggap ada maksudnya. Berproses yang
tidak memiliki tujuan apa-apa harus dihindarkan.
2. Tergugat
Yang disebut dengan
tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya, atau yang dilimpahkan kepadanya yang
digugat oleh orang atau badan hukukm perdata.
Dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angkan 6 tersebut dapat
diketahui bahwa sebagai tergugat dibedakan antara :
a) Badan Tata
usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau
badan hukum perdata.
Disini
sebagai tergugat adalah jabatan pada badan Tata usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang dari Badan Tata Usaha Negara
tersebut atau wewenang yang dilimpahkan padanya.
Badan
tata usaha Negara sendiri tidak mungkin dapat mengeluarkan keputusan tata usaha
Negara. Yang dapat mengeluarkan keputusan tata usaha Negara adalah jabatan pada
tata usaha Negara yang dalam kegiatanya sehari-hari dilakukan oleh pemangku
jabatan yang merupakan personifikasi dari jabatan pada badan tata usaha Negara
tersebut. Sebagai salah stu contoh adalah badan pertimbangan kepegawaian yaitu
badan yang termasuk lembaga ekstra structural yang bertanggung jawab kepada
presiden[4]
b) Pejabat
atau Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya yang digugat
oleh orang.
Disini
sebagai tergugat adalah jabatan Tata Usaha Negara yag mengeluarkan keputusan
Tata usaha Negara berdasarkan wewenangnya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Oleh
undang-undang no 5 tahun 1986 istilah “ jabatan “ tersebut disebut dengan “
pejabat “ , yang akibatnya dapat menyesatkan, karena pejabat adalah sama dengan
pemangku jabatan. Akan tetapi meskipun demikian istilah pejabat tetap kami
pergunakan karna undang-undang no 5 tahun 1986 memang mempergunakan istilah
tersebut.
Jadi
sebenarnya yang menjadi tergugat di dalam sengketa tata usaha Negara ialah
jabatan tata usaha Negara dan bukan pejabat tata usaha Negara.
B. Objek
PTUN
Berdasarkan
ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU no. 5 tahun 1986,
dapat disimpulkan yang dapat menjadi objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha
Negara adalah:
1) Keputusan
Tata Usaha Negara
Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.[5]
Istilah
penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk
keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan
itu diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya
seperti surat keputusan pengakuan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu
diharuskan untuk kemudahan bagi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau
nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
menurut Undang-Undang ini apabila sudah jelas.
2) Penetapan
norma-norma hukum secara bertingkat
Setiap
perbuatan hukum badan atau Pejabat tata Usaha Negara itu selalu merupakan
penentuan norma-norma hukum.
Didalam
Tata Usaha Negara itu sering terjadi penentuan norma-norma hukum secra
bertingkat dalam dua atau lebih fase-fase. Sebab pengaturan suatu bidang
kehidupan itu dalam kenyataannya tidak cukup dilakukan dengan penentuan
normanya oleh suatu Undang-undang saja, tetapi sering merupakan kombinasi dari
peraturan-peraturan yang bertingkat dan satu dengan yang lain berkaitan.
Sebagaimana kita
lihat di awal, maka masing-masing bentuk perikatan administrasi itu mengandung
norma-norma yang ada kalanya bersifat umum, dan adakalanya bersifat sangat
konkret seperti pada keputusan IMB.[6]
3) Penetapan
tertulis (Beschikking)
Penetapan
tertulis inilah yang merupakan satu-satunya obyek kompetensi dalam Peradilan
TUN. Penetapan tertulis merupakan keputusan administrasi yang bersifat sepihak.
Sebagai salah satu bentuk perbuatan hukum administrasi penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan Atau Pejabat adminstrasi juga bersifat sepihak. [7]
Contoh
Kasus dan anilisisnya.
Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan Direktur PT Genta Pranata yang
diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait terhadap Kepala BPN (tergugat I),
Kepala Kantor Pertanahan Bogor (tergugat II) dan PT Buana Estate selaku
tergugat II intervensi.
Dolok
Sirait selaku penggugat I dan HM Sukandi penggugat II yang diwakili kuasa
hukum-nya Denny Kailimang menggugat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/
BPN/2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa
Hambalang, Keca-matan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dalam
penjelasannya kepada wartawan, kemarin, kuasa tergugat II intervensi Drs Anim
San-joyo Romansyah mengatakan, sejak awal pihaknya yakin akan dimenangkan PTUN
dalam gugatan tersebut karena berada dalam posisi yang benar. Terbukti, PTUN
menolak gugatan pihak penggugat,” katanya menanggapi putusan PTUN Jakarta,
Kamis lalu.
Adapun
obyek gugatan dalam perkara tersebut adalah SK Kepala BPN No 9/HGU/BPN/2006
tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Kabu-paten Bogor
atas na-ma PT Buana Estate yang diterbitkan tergugat 1 Juni 2006. Sertifikat
HGU No 149/Ham-balang atas nama PT Buana Estate yang diterbitkan oleh tergugat
II pada 15 Juni 2006 atas tanah seluas 4.486.975 M2.
Dalam
gugatannya, penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas
2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian
tanah ob-yek Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas
tanah yang ter-letak di Kabupaten Bogor atas nama PT Buana Estate.
Penggugat
juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena
te-lah memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang telah
menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960.
Namun
majelis hakim yang diketuai oleh Kadar Slamet menyatakan penerbitan HGU PT
Bu-ana Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan sertifikat
tidak cacat hu-kum. Majelis hakim juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran
lahan oleh PT Buana Estate. Atas dasar tersebut majelis hakim menolak gugatan
penggugat.
Majelis
hakim juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14
hari untuk menentukan apakah banding atau menerima putusan tersebut.
Para pihak dalam
kasus ini yaitu:
1)
Direktur
PT Genta Pranata sebagai penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok F
Sirait
2)
HM
Sukandi sebagai penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang
Melawan
1)
Kepala
BPN sebagai tergugat I
2)
Kepala
Kantor Pertanahan Bogor sebagai tergugat II
3)
PT
Buana Estate sebagai tergugat II intervensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar