BAB
III
Hukum
Perdata
Hukum
Perdata adalah
ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian
hukum menjadi dua yakni hukum
publik dan hukum
privat atau
hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Sejarah Hukum
Perdata
Hukum perdata
Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan
hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum
yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum
dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813),
kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan
terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814
Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri
Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper
disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh
Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan
Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua
kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah
terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
BW [atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
WvK [atau yang
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van
Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang
disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Yang dimaksud
dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh
Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum
perdata barat (Belanda) yang pada
awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa
Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW.
Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan
Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU
Kepailitan.
Kodifikasi KUH
Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April1847 melalui Staatsblad No. 23 dan
berlaku Januari 1848.
Setelah
Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku
sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar
ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUH Perdata
KUH Perdata
terdiri atas empat 4 bagian, yaitu:
Buku 1 tentang
Orang / Van Personnenrecht
Buku 2 tentang
Benda
Buku 3 tentang
Perikatan / Verbintenessenrecht
Buku 4 tentang
Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
Contoh Kasus Hukum Perdata
Hukum Perdata
adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu
dalam masyarakat. Hukum perdata juga disebut sebagai hukum privat atau hukum
sipil dan dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, seperti misalnya hukum keluarga,
hukum harta kekayaan, hukum benda, hukum perikatan dan hukum waris.
Hukum perdata yang ada di Indonesia adalah hukum
perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang
berlaku di Indonesia tersebut adalah hukum perdata yang berasal dari hukum
perdata barat, yaitu Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda yang dikenal dengan
istilah Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W
Contoh Hukum Perdata Warisan
Seorang ayah yang ingin
mewariskan harta bendanya ketika kelak ia meninggal tentunya akan menuliskan
sebuah surat wasiat. Namun ketika seorang ayah tersebut telah meninggal, dimana
kemudian terjadi selisih paham antara anak-anaknya dan berujung kepada
pelaporan salah seorang anak kepada pihak yang berwenang tentang perselisihan
yang terjadi, maka kasus tersebut juga termasuk salah satu contoh kasus hukum
perdata.
Contoh Hukum Perdata Perceraian
Bila terjadi suatu masalah
didalam suatu rumah tangga yang tidak menemukan solusi atau jalan keluar, maka
sebagai jalan keluar alternatif yang diambil adalah perceraian. Suatu
perceraian tersebut mungkin menjadi jalan satu-satunya yang dapat ditempuh
untuk mengakhiri permasalahan yang terjadi didalam rumah tangga tersebut. Kasus
perceraian ini merupakan salah satu contoh yang masuk dalam kategori hukum
perdata.
Contoh Kasus Perdata Pencemaran Nama Baik
Seorang artis merasa terhina
atas pemberitaan sebuah media massa. Gosip tersebut telah digosipkan oleh media
menjadi seorang pengedar dan pemakai psikotropika. Karena tidak terima dengan
pemberitaan tersebut, maka sang artis melaporkan media massa tersebut ke polisi
atas tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak
menyenangkan. Kasus antara artis dan media massa tersebut juga termasuk menjadi
salah satu contoh kasus hukum perdata.
ANALISIS HUKUM PERDATA PADA KASUS PLAGIAT
Plagiatisme di Perguruan Tinggi sudah
jadi budaya
GEMA-
Penjiplakan yang semestinya dihindari di dunia akademik justru semakin merebak
di perguruan tinggi. Pelakunya bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dosen, guru
besar dan calon guru besar dengan berbagai modus. Plagiatisme atau penjiplakan
hasil karya orang lain masih menjadi persoalan serius di perguruan tinggi (PT),
karena tidak mudah untuk mengetahui apakah suatu jarya plagiatisme atau bukan.
“Plagiatisme di Perguruan Tinggi saat ini
sudah menjadi bagian dari budaya yang menjadi penyakit sosial atau patologi
sosial,”kata Sentot Prihandayani Sugiti Komarudin, narasumber dialog terbuka
yang diadakan oleh mahasisiwa ekstrakampus UIN Maliki di gedung pertemuan
perpustakaan lantai 2(27/3).
Menurut dia, plagiatisme selama ini
susah dideteksi, sebab hanya diketahui oleh penulis yang bersangkutan atau
saksi korban plagiatisme. Namun hal itu bisa diketahui seandainya saksi korban
melaporkan karya tersebut.
Ia mengatakan, kasus plagiatisme secara
sederhana ditemui dalam kehidupan mahasiswa, yakni saat mengerjakan tugas.
Mereka biasanya langsung mencomot artikel dari buku atau internet tanpa
menyebutkan sumbernya.
“Hal itu juga termasuk plagiatisme,
meskipun plagiatisme terbagi menjadi beberapa tingkatan, misalnya plagiatisme
mutlak yang menjiplak seluruh karya orang lain atau mengambil beberapa bagian
saja,”katanya.
Akan tetapi, kata dia, pihaknya tetap
optimis bahwa plagiatisme dapat dicegah dan diantisipasi, salah satunya dengan
melakukan pengetatan pemeriksaan hasil karya tulis yang diajukan.
“para dosen harus melakukan kembali
cara tradisional, yakni membaca dan meneliti secara seksama hasil karya tulis
mahasiswa secara keseluruhan, tidak hanya discan lalu selesai,”katanya.
Meskipun sudah dilakukan pengetatan,
kata dia, plagiatisme masih dimungkinkan lolos, sehingga sikap disiplin, sadar
diri dan bangga terhadap hasil karya sendiri harus diterapkan pada seluruh
pihak.
“negara-negara maju, seperti Belanda,
telah mengadobsi software khusus untuk mendeteksi plagiatisme, dan plagiatisme
ditoleransi maksimal 10 persen, lebih dari itu otomatis karya akan
tertolak,”katanya.
Penerapan sanksi, tambah dia,
sebenarnya sudah cukup ampuh untuk mencegah plagiatisme, misalnya sanksi yang
diberikan kepada dosen atau pengajar yang melakukan plagiatisme, tentunya
tergantung kadar plagiatisme yang dilakukan.
“sanksi bagi plagiator sebenarnya sudah
ada dalam undang-undang, namun pelaksanaannya masih lemah sekali, kalau tidak
ada pengaduan tidak akan diurus,”terangnya serius. (aj/rie)
(GEMA EDISI : 46 , Maret-April 2010)
Analisis kasus
Bila diusut ulang maka hak milik benda
tersebut bermula dari kepemilikan buku dan bukan kepemilikan karya. Hal inilah
yang dalam pasal 542 KUHPer disebut dengan bezit atau penguasaan benda. Dan
dari penguasaan benda tersebut, pada pasal 548 menyatakan bahwa dengan itikad
baik, bezit memberi hak pada pemegang barang yang berupa :
untuk dianggap sebagai pemilik barang
untuk sementara, sampai saat barang itu dituntut kembali di muka Hakim;
untuk dapat memperoleh hak milik atas
barang itu karena lewat waktu;
untuk menikmati segala hasilnya sampai
saat barang itu dituntut kembali di muka hakim
untuk
mempertahankan besitnya bila ia digangu dalam memegangnya, atau dipulihkan kembali
besitnya bila ía kehilangan besitnya itu.
Dalam kasus ini bezit atau penguasaan
benda diberikan kepada pembeli atas benda yang dibelinya, yang dalam hal ini
berupa buku. Tetapi tidak dengan isi buku tersebut yang merupakan hak milik
pengarang atau disebut juga dengan hak cipta.
Berkaitan dengan penguasaan benda
tersebut, pada pasal 557 KUHPer disebutkan “Tuntutan untuk mempertahankan besit
dapat diajukan terhadap orang-orang yang mengganggu pemegang besit dalam
memegang besit itu, bahkan terhadap pemilik barang itu, tetapi tanpa mengurangi
hak pemilik itu untuk mengajukan tuntutan berdasarkan hak miliknya.
Bila besit itu diperoleh dari pinjam
pakai, dengan pencurian atau kekerasan, maka pemegang besit tidak bisa
mengajukan tuntutan untuk dipertahankan dalam besitnya terhadap orang dari
siapa besit itu diperolehnya atau dari orang dari siapa besit itu diambil.”
Pada pembahasan diatas, dapat kita
simpulkan bahwa karya atau ide yang tertulis pada buku tersebut secara otomatis
penguasaannya mengikuti penguasaan terhadap bendanya. Tetapi kepemilikannya
tidak mengikuti penguasaan tersebut.
Pada pasal 570 dikemukakan tentang
definisi hak milik dan batasan-batasannya. Yang mana hak milik adalah “Hak
milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk
berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang
berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak
mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian
kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”
Pada pasal 572 KUHPer dinyatakan bahwa
hak milik harus dianggap bebas. Sehingga pemilik dapat menggunakannya dengan
bebas dan dengan kekuasaan seluas-luasnya dengan tanpa melanggar
ketentuan-ketentuan yang berlaku dan batasan-batasannya.
Maka, barang siapa menyatakan mempunyai
hak kepemilikan atas barang orang lain, harus membuktikan hak itu.
Kepemilikan atas duplikat ide tersebut
yang berupa buku atau sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang lain dengan berupa
benda, merupakan kepemilikan pembeli yang menjadi pemilik sah buku yang
diperolehnya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Maka ia dapat menggunakan
buku tersebut secara maksimal, sesuai dengan ketentuan hukum. Tetapi
kepemilikan isi buku tersebut adalah milik pengarang yang mana ia melahirkan
atau memunculkan idenya yang berupa tulisan tersebut.
Mengenai penduplikatan isi buku atau
ide tersebut, dengan berdasarkan pada perjanjian antara penulis dengan pihak
penerbit buku, maka hak publikasi atau membuat salinan isi buku tersebut
menjadi hak milik perusahaan penerbit. Maka bila ada pihak lain yang bermaksud
menggandakan isi buku tersebut harus mendapatkan ijin dari pihak pemegang
lisensi penggandaan buku atau suatu karya tersebut.
Cara-cara bagaimana perolehan hak
milik, diatur dalam pasal 548 KUHPer ini. Dalam pasal 3 ayat (1) UU nomor 19
Tahun 2002 tentang hak cipta, hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak. Maka
hak cipta dapat dimiliki dan dialihkan sebagaimana hak milik. Pada dasarnya
tulisan merupakan benda yang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan dengan
penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik. Hal ini terdapat dalam pasal
612 KUHPer. Yang dengan jelas bahwa penyerahan tulisan tersebut kepada orang
lain atau ditulis ulang dalam bentuk lain harus mencantumkan nama pemilik
tulisan, yang dengan kata lain harus mencantumkan nama penulis atau pengarang
karya tulis tersebut.
Pada pasal 2 ayat (1) UUHC, diterangkan
tentang definisi hak cipta secara khusus yang isinya bahwa Hak Cipta merupakan
hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Yang mana pengalihan hak cipta, dalam hal penggandaan suatu karya
tulis atau kekayaan intelektual lainnya, dapat dilakukan dengan pemberian
lisensi atau perijinan kepada suatu pihak tertentu yang hal ini diatur dalam
suatu kesepakatan antara pihak pemegang hak milik dengan pihak lain yang akan
menerima pengalihan hak cipta tersebut.
Maka jelaslah bahwa penggandaan atau
duplikasi menjadi wewenang pihak penerima hak cipta. Dan barang siapa yang
hendak menggandakan seluruh atau sebagian dari karya yang hak ciptanya dalam
penguasaan suatu pihak tertentu, maka harus mendapatkan izin dari pihak
pemegang lisensi hak cipta tersebut.
Pada pasal 3 ayat (2) UUHC, dijelaskan
mengenai macam-macam cara pengalihan hak cipta. Dan salah satunya sudah
disebutkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu dengan suatu perikatan atau
perjanjian.
Pada pasal 12 dijabarkan tentang
macam-macam hak cipta yang dilindungi oleh hukum dan ketentuan-ketentuannya.
Dan isi pasal tersebut adalah :
Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang
dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
buku, Program Komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain;
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan
lain yang sejenis dengan itu;
alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
drama atau drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim;
seni rupa dalam segala bentuk seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan;
arsitektur;
peta;
seni batik;
fotografi;
sinematografi;
terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
2) Ciptaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak
mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
3) Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan
yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan
yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Dengan berdasarkan pada pasal 612
KUHPer, maka penggandaan barang tanpa mencantumkan nama pemilik adalah suatu
tindak pelanggaran terhadap hak cipta.
Tetapi dalam UUHC pasal 15, pemerintah
Indonesia membuat suatu pengecualian terhadap tindakan ini. Dan isi dari pasal
tersebut adalah :
“Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan
pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan
pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam
atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan
pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i)
ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii)
pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu
Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna
keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu
Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun
atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau
pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan
aktivitasnya;.
BAB
IV
Hukum Perikatan
Definisi hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut
“ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum
di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang
satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya
lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah
yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri
diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi
antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan
adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu
hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Dasar Hukum
Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang
saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal
1352 KUH Perdata :
”Perikatan yang
dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge
van’s mensen toedoen)
A. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari
undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang
ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua
dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu
hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari
sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
B. Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
C. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas dalam
hukum perikatan
Asas-asas dalam
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya
kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat
antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2. Cakap untuk
Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa
para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan
tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai
Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab
yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai
tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau
ketertiban umum
Wanprestasi
dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur
dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu
bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
Pembaharuan
utang (inovatie)
Novasi adalah
suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Ada tiga macam
novasi yaitu :
1) Novasi
obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi
subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
ANALISIS HUKUM PERIKATAN
A. Kronologi Kasus
PT Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung
masalah dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul
saat keduanya menjalin kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli
mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar
nasional. Kemudian, pada 12 September
2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute
Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 Oktober
2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia menuding anak
perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat
mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam
terbang. Saat itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru
dipakai 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang
diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan
pengerjaan. Ini yang membuat pihak
Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76
miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi
menemui jalan buntu. Dengan dasar hasil itu, pada Agustus 2008 Batavia
mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan.
Padahal di sisi lain, Batavia memiliki hutang perawatan pesawat milik GMF
sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut
Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan
pembelian pesawat, padahal pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga
kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas
perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya,
dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Tapi tak kunjung dilunasi oleh Batavia
hingga pertengahan tahun 2008.
Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat
hubungan antara GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui
cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor
Batavia, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari Batavia. Padahal jika
dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh Batavia dengan membawa perkara mesin
itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin
menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke
pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, a khirnya
permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah
melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk,
tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama
bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun
masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula
Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah,
Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
Analisis Kasus
Perseteruan yang terjadi antara PT Metro Batavia, milik perusahaan
ternama di bidang pesawat dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia
tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan
transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini
Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
Pihak Batavia telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan
pesawat, padahal pesawat sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan,
hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh GMF.
Pembayaran hutang perawatan oleh pihak Batavia yang melampaui tempo ayng
diperjanjikan.
Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan
pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai
pengertian perjanjian yang sesuai dengan Pasal 1313 B.W, yang berbunyi : Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lani atau lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini
menurut pakar hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat
di dalam ketentuan di atas tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja,
kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu
luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi berdasarkan alasan tersebut
perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal
mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh
pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad
buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya
asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang
akan terjadi diantara kedua belah pihak. Asas-asas tersebut antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
b. Asas Pacta Sunt Servanda
c. Asas Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena
asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi
terciptanya kepastian hukum.
Ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah
suatu tuntutan kesusilaan dan memanglah benar bahwa kalau orang ingi dihormati
sebagai manusia, ia harus dapat dipegang perkataannyam namun hukum yang harus
menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat,
memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya Kepastian Hukum.
Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas
universil, dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1):Semua
perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan
bahwa perjanjian yang dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian
bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah”
pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut.
Semua persetujuan yang dibuta menurut hukum atau secara sah adalah mengikat,
maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH
Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai
kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juag akan
tersimpul bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan
dalam Pasal 1320 B.W : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjectif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat yang terakhir
disebutkan syarat objectif, karena mengenai objek dari perjanjian akan tetapi
dalam analisis ini terfokus pada subjek perjanjian.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum GMF, Sugeng Riyono S.H, “Batavia
sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang
semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi
dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah
dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi
balik kepada pihak GMF.” I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti
kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu
yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. I’tikad
baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik ketika
dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik
terhadap tidak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan, pernyataan ini sesuai Pasal 1338 B.W yang berbunyi : Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan i;tikad baik. Maka, sesuai dengan isi
pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad baik,
bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal
pelaksanaan tersebut.
Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini
Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi
yang dilakukan Batavia merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang
dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana Subekti, Wanprestasi berarti
kelalaian seorang debitor, dalam hal:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian Batavia terhadap GMF menjadikan terhambatnya kinerja produksi
lain yang akan dibuat oleh GMF. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi: Penggantian
biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti
dalam Pasal 1243 B.W yaitu:
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak
pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut
terjadi karena:
a. Kesengajaan
b. Kelalaian
c. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai
(ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya
hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji”
wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur
tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi. Dalam Pasal
1238 B.W disebutkan bahwa : Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ai berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan gtelah ditentukan. Bahwasanya
peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta
pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini digunakan
untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.
Disebutkan dalam poin ketiga adala pihak Batavia telah mengadakan
pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian pesawat sehari setelah
pesawat selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh GMF
menjadi terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari Batavia.
Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W :Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan bahwa
perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat
antara keduanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan
prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa
pengecualian) tidak dapat dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi.
Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau undang-undang maka
wanprestasinya si debitor dinyatakan lalai oleh kreditor (ingebrekestelling)
yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor (pasal
1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
Dalam hal ketentuan di atas maka Batavia dikenakan beberapa pasal, antara
lain:
Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya
perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya.
Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh
dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah
dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak
mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan
disebut dibawah ini.
Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan
bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan
dialahirkannya, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan
sesuatu tipu daya yang dialakukan olehnya.
Pasal 1249 B.W : Jika dalam
perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya, sebagai ganti rugi
harus membayar suatu jumlh uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak boleh
diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu.
Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan
denga pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar
disebabkan terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang
ditentukan undang-undang, denga tidak mengurangi peraturan undang-undang
khusus. Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak
usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materiil yakni berupa penyitaan
tujuh pesawat milik Batavia sendiri, bukan lea asing, yang bernilai Rp18,3
milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak
dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat
ditebus, sebagaimana Batavia yang tidak merespon baik ketika pihak GMF datang
menemui Batavia di kantornya untuk menagih utang Batavia yang tersendat
menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik Batavia-GMF
mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya
mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan
“obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang
atau diberikan oleh pihak lawan.
BAB
V
Hukum
Perjanjian
A. PERJANJIAN
PADA UMUMNYA
Menurut Pasal
1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut
Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa
azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya
yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
Azas
Konsensualitas, yaitu bahwa
suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya
kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian.
Azas Kebebasan
Berkontrak, yaitu bahwa
para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari
perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal
1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para
pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai
perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan
penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang
melakukan perjanjian.
Semua orang yang dilarang oleh
Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai suatu hal
tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai
suatu obyek tertentu.
Suatu sebab
yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah
berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban
Syarat No.1 dan
No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya
atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4
disebut Syarat Obyektif,karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat
subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk
meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan
itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya)
secara tidak bebas.
Jadi,
perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan
apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal
demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau
Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak
melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
Tidak
melaksanakan isi perjanjian.
Melaksanakan
isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
Terlambat
melaksanakan isi perjanjian.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu
perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Pembayaran
Adalah setiap
pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.
Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan
subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH
Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena
Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu
cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur
dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran
itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan
atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.
Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu
pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan
utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau
obyek dari perjanjian itu.
d.
Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu
cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga
antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu
dengan lainnya.
e.
Percampuran utang
Adalah apabila
kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur)
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang
dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan
krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f.
Pembebasan utang
Menurut pasal
1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur
dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.
Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika
barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.
Batal/Pembatalan
Menurut pasal
1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara
kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya
kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak
memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
i. Berlakunya
suatu syarat batal
Menurut pasal
1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi,
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula
seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.
Lewat waktu
Menurut pasal
1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal
1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka
perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau
kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
Judul/Kepala
Komparisi yaitu
berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa
perjanjian itu dibuat.
Keterangan
pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim
dinamakan “premisse”.
Isi/Batang
Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari
perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penutup dari
Perjanjian.
C.
BENTUK PERJANJIAN
Lisan
Tulisan, dibagi
2 (dua), yaitu:
Di bawah tangan/onderhands
Otentik
ANALISIS KASUS HUKUM PERJANJIAN
Lion Air: Sanksinya Bisa Berlapis bagi
Pilot Hisab Sabu
Direktur Umum Lion Air Edward Sirait
saat dikonfirmasi terkait penangkapan pilot yang terbukti menghisap sabu
mengaku prihatin.
Ia menyebut pihak manajemen akan
mengambil langkah tegas bagi yang bersangkutan sesuai dengan apa yang
diperbuat. “Tidak ada toleransi untuk masalah yang menyangkut keselamatan
penumpang, dan ini jelas-jelas melanggar banyak aturan, sanksinya bisa
berlapis,” ujar Edward saat dihubungi, Sabtu (4/2/2012) malam.
Ia prihatin peristiwa tertangkapnya
pilot Lion karena masalah narkoba harus terulang kembali. Menurutnya selama ini
sudah banyak contoh negatif yang terjadi karena penyelahgunaan narkoba,
termasuk pemecatan pegawai Lion karena kasus narkoba, tapi tetap saja ada yang
melakukan.
“Kami tentunya tidak mungkin mengawasi
satu per satu pegawai selam 24 jam, tapi ke depan kami akan mencari langkah
antisipasi lagi yang lebih ketat,” ujar Edward.
Lebih lanjut Edward menjelaskan, jika
selama ini semua pegawai Lion sudah untuk tidak melanggar aturan hukum yang
berlaku.Selain sudah diatur dalam perundangan, urusan penyelahgunaan narkoba
termasuk mengonsumsi, memiliki atau bahkan mengedarkan narkoba sudah diatur
dalam pedoman awak pesawat.Penerapa aturan itu kembali ditegaskan dan diulang
dalam perjanjian bersAma.
ANALISI KASUS
Sebagai langkah antisipatif pihak
manajemen juga melakukan pemeriksaan sampling urine secara berkala. Pihak
manajemen juga sudah bertindak tegas pada pegawai yang terbukti melakukan
pelanggaran-pelanggaran termasuk penyalahgunaan narkoba.
Edward berjanji akan lebih
mengintensifkan pengawasan pada pegawai dan awak pesawat. Pengawasan bukan
hanya berlaku ketat di Jakarta, tapi juga akan diberlakukan lebih ketat di
daerah-daerah.
Pihak Lion juga merangkul keluarga
pegawai untuk bersama-sama menghindari pengaruh penyalahgunaan narkoba.Melalui
kedekatan dengan keluarga diharapkan pihak manajemen dan keluraga bisa
sama-sama memberi informasi, sehingga jika ditemui indikasi awal bisa segera
ditindaklanjuti.
oleh: Meilani Sasmita (29211520)
Purwaningsih (25211612)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar