Di dalam akuntansi dikenal adanya standar yang harus
dipatuhi dalam penyusunan dan penyajian
laporan keuangan. Standar tersebut diperlukan karena banyaknya pengguna laporan
keuangan. Dengan perubahan standar akuntansi di Indonesia dari tahun 1994
sampai sekarang membuat banyak perubahan yang terjadi pada standar akuntansi
keuangan di Indonesia dari tahun 1994-2012. Pernyataan standar akuntansi
keuangan (PSAK) adalah standar yang digunakan untuk pelaporan keuangan di
Indonesia. PSAK digunakan sebagai pedoman akuntan untuk membuat laporan
keuanganm, maupun sebagai dasar untuk menyatakan kewajaran suatu laporan
keuangan oleh auditor. Laporan keuangan merupakan salah satu media utama yang
dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangannya
kepada pihak luar. Laporan ini juga mereka peristiwa kejadian bisnis. Ikatan
akuntan Indonesia menyatakan laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur
dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan juga
menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang
dipercaya kepada mereka. PSAK No.1 menyatakan bahwa laporan keuangan harus
menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas,
dan arus kas entitas secara wajar. Perusahaan dengan menerapkan PSAK secara
benar, disertai pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam Catatan Atas Laporan
keuangan. Pernyataan ini menetapkan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan
bertujuan yang selanjutnya disebut’ laporan keuangan’ agar dapat dibandingkan
laporan keuangan periode sebelumnya. Pernyataan ini mengatur persyaratan bagi
penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimum
isi laporan keuangan. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan
penyajian yang wajar walaupun pengungkapan tersebt tidak diharuskan oleh PSAK.
Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan bahwa laporan
keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja
keuangan suatu entitas. Laporan keuangan juga menunjukan hasil
pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan
kepada mereka. Dengan semakin meningkatnya arus investasi global, maka daya
informasi dari laporan keuangan termasuk perusahaan-perusahaan di Indonesia
perlu ditingkatkan. Hal tersebut meningkatkan kebutuhan akan suatu standar
akuntansi keuangan yang digunakan secara internasional mengingat akuntansi yang
merupakan penyedia informasi bagi pengambilan keputusan yang bersifat ekonomi
juga dipengaruh oleh lingkungan bisnis yang terus menerus berubah tersebut.
Dengan adanya standar akuntansi yang digunakan secara internasional, maka dapat
memudahkan pemahaman dan meingkatkan daya informasi dari laporan keuangan bagi
para pengguna global. Untuk menjawab kondisi tersebut, indonesia ikut serta
melakukan konvergensi IFRS, sesuai dengan salah satu kesepakatan pemerintah
indonesia sebagai anggota G20 forum dalam pertemuan pemimpin negara G20 forum
di Washington DC, 15 November 2008. Konvergensi IFRS dilakukan dengan merevisi
PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 januari 2009 yang berlaku
efektif tahun 2011-2012. Setelah 2012, standar IFRS akan menjadi target
perpindahan dimana perubahan standar akuntansi Indonesia akan dinamis mengikuti
perubahan yang dilakukan oleh IASB.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Any Eliza dengan
judul “ Tinjauan atas PSAK No. 1 (Revisi 2009) Penyajian Laporan Keuangan dan
Perbedaannya dengan PSAK No. 1 (Revisi 1998) dengan menggunakan tinjauan
konseptual yang merupakan studi literatur. Sumber penulisan berasal dari SAK
terkait, buku akuntansi keuangan berbasis IFRS, serta materi dari beberapa TOT
tentang Standar Akuntansi di Indonesia. Sebagai bentuk implemtasi dari
konvergensi IFRS, dewan standar akuntansi keuangan (DSAK) telah mensahkan PSAK
No. 1 (revisi 2009) tentang penyajian lapora keuangan pada tanggal 15 desember
2009. PSAK No. 1 (revisi 2009): penyajian Laporan keuangan merupakan PSAK diadopsi
seluruhnya dari IAS: Presentation of Financial Statements per 1 Januari 2009.
PSAK No. 1 (revisi 2009) diterapkan oleh entitas untuk periode tahun buku yang
dimulai pada atau setelah tanggal 1 januari 2011. PSAK ini salah satunya
menggantikan PSAK No. 1( revisi 1998): penyajian laporan keuangan. Terdapat
beberapa perbedaan dalam PSAK No. 1 (revisi 2009): penyajian laporan keuangan.
Beberapa perbedaan adalah sebagai berikut:pertama, terdapat perbedaan beberapa
istilah yang digunakan dalam PSAK No. 1 (revisi 2009): penyajian laporan
keuangan. Beberapa istilah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Istilah “kewajiban” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirubah
menjadi “liabilitas” pada PSAK No. 1 (revisi 2009).
2.
Istilah
“aktiva” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirubah menjadi “aset” pada PSAK No. 1
(revisi 2009).
3.
Istilah
“neraca” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirbah menjadi “laporan posisi keuangan”
pada PSAK No. 1(revisi 2009).
4.
Isitilah
“hak minoritas” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirubah menjadi “kepentingan
nonpengendali” pada PSAK No. 1 (revisi 2009).
Selain adanya perubahan istilah pada PSAK No. 1 (revisi
2009) par. 07 juga dicantumkan beberapa istilah yang sebelumnya diungkapkan
dalam PSAK No. 1 (revisi 1998). Beberapa istilah tersebut adalah sebagai
berikut.
1.
Catatan
atas laporan keuangan.
2.
Laba
atau rugi.
3.
Laporan
keuangan bertujuan Umum.
4.
Material
5.
Pemilik
6.
Pendapatan
komprehensif lain
7.
Penyesuaian
reklasifikasi
8.
Standar
akuntansi keuangan
9.
Tidak
praktis
10. Total laba rugi komprehensif
Kedua, perbedaan mencakup komponen laporan keuangan
lengkap. Menurut PSAK No, 1 (revisi 2009) par. 10, laporan keuangan yang
lengkap terdiri dari:
1.
Laporan
posisi keuangan (neraca) pada akhir periode.
2.
Laporan
laba rugi komprehensif selama periode.
3.
Laporan
perubahan ekuitas selama periode.
4.
Laporan
arus kas selama periode.
5.
Catatan
atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan
informasi penjelasan lain dan
6.
Laporan
posisi keuangan awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas
menerapkan kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian
kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasikan
pos-pos dalam laporan keuangannya.
Sementara
komponen laporan keuangan lengkap menurut PSAK No. 1 (revisi 1998) mencakup:
1.
Neraca
2.
Laporan
laba rugi
3.
Laporan
perubahan ekuitas
4.
Laporan
arus kas
5.
Catatan
atas laporan keuangan
Perbedaan signifikan dari komponen laporan keuangan
lengkap menurut kedua PSAK adalah sebagai berikut:
1.
PSAK
No. 1(revisi 2009) mewajibkan entitas untuk menyusun laporan laba rugi
komprehensif, yang terdiri dari informasi laba rugi yang biasa dilaporkan dalam
laporan laba rugi menurut PSAK No. 1 (revisi 1998) ditambah dengan informasi
pendapatan komprehensif lain.
2.
PSAK
No. 1 (revisi 2009) mewajibkan entitas untuk menyusun laporan posisi keuangan
awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu
kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos
laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasikan pos-pos dalan laporan
keuangannya. Sementara PSAK No. 1 (revisi 1998) tidak mensyaratkan laporan
tersebut.
Ketiga, perbedaan mencakup informasi yang harus disajikan
dalam laporan keuangan. Menurut PSAK no. 1 (revisi 2009) , laporan keuangan
menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi aset, liabilitas, ekuitas,
pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan
distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, dan arus kas.
Sementara menurut PSAK No. 1 par 5, suatu laporan keuangan menyajikan informasi
mengenai perusahaan yang meliputi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan
beban, serta arus kas. Keempat, perbedaan dalam hal penyajian laporan laba rugi
komprehensif. Sebelumnya menurut PSAK no. 1 (revisi 1998), perusahaan hanya
diwajibkan untuk menyusun laporan laba rugi komprehensif. Untuk itu, perusahaan
wajib mencantumkan komponen pendapatan komprehensif lain dalam laporan laba
rugi komprehensif yang disusunnya. Pendapatan komprehensif berarti seluruh
perubahan ekuitas pemilik perusahaan diluar dari transaksi kontribusi atau
distribusi dari dan kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagaimana pemilik
perusahaan. Sebelum dikeluarkannya PSAK No. 1 (revisi 2009), informasi mengenai
pendapatan komprehensif lain disajikan dalam laporan perubahan ekuitas. Dengan
adanya perubahan ini, maka para pengguna laporan keuangan dapat mengetahui
semua informasi yang berkaitan dengan perubahan ekuitas pemilik yang bukan
berasal dari kontribusi dan distribusi pemilik dalam laporan laba rugi
komprehensif. Kelima, perbedaan dalam hal penyajian pos luar biasa. Menurut
PSAK No, 1 (revisi 2009) par 84, entitas tidak diperkenankan menyajikan pos-pos
penghasilan dan beban sebagai pos luar biasa dalam laporan laba rugi
komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), atau catatan atas
laporan keuangan. Namun demikian, tidak dijelaskan alasan mengapa pos luar
biasa tidak lagi diperkenankan untuk disajikan. Keenam, perbedaan dalam hal
pengaturan waktu dikeluarkannya laporan keuangan. Menurut PSAK no. 1 (revisi
1998) par. 38, suatu perusahaan sebaiknya mengeluarkan laporan keuangannya
paling lama 4 (empat) bulan setelah tanggal neraca. Sementara dalam PSAK No. 1
(revisi 2009) tidak diatur kapan entitas sebaiknya mengeluarkan laporan
keuangannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Armelia Sri Wulandari dan
Ratna Wardhani dengan judul “Dampak Pengimplementasian IFRS Terhadap Kualitas
Laporan Keuangan di Indonesia: Studi Kasus atas PSAK 30 Tentang Sewa. Dengan
menggunakan populasi seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
pada tahun 2002-2012 selain Bank dan perusahaan jasa keuangan karena adanya
perbedaan operasional dan kebijakan akuntansi. Metode pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling, dimana populasi yang akan dijadikan sampel
dalam penelitian ini adalah yang memenuhi beberapa kriteria. Kesimpulan dari
penelitian tersebut menyatakan bahwa seiring dengan berkembangnya kebutuhan
akan sumber pembiayaan alternatif yaitu sewa, kebutuhan akan standar akuntansi
sewa juga semakin meningkat. Pada awalnya standar akuntansi sewa dibuat
berdasarkan US GAAP yang dikenal sebagai a rule based standard. Pada periode
1994-2004 standar akuntansi di Indonesia diubah menjadi berdasarkan IFRS yang
lebih principle based. Standar akuntansi yang principle based lebih
mengutamakan substansi ekonomi transaksi, sehingga kualitas informasi akuntansi
akan meningkat dengan diimplementasikannya IFRS. dalam penelitian ini dilakukan
pengujian dengan memperbandingkan value relevance dari informasi akuntansi sewa
yang dibuat PSAK 30 (1994) dan PSAK 30 (revisi 2007) dan PSAK 30 (revisi 2011).
Hasil penelitian menunjukkan value relevance dari informasi akuntansi yang
dibuat berdasarkan PSAK 30 (revisi 2011) lebih tinggi dai informasi akuntansi
yang dibuat berdasarkan PSAK 30 (revisi 2007), dan value relevance informasi
akuntansi yang dibuat berdasarkan PSAK 30 (1994). Dalam penelitian ini juga
ditemukan adanya perbedaan value relevance dari infromasi akuntansi yang
menggunakan model sewa pembiayaan dan sewa operasi, dimana sewa pembiayaan
lebih value relevance. Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya peningkatan
lebih value relevance baik dari informasi akuntansi yang menggunakan model sewa
operasi dan sewa pembiayaan dengan direvisinya PSAK 30 (1994) menjadi PSAK 30
(revisi 2007) dan PSAK 30 (revisi 2011). Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa pengimplementasian IFRS melalui PSAK 30 (revisi 2007) dan PSAK 30 (revisi
2011) mengakibatkan peningkatan kualitas laporan keuangan. Dalam penelitian ini
terdapat beberapa keterbatasan penelitian. Dalam penelitian tersebut magnitude
dari nilai sewa terhadap total hutang diabaikan, karena keterbatasan
ketersediaan data dalam melakukan constructive operating lease. Dalam
penelitian ini juga tidak di kontrol perubahan yang disebabkan oleh PSAK lain
yang diterbitkan sepanjang tahun 2002-2006. Pengujian normalitas data tidak
menggunakan metode statistik hitung, tetapi hanya menggunakan rule of thumb
dari central limit theorem.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekaputri Ciptani Febriati
dengan judul “Analisis Penerapan PSAK 55 atas Cadangan kerugian Penurunan
Nilai”. Dalam penelitian tersebut, penulis menggunakan jenis komparatif, yaitu
membandingkan teori yang terdapat di PSAK 55 (revisi 2011) dengan praktek yang
dilakukan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Berdasarkan hasil penelitian maka
disimpulkan dalam pengakuan dan pengukuran Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN) yang diterapkan PT. Bank Rakyat Indonesia. Tbk telah sesuai dengan PSAK
55 (revisi 2011). Proses pengakuan CKPN oleh PT. Bank Rakyat Indonesi. Tbk
dicatat pada biaya perolehan diamortisasi diukur menggunakan suku bunga efektif
awal instrumen, serta mempertimbangkan seluruh eksposur pinjaman yang
diberikan, bukan hanya yang berkualitas rendah dalam proses estimasi terhadap
penurunan nilai. Sedangkan pada proses pengukuran CKPN oleh PT. Bank Rakyat
Indonesia. Tbk, aset keuangan dievaluasi secara kolektif diukur berdasarkan
kerugian historis yang pernah dialami perusahaan, yaitu membandingkan tingkat
kerugian historis aset keuangan tersebut dengan tingkat kerugian historis
dengan aset serupa yang telah diobservasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Eva Maria dengan judul
“Penerapan PSAK 16 (revisi 2007) dan PMK No. 79 tahun 2008 tentang aset tetap
pada perusahaan di Indonesia”. Menyimpulkan bahwa secara fiskal perusahaan
mengalami kerugian, maka sebaikanya perusahaan melakukan revaluasi atas aset
tetapnya, karena dalam pembayaran pajak perusahaan akan lebih menguntungkan.
Sebaliknya, jika secara fiskal perusahaan mengalami laba, maka revaluasi aset
tetap sebaiknya tidak dilakukan, karena dalam pembayaran pajak perusahaan akan
mengalami kerugian jika dibandingkan dengan bila perusahaan tidak melalukan
revaluasi aset tetap. Jika boleh untuk memilih, maka perusahaan-perusahaan yang
ada di Indonesia akan cenderung tetap mencatat aset tetapnya seharga nilai
perolehan, hal ini disebabkan karena sistem perpajakan di Indonesia tidak
mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset dikenai
pajak final sebesar 10 % dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh
dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan
yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aset turun. Bayangkan apabila
perusahaan memutuskan memakai revaluation model dan setiap tahun harga asetnya
meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final . padahal kenaikan
harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila
aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastika perusahaan akan enggan
menerapkan revaluation model. Selain itu jika perusahaan memakai revaluation
model, maka siap-siap untukkeluar uang lebih banyak untuk menyewajasa penilai.
Hal ini dikarenakan banyaknyaaset tetap yang tidak memiliki nilai pasar
sehingga ketergantungan kepadajasa penilaiakan besar untuk menilai aset-aset
ini. Kemudian yang jadi masalahjika temyata nilaiwajar yang ditetapkan penilai
berbeda dengan nilai wajar yang di tetapkan auditor dari akuntan publik,
biasanya nilai wajar dari auditor yang akan dipakai. Sistem pencatatanakuntansi
juga sedikit lebih rumit daripada memakai historical cost. Ketika
perusahaanpertama kali berubah dari historical cost model ke revalution model,
maka akumulasipenyusutan di hapus dan beban penyusutan dihitung kembali
berdasarkan nilai wajar yang baru. Demikian selanjutnya apabila revaluasi
menerbitkan nilai baru, maka bebanpenyusutan dihitung kembali .
Penelitian yang dilakukan oleh Glyceria ayu wijayanti
dengan judul “Analisis Manajemen Laba di Tingkat Segmen Sebelum dan Sesudah
Penerapan Adopsi IFRS 8 Menjadi PSAK 5 (2009) pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar Di BEI. Dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa standar
IFRS 8 mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi segmen yang ada
dengan jujur. Aturan tersebut diharapkan mampu menekan atau lebih membatasi
perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajer. Hasil analisis
deskriptif menunjukkan bahwa manajemen laba di tingkat segmen dengan
Discretionary Unallocated Cost yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI cenderung sangat kecil. Hal ini dapat diketahui dari nilai
rata-rata manajemen laba di tingkat segmen dengan jumlah yang sangat kecil.
Rata-rata manajemen laba setelah adopsi IFRS 8menjadi PSAK No. 5 (2009) bahkan
cenderung mengalami penurunan. Dengandemikian, dugaan penelitian bahwa
perusahaan yang telah mengadopsi IFRScenderung memiliki tingkat manajemen laba
yang lebih rendah daripadasebelum mengadopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009)
dapat diterima. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa dugaan dapat
diterima,namun dari pengujian hipotesis dapat diketahui bahwa tidak
terdapatpenurunan yang signifikan pada manajemen laba di tingkat segmen sebelumdan
setelah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009). Hal ini terjadi karenasebagian
besar sampel perusahaan manufaktur multisegmen yang terdaftar diBEI mengalami
peningkatan manajemen laba, dan sebagian lainnya mengalamipenurunan bahkan ada
kemungkinan cenderung tidak melakukan manipulasilaba di tingkat segmen melalui
Discretionary Unallocated Cost baik sebelumataupun sesudah adopsi IFRS 8
menjadi PSAK No. 5 (2009). Tidak adanya penurunan yang signifikan pada
manajemen laba di tingkatsegmen menunjukkan bahwa adopsi IFRS 8 menjadi PSAK
No. 5 (2009) tidakmemberikan perbedaan terhadap tingkat aktivitas manajemen
laba padaperusahaan manufaktur multisegmen yang terdaftar di BEI. Meskipun
adopsiterhadap IFRS 8 sudah dilakukan, namun masih terdapat perusahaan
yangmengalami peningkatan manajemen laba. Hal ini terjadi karena
perilakuoportunis yang dimiliki oleh manajer. Sebaik apapun standar yang
digunakan,jika manajer tetap memiliki perilaku oportunis yang ingin
mengutamakankepentingan pribadi maka tindakan-tindakan seperti manajemen laba
masihsulit untuk ditekan.
Daftar Pustaka
Tjandra,
Gerry. 2014. “Dampak Penerapan PSAK 24
(revisi 2010), FAS 158 dan ED PSAK 24 revisi 2013 Imbalan Paska kerja Program
Imbalan Pasti”. Media Bisnis Vol. 6, No. 1. STIE Trisakti.
Eliza, Any.
2012. “Tinjauan Atas PSAK No. 1 (revisi
2009): Penyajian Laporan Keuangan dan Perbedaannya dengan PSAK No. 1 (revisi
1998)”. Jurnal Ilmiah ESAI Volume 6, No. 2.
Sitopu,
Armelia Sri Wulandari dan Dr. Ratna Wardhani. 2014. “Dampak Pengimplementasian IFRS Terhadap Kualitas Laporan Keuangan di
Indonesia: Studi Atas PSAK 30 Tentang Sewa”. SNA 17 Mataram. Universitas
Indonesia.
Tyas, Esti
Laras Aruming. 2013. “Evaluasi Penerapan
Standar Akuntansi Keuangan Dalam Pelaporan Aset Biologis (studi kasus pada
koperasi “M”). Universitas Brawijaya.
Febriati,
Ekaputri Ciptani. 2013. “Analisis
Penerapan PSAK 55 atas Cadangan Kerugian Nilai”. Jurnal EMBA Vol. 1, No. 3.
Universitas Sam Ratulangi Manado.
Paath, Chintya
Lidya Amelia. 2015. “Evaluasi Penerapan
PSAK 24 Revisi 2010 Mengenai Imbalan Kerja Khususnya Imbalan Setelah Bekerja
Pada Bank Sulut”. Jurnal EMBA Vol.3, No. 1. Univesitas Sam Ratulangi
Manado.
Kusumawardhani,
Anggi Puspita. 2014. “Dampak Penerapan
Nilai Wajar Berdasarkan PSAK 13: properti Investasi (revisi 2011) Terhadap Laba
Perusahaan”. Skripsi. Universitas Jember.
Pratama,
Yongka Arief. 2014. “Perbedaan Kualitas
Laba Sebelum dan Sesudah Adopsi International Accounting Standards (IAS) 39 Pada
Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”. Karya ilmiah
tidak dipublikasikan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Wijayanti,
Glyceria Ayu. 2014. “Analisis Manajemen
Laba di Tingkat Segmen Sebelum Dan Sesudah Penerapan Adopsi IFRS 8 Menjadi PSAK
5 (2009) Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di BEI”. Karya ilmiah
yang tidak dipublikasikan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Chariri, Anis.
2010. “Menguji Kualitas Standar Akuntansi
Hasil Adopsi IFRS: Studi Empiris Pada PSAK No. 55 (revisi 2006)”. SNA XIII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar