Perjanjian Perpajakan Internasional
Perjanjian Internasional
Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu
perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari pemajakan berganda yang
dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian
internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang
tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional harus
dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen
peraturan perundang-undangan yang jelas. Perjanjian internasional dilakukan
dengan cara: penandatangan, pengesaha, pertukaran dokumen perjanjian/ nota
diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional. untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:
a.
Ratifikasi
b.
Aksesi
c.
Penerimaan
d.
Penyetujuan
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan
undang-undang apabila barkenaan dengan : masalah politik, pertahanan, dan
keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara republik
indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan
lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan/ atau hibah luar
negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk
masalah tersebut, dilakukan dengan keputusan presiden (Keppres). Pembuatan
perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Perjanjian
internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan dengan itikad
baik.
b.
Perjanjian
internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip-prinsip kesamaan, saling menguntukan, dan memperhatikan, baik hukum
nasional maupun internasional yang berlaku.
Tahapan Pembuatan perjanjian Internasional
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, adalah sebagi
berikut:
a.
Penjajakan
Pada tahap pertama, negara yang berkepentingan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk
mengadakan suatu perjanjian perpajakan dengan indonesia. Sebulam permohonan
diajukan, didahului dengan pembicaraan atau penjajkan antara perwakilan negara
asing bersangkutan di indonesia dengan pihak-pihak yang berwenang di Indonesia
( departemen Luar negeri dan Departemen Keuangan). Dapat pula terjadi
permohonan untuk mengadakan perjanjian perpajakan diajukan oleh pihak Indonesia,
yaitu dalam hal justru Indonesia yang merasa kepentingan untuk mengadakan
perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan. Dalam hal negara
asing yang mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia, permohonan
resminya biasanya diajukan oleh duta besarnya masing-masing kepada Departemen
Luar negeri Republik Indonesia. Departemen Luar Negeri republik Indonesia
kemudian meneruskan permohonan tersebur kepada instansi terkait, yaitu
departemen keuangan dan direktorat jendaral pajak sebagai instansi yang
menangani masalah-masalah perpajakan di Indonesia. Selanjutnya, direktorat
jendral pajak akan memberikan jawabannya kepada departemen luar negeri.
Departemen luar negeri kemudian meneruskan jawaban tersebut kepda pihak yang
mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, yang memberikan jawaban resminya
adalah departemen luar negeri atas nama Indonesia. Jawaban dapat berisi
persetujuan atas permohonan, dapat pula berisi penolakan kalau dipandang dari
segi ekonomi, politik, maupun alasan-alasan lainnya, kurang dirasakan manfaat
bagi Indonesia. Disamping itu, jawabannya dapat berisi pula penundaan, kalau
kondisinya belum memungkinkan bagi indonesia untuk mengadakan perjanjian
perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan.
b.
Perundingan
Apabila permohonan yang diajukan untuk mengadakan
perjanjian itu disetujui oleh pihak Indonesia, tahap selanjutnya yaitu
melaksanakan saling surat menyurat antara kedua belah pihak langsung maupun
melalaui saluran-saluran diplomatik untuk menentukan kapan perundingan pertama
akan diadakan, dimana tempatnya dan merundingklan masalah-masalah protokoler
lainnya. berdasarkan kebiasaan-kebiasaan protokoler yang berlaku antar bangsa,
tempat perundingan biasanya diadakan secara bergantian di Indonesia dan di
nergara asing yang mengadakan perjanjian dengan indonesia itu. dalam
perundingan pertama, biasanya masing-masing delagasi mengajukan draft kerja
konvensi perpajakan masing-masing sebagai bahan yang akan dibahas dalam
perundingan. Istilah konvensi biasanya digunakan bagi perjanjian-perjanjian
formal yang bersifat multilateral. Istilah ini juga meliputi bagian-bagian yang
disetujui oleh lembaga-lembaga internasional seperti misalnya konvensi buruh
internasionla. Namun pada naskah resmi perjanjian-perjanjian perpajakan yang
diadakan oleh indonesia dipergunakan istilah agreement, walaupun
perjanjian-perjanjian perpajakan yang bersangkutan tingkatannya merupakan suatu
traktat, bukan agreement. Hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan perjanjian
perpajakan di Indonesia memakai model indonesia yang merupakan campuran antara
model konvensi perpajakan yang disusun oleh OECD dan united national model.
Disamping itu, yang dijadikan acuan adalah naskah perjanjian-perjanjian
perpajakan yang telah diadakan oleh masing-masing negara dengan negara lain.
c.
Penerimaan
Setelah beberapa kali pembahasan dan semua materi
permasalahan telah dibahas dan disepakati, proses berikutnya adalah dilakukan
pemanfaatan atas draft perjanjian perpajakan oleh masing-masing ketua delegasi.
Draft perjanjian perpajakan yang telah diparaf tersebut kemudian oleh
masing-masing delagasi perundingan disampaikan kepada masing-masing
pemerintahnya untuk mendapatkan persetujuan. Di Indonesia, draft tersebut
disampaikan ke Menteri keuangan, menteri luar negeri dan sekretariat negara,
dengan dilampiri laporan singkat mengenai perkembangan yang terjadi dalam
perundingan.
d.
Penandatanganan
Apabila draft perjanjian tersebut telah mendapat
persetujuan dari pemerintah masing-masing, tahapan proses berikutnya adalah
penandatangan perjanjian oleh wakil-wakil dari masing-masing negara. Di
Indonesia, yang berwenang untuk menandatangani suatu perjanjian perpajakan
adalah menteri luar negeri. Dalam hal penandatangan suatu perjanjian
perpajakan, wewenang ini bisa dilimpahkan ke pejabat terkait lain, misalnya
menteri keuangan atau duta besar Indonesia yang bertugas di negara yang
mengadakan perjanjian perpajakan dengan indonesia. Berakhirnya perjanjian
internasional adalagh apabila terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur
yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian tersebut telah dicapai,
terdapat perubahan mendasar yang memperngaruhi pelaksanaan perjanjian, salah
satunya tihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian, dibuat
suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, meuncul norma-norma
baru dalam hukum internasional, objek perjanjian hilang atau terdapat hal-hal
yang merugikan kepentingan nasional.
Pengertian hukum pajak internasional
Ottmar Buhler yang terjemakan oleh Agus Setiawan (2006)
mendefinisikan, “Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah
kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas
ialah kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang
mempunyai objek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan”. Menurut negara-negara
anglo sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai berikut:
1.
National
external tax low
Merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat
ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja di luar
batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing baik mengenai objeknya
(sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek yang ada diluar
negeri).
2.
Foregin
tax low
Adalah keseluruhan perundangan-perundangan dan
peraturan-peraturan pajak dari negara-negara yang ada diseluruh dunia.
3.
Internasional
tax low
Dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak
internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan
hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain sebagainya, dan
berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh
negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara
yang saling mempunyai kepentingan.
Sumber-sumber hukum pajak internasionalsumber-sumber
hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin dikaji, sehingga penelitian
ini hanya mempersempit yang berkaitan
dengan negara indonesia sumber-sumber hukum tersebut antara lain:
a.
Kaedah
hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing antara lain:
1.
Peraturan
perpajakan nasional yang mengatur P3B tentang “pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran
pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.
Peraturan
perpajakan nasional tentang: subjek pajak luar negeri dan bentuk usaha tetap.
3.
Peraturan
perpajakan nasional tentang: tidak termasukk subjek pajak.
4.
Peraturan
perpajakan nasional tentang: hubungan istimewa, bilamana terdapat
ketidakwajaran dalam perpajakan.
5.
Peraturan
perpajakan nasional tentang: kredit pajak luar negeri.
6.
Peraturan
perpajakan nasional tentang: pemotongan pajak atas subjek pajak luar negeri
yang memperoleh penghasilan dari indonesia.
b.
Kaedah-kaedah
yang berasal dari traktat:
1.
Perjanjian
bilateral yang diwujudkan dengan adanya perjanjian penghindaran pajak berganda.
2.
Perjanjian
multilateral, perjanjian ini seperti konvensi wina.
c.
Keputusan
hakim nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional. hal
ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut
tentang perpajakn internasional, atau keputusan pengadilan internasional den
haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Perjanjian penghindaran pajak berganda
Pengertian perjanjian penghindaran pajak berganda
Pengertian perjanjian penghindaran pajak berganda
dikemukakan sebagai perjanjian pajak antar kedua negara bilateral yang mengatur
mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh penduduk
dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan. Karena itu,
perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan perjanjian internasional di
bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan agar tidak
menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan
dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.
Tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda
Adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan
berganda.
Disampinh itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu:
a.
Mencegah
timbulnya pengelakan pajak.
b.
Memberikan
kepastian
c.
Pertukaran
informasi
d.
Penyelesaian
sengketa di dalam penerapan P3B
e.
Non
diskriminasi
f.
Bantuan
dalam penagihan pajak
Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda secara
umum adalah sebagai berikut:
a.
Tidak
terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha.
Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak
dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba
usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan.
b.
Peningkatan
investasi modal diluar negeri
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman,
dividen dari penanaman saham, royalty dari pemilik hak cipta, jika dikenakan
pemajakan yang tinggi, maka dipastikan
penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan modal
di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c.
Peningkatan
sumber daya manusia
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan
pelatihan karyawan di negara dimana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan ,
maka dipastikan dapat meningkatan kemampuan sumber daya mausia yang lebih
memadai. Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan
pendidikan dan pelatihan.
d.
Exchange
og information guna mencegah pengelakan pajak
Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar
kedua negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua
negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
e.
Kedudukan
yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar
kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan
penduduk asing antat kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang
mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
Metode penghindaran pajak berganda
Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari
beberapa negara, perlu diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut
berdasarkan azas pengenaan pajak. Metode hak pemajakan di berbagai negara,
untuk menghindari pemajakan ganda antara lain,:
a.
Metode
pemajakan Unilateral
Metode ini mengatur bahwa negara republik indonesia
mempunyai kekuatan hukum didalamnya yang mengatur masyarkat atau badan
internasional, dan ditetapkan sepihak oleh negara indonesia, dengan kata lain
tidak ada yang bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kedaulatan
negara kita. Penrapan metode ini adalah dengan
diberlakukannya PPh pasal 26 UU PPh. Apabila tidak ada perjanjian tax
treaty atau konvensi internasional, maka negara indonesia memiliki hak atau kewenangan
internasional atau badan internasional yang memperoleh pendapatan dari negara
indonesia. Seperti halnya pajak penduduk indonesia di negara lainnya, yang
telah dikenakan pajak, atas pemajakan tersebut pajak yang telah dibayar
dinegara lainnya dapat dijadikan penguran, guna menghindari pemajakan ganda,
sebagaimana tertuang dalam pasal 24 UU PPh.
b.
Metode
pemajakan bilateral
Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus
mempertimbangkan perjanjian ke dua negara. Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan
jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang
telah mengadakan perjanjian. Penerapan pajak ganda diberlakukan dengan
mengurangi jumlah pajak terutang, misalnya untuk PPh pasal 23 atas deviden yang
semula 15%, dapat dikurangkan menjadi 10% karena deviden tersebut tentu akan
dikenakan pajak lagi di negara dimana mereka berkedudukan.
c.
Metode
pemajakan Multilateral
Metode ini didasarkan pada konvensi yang ketentuan atau
ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang
ditandatangani oleh beberapa negara, misalnya konvensi wina. Penerapan metode
ini adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana setiap kedutaan asing,
organisasi internasional dibawah naungan PBB, dan penduduk asing yang bekerja
di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya pemajakan tetap
berada di negara mana mereka berdomisili. Metode penting lainnya yang dipakai
untuk menghindarkan pajak ganda internasional, berdasarkan penjelasan yang
tertuang dalam Un model Commentary adalah sebagai berikut:
a.
Metode
pembebasan. Pengecualian pajak
b.
Metode
kredit pajak
c.
Metode
lainnya.
A.
Metode
pembebasan
1.
Pembebasan
subjek pajak
Metode
ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang berada di
Indonesia, metode ini muncul dikarenakan adanya konvensi wina pada tanggal 18
april 1961 yang dihadiri 81 negara diantaranya indonesia, yang mengatur tentang
kekebalan para diplomat terutama perpajakan wakil-wakil diplomatik.
Undang-undang pajak penghasilan pasal 3 juga menegaskan bahwa yang tidak
termasuk subjek pajak adalah:
a.
Badan
perwakilan negara asing
b.
Pejabat-pejabat
perwakilan diplomati, dan konsultasn atau pejabat-pejabat lain dinegara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bertempat tinggal
bersama-sama mereka, dengan syarat bukan negara Indonesia dan di indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya
tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik.
c.
Organisasi-organisasi
internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat:
1.
Indonesia
menjadi anggota organisasi tersebut
2.
Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
indonesia selain pemberian kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota.
d.
Pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan meneteri
keuangan dengan syarat bukan wargan negara indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
2. Pembebasan objek pajak
Metode ini tidak menghitung kembali penghasilan dari luar
negeri, termasuk kerugian atau perpajakannya dinegara domisili. Dengan demikian
pengahasilan atau laba dari luar negeri dianggap terpisah dan tidak perlu
dikenakan oajak lagi, seperti PPh Final.
3.
Pembebasan
pajak
Pada
dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan maupun kerugian dari
luar negeri pajak yang dibebaskan sebanding dengan penghasilan luar negeri
dibadning keseluruhan dikalikan pajak terutang atas keseluruhan. Bilamana dari
luar negeri mengalami kerugian, maka kerugia tersebut tetap diperhitungkan,
sehingga akan mengurangi pajak terutang dalam negeri, meskipun tidak ada
pembebasan pajak, karena kerugian secara otomatis telah mengurangi pajak.
B.
Metode
pengkreditan pajak
Metode
ini pada prinsipnya menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar negeri dan
jumlah pajak terutang keseluruhan di negara domisili. Pajak yang telah dibayar
di luar negeri dapat mengurangkan pajak teruamg di negara domisili. Metode ini
dibagi dalam tiga macam:
1.
Kredit
penuh
Metode
ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk mengkreditkan
seluruh pajak yang dibayar diluar negeri, sehingga jika tarif pajak di luar
negeri lebih besar dibandinghkan dengan tarif pajak di dalam negeri, dipastikan
akan terjadi restitusi pajak. Dalam hal ini berarti negara domisili iktu
membayar jumlah pajak yang terutang di luar negeri, sebagai mana diatur dalam
UU PPh pasal 24 tentang Tax Credit.
2.
Kredit
terbatas
Metode
ini membatasi pajak yang dibayar diluar negeri, dapat dikreditkan atau dapat
dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas pajak yang dibayr
di dalam negeri atau paling tinggi adalag sebesar tarif pajak yang ada di dalam
negeri.
3.
Kredit
Fiktif
Metode
ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong investor ke dalam
negeri, namun untuk menghindari pemajakan di negara investor, maka dibuatlah
kredit fiktif ini, sehingga pemajakan bebas untuk di negara lainnya dan negara
domisili. Metode ini tidak digunakan di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Advianto, L.Y Hari sih. Transaksi Hubungan Istimewa. Majalah
gagas pajak edisi 3 maret 2011.
Aprilina, Ria. 2011. Pengaruh penerapan sistem
modernisasi adminitrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Dewan standar akuntansi keuangan. Pernyataan standar
akuntansi keuangan no. 7 (revisi 2010). Jakarta: ikatan akuntan Indonesia,
2010.
Ervina. 2013. Analisa pengaruh penerapan tax treaty
indonesia-hongkong terhadap investasi modal di indonesia.
Kristanto, Septian bayu. 2012. Transaksi hubungan
istimewa dan pengaruhnya terhadap tarif pajak efektif perusahaan. Universitas kristen
krida wancaa.
Kristanto, Septian bayu. 2012. Transaksi hubungan
istimewa dan pengaruhnya terhadap tarif pajak efektif perusahaan. Universitas kristen
krida wancaa.
Mangoting, Yenni. Tax Planning: Sebuah Pengantar Sebagai Alternatif Meminamalkan
Pajak. Jurnal akuntansi dan keuangan Universitas Petra.
Prijadi, Budi. 2004. Survei Transparansi Fiskal di
beberapa daerah sebagai bahan laporan ke lembaga internasional.
Rahayu, Ning. 2010. Evaluasi Regulasi Praktik
Penghindaran Pajak Penanaman modal asing. Jurnal akuntansi dan keuangan
indonesia, vol. 7, no. 1.