Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing
LATAR BELAKANG
Globalisasi
membuat perkembangan perekonomian di dunia menjadi semakin pesat dan membuat
batas-batas negara menjadi hampit tidak ada. Perusahaan multinasional juga akan
menghadapi suatu permasalahan yaitu perbedaan tarif pajak perbedaan tarif pajak
ini membuat perusahaan multi nasional mengambil keputusan untuk melakukan
transfer pricing, transfer pricing menimbulkan beberapa masalah menyangkut bea
cukai, pajak, ketentuan anti dumping, persaingan usaha yang tidak sehat, dan
masalah internal manajemen. Para ahli juga mengakui bahwa transfer pricing ini
bisa menjadi suatu masalah bagi perusahaan. Namun ini juga bisa menjadi peluang
penyalahgunaan untuk perusahaan yang mengejar laba yang tinggi. Bagi perusahaan
yang memiliki anak perusahaan di negara yang tarif pajaknya tinggi maka akan
menjadi suatu masalah karena akan membayar pajak yang lebih banyak, sehingga
keuntungan yang didapat lebih sedikit. Tidak sedikit juga perusahaan yang
melihat peluang ini sebagai suatu peluang dan membuat strategi untuk
mendapatkan keuntungan lebih dari penjualan dan penghindaran pajak. Salah satu
caranya adalah dengan membuat anak perusahaan di negara yang memberikan tarif
pajak rendah ataupun negara yang berstatus tax heaven county.
Undang-undang
nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan juga mempunyai aturan mengenai
masalah transfer pricing, yaitu pasal 18. Aturan transfer pricing biassanya
mencakup beberapa hal, yaitu: pengertian hubungan istimewa, wewenang menentukan
perbandingan utang dan modal, dan wewenang untuk melakukan koreksi dalam hal
terjadi transaksi yang tidak arms length. Berdasarkan Undang-undang Nomor 18
tahun 2000 diatur di pasal 2 ayat (2) yaitu: hubungan istimewa antara wajib
pajak badan dapat terjadi kepemilikan atau penungasaan modal saham suatu badan
oleh badan lainnua sebanyak 25% 9dua puluh lima persen) atau lebih, atau antara
beberapa badan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh
suatu badan. Hubungan istimewa dapat mengakibatkan ketidakwajaran harga, biaya
atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Secara
universal transaksi wajib pajak yang mempunyai hubungan instimewa dikenal
dengan istilah transfer pricing. Menurut Dirjen pajak Indonesia tidak diragukan
lagi bahwa transfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak
negara. Menurut perhitungan dirjen pajak, negara berpotensi kehilangan 1.300
triliun rupiah akibat dari praktek transfer pricing. Bahkan lebih dipertegas
lagi menurut informasi internal dirjen pajak bahwa kehilangan tersebut
kebanyakan akibat adanya pembayaran bungan, rpyalti serta intragroup service,
sehingga dirjen pajak percaya bahwa dengan menyetop pembayaran tersebut negara
tidak perlu menambah hutang lagi.
Globalisasi telah membawa dampak semakin meningkatnya
transaksi transasional atau cross-border transaction. Arus barang, jasa, modal
dan tenaga kerja juga semakin mudah dan lancar antar negara. Belum lagi dengan
kehadiran WTO (world Trade Organization) yang memfasilitasi perdangan
internasional. dalm lingkungan perusahaan multinasional dan konglomerasi serta
divisionalisasi terjadi berbagai transaksi antar anggota (divisi) meliputi
penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya,
penyadiaan pinjaman dan lain sebagainya. Dengan adanya usaha konglomerasi ini,
kita mengenal berbagai nama grup perusahaan terkenalyang merambah dunia bisnis
secara nasional, regional maupun internasional selanjutnya
perusahaan-perusahaan ini membentuk holding company untuk mengkordinasikan
bisnis mereka sendiri. Dalam menentukan harga , imbalan, dan lain sebagainya
antar mereka biasanya menentukan berdasarkan kebijakan harga transfer (transfer
pricing) yang ditentukan oleh holding company yang dapat sama atau tidak sama
dengan harga pasar. Praktik transfer pricing ini dulunya hanya dilakukan oleh
perusahaan semata-mata hanya untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi
perusahaan, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, praktek transfer pricing
juga dipakai untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. Transfer
pricing ini telah menuai banyak sekali masalah di berbagai negara kerena dalam
praktiknya mereka menggunakan hal-hal yang sangat bertentangan denga aturan
yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah mencoba memaparkan aspek penetapan
harga transfer ditinjau dari sudut akuntansi maupun perpajakan serta
probelematika praktik penghindaran pajak maupun kecurangan-kecurangan yang
marak menjadi akibat praktik transfer pricing yang tidak wajar.
Kajian Teori
Definisi transfer pricing
Menurut
Simamora transfer pricing didefinisikan sebagai nilai atau harga jual khusus
yang idpakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi
penjual dan biaya divisi pembeli. Transfer pricing juga disebit dengan
intracompany pricing. Intercorporatepricing, interdivisional atau internal
pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian
manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota. Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan transfer pricing
sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota grup dalam sebuah
perusahaan multinasional dimana harga transfer yang ditentukan tersebut dapat menyimpang
dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya. Mereka dapat menyimpang
dari harga pasar wajar karena posisi
mereka yang berada dalam keadaan bebas untuk mengadopsi prinsip apapun yang
tepat bagi korporasinya. “..In a multinational enterprise (MNE) many
transaction normaly take place between members of the group. The price charged for such transfer do not necessarily
represent a result of the free play of market
forces, but may, for a number of reasons and because the MNE is in a
position toadopt whatever piciple is convenient to its as a group (OECD)”. Jerry
M. Rosenburg dalam Santoso (2004:126) mengungkapkan bahwa “transfer pricing is the
price charged by one segment of an organization for a product or service it
supplies to another part of the same firm transfer pricing “ atau harga transfer adalah harga
yang ditentukan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang
atau jasa yang dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama.
Garrison, Noreen
and Brewer (2007) mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang dibebankan
jika satu segmen perusahaan menyediakan barang atau jasa kepada segmen lain
dari perusahaan yang sama. Ditinjau dari aspek perpajakan, Susan M. Lyons
mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang dibebankan oleh suatu
perusahaan atas barang, jasa, harta tak berwujud kepada perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa (International Tax Glossary, Amsterdam,1996). Pengertian
lain dari transfer pricing menurut Suryana (2012) adalah transaksi barang dan jasa
antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar,
bisa dengan menaikkan (mark up) atau
menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global
(multinational enterprise). Yang dimaksud dengan perusahaan multinasional
adalah perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara di bawah
pengendalian satu pihak tertentu. Dr. Gunadi transfer pricing adalah penentuan
harga atau imbalan sehibungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan
teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan isitimewa dan suatu
rekayasaa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba
artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di
suatu negara. Dirjen pajak penetapan harga atas transaksi penyerahan barang
berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang memiliki
hubungan istimewa (transaksi afisiliasi). Menurut pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) no. 7 tahun 2010, pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah
bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain, atau
mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalm mengambil keputusan.
Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa adalah suatu pengalihan sumber daya, atau kewajiban antara pihal-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga
diperhitungkan.
Metode harga transfer pricing:
a.
Dari
segi ekonomi
Prinsip dasar dari tansfer pricing adalah memaksimalkan
laba perusahaan. Perusahaan harus secara berkala menjual produk sampai dengan
titik dimana tambahan biaya kerana adanya tambaha unit yang diproduksi dan
dijual ;ebih rendah dibandingkan dengan pengahsilan yang diperoleh dari
penjualan unti tersebut. Dalam hal penentuan harga untuk perusahaan yang
terintergrasi, harga harus dicantumkan berdasarkan marginal cost pridusen.
b.
Dari
segi manajemen
Robert dan Govindarajan mendefinisikan bahwa “the term of
transfer pricing is a value placed on a transfer of goods and services beetween
in transaction in which at least one of the two partiesin solved is a profit
center.” Sehingga transfer pricing lebih ditujukan untuk mengukur kinerja
divisi, laba perusahaan secara keseluruhan, dan otonomi divisi menilai motivasi
dan performance setiap divisi / unit bersangkutan dalam hal mencapai tujuan
usaha.
Tujuan Penetapan harga Transfer.
Tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan
data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan
pada waktu mereka saling menggunakan barangdan jasa satu sama lain (Simamora,
1999). Selain itu transfer pricing terkadang digunakan untukmengevaluasi
kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menujukeputusan-keputusan
yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Menurut Horngren,
Datar dan Foster (2008) penetapan harga transfer (transfer pricing)seharusnya
membantu mencapai strategi dan tujuan perusahaan dan sesuai dengan struktur
organisasi
perusahaan. Secara khusus, transfer pricing seharusnya
mendukung kesesuaian tujuan dan tingkat Aspek Perpajakan dalam Transfer Pricing
dan Problematika Praktik Penghindaran Pajak usaha manajemen puncak. Subunit
yang menjual produk atau jasa seharusnya dimotivasi untuk menurunkan biaya
mereka; subunit yang membeli produk atau jasa seharusnya dimotivasi untuk memperoleh
dan menggunakan input secara efisien. Transfer Pricing seharusnya juga membantu
manajemen puncak mengevaluasi kinerja dari subunit individual dan manajer
mereka. Jika manajemen puncak mendukung tingkat desentralisasi yang tinggi,
harga transfer seharusnya mendukung tingkat otonomi subunit yang tinggi dalam
pengambilan keputusan. Ini berarti manajer subunit yang ingin memaksimalkan
laba operasi dari sub unitnya seharusnya memiliki kebebasan untuk melakukan
transaksi dengan subunit lain dari perusahaan (atas dasar harga transfer) atau
untuk melakukan transaksi dengan pihak eksternal. Menurut Suryana (2012),
tujuan dilakukannya transfer pricing, pertama untuk mengakali jumlah profit
sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua ,menggelembungkan
profit untuk memoles (window-dressing) laporan
keuangan. Negara dirugikan triliunan rupiah karena praktik transfer pricing
perusahaan asing di Indonesia.
Metode Penentuan
Transfer Pricing
Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) merupakan organisasi kerjasama ekonomi negara-negara maju yang dibentuk
tahun 1961. Tujuan didirikannya OECD adalah 1. Mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan standar hidup yang
berkelanjutan, 2. Perluasaaan ekonomi yang sehat, 3. Kontribusi perluasan
perdagangan dunia sevara multilateral berdasarkan non0diskriminasi dari semua
anggota. Bidang yang menangani perpajakan dalam OECD dilakukan oleh Committe on
Fiscal Affairs (CFA) . terkait dengan transfer pricing CFA melaluo sub group
nya yaitu working party no. 6 menerbitkan OECD transfer pricing guidelines OECD
transfer pricing Guidelines berguna sebagi panduan bagi perusahaan
multinasional dan otoritas pajak dalam masalah transfer pricing. Guidelines ini
dibuat untuk membantu otoritas pajak maupun perusahaan multinasional dalam
memberikan panduan tentang cara penyelesaian perselisihan transfer pricing yang
saling menguntungkan antara masing-masing otoritas pajak, dan antara otoritas
oajak dengan perusahaan multinasional. Bebrapa ketentuan umum dalam pendoman
(OECD) antara lain 1. Menerapkan arms-length principle dengan prefensi pada
metode transaksi tradisional, 2. Penerapan tingkat komparabilitais yang
menekankan fungsi, risiko yang disandang dan aset dimanfaatkan, 3. Pengenalan
metode laba yang disebut transactinal net margin method (TNMM) dan, 4. Memahami
pentingnya dokumentasi atau transfer pricing dan peranan pinalti dalam
meningkatkan kapetuhan.
Metode dalam penentuan transfer pricing antara lain:
1.
Metode
tradisonal
a.
Comparable
Uncontrolled Price Method (CUPM) Metode perbandingan harga antara pihak yang independen
(comparable uncontrolled price) atau disingkat CUPM adalah metode penentuan
harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. Kondisi yang tepat untuk
menggunakan CUPM ini adalah :
• Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki
karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
• Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki
Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau
dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari
perbedaan kondisi yang timbul.
b.
Cost-Plus
Method (CPM)
Harga
pasar wajar ditentukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari
transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada
harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha. Kondisi yang tepat untuk menggunakan CPM adalah:
• Barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa;
• Terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas
bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long
term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa; atau
•
Bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
Apabila
tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka metode CPM tidak dapat digunakan dan Wajib
Pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.
c.
Resale
Price Method (RPM)
Metode
harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat RPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi
laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan
kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan
istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar. Kondisi
yang tepat untuk menggunakan metode ini adalah :
• Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi
antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara
Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat
kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang/jasa yang
diperjualbelikan berbeda dan
• Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai
tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
2. Metode Transactional Profit:
a. Profit Split
•
Metode ini digunakan apabila data pembanding tidak cukup lengkap.
• Laba dari transaksi antara pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa dapat diketahui dengan cara melakukan analisis fungsi atas
kegiatan usaha yang dilakukannya.
b. Transactional Net Margin Method (TNMM)
•
Metode ini juga digunakan apabila data pembanding tidak cukup lengkap.
•
Membandingkan laba bersih dengan Harga Pokok Penjualan (HPP), Penjualan atau
aktiva yang dipergunakan untuk menghasilkan laba bersih tersebut, setelah itu
laba bersih atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
3. Metode Lainnya:
OECD
Guidelines tidak memperkenankan metode lainnya untuk menentukan harga pasar
wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang sesungguhnya.
Metode ini terdiri dari global split method dan juga formulary apportionment
method. Dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh, dinyatakan bahwa Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus atau metode
lainnya. maksud diadakannya ketentuan ini adalah mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan terjadai penghasilan dilaporkan kurang
dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam
hal demikian. Direktur jendral pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan atau biaya yang sesuai dengan keadaan seandainya di antra para
wajib pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali
jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus
atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit Split Method) dan
metode laba bersih transaksional.
PEMBAHASAN
Transfer pricing merupakan isu
klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi
multinasional. Dari sisi pemerintahan,
transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau
hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari
negara-negara yang memiliki
tarif pajak yang tinggi (high tax
countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain
dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan
biaya-biaya (cost efficiency) termasuk
di dalamnya minimalisasi pembayaran
pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi perusahaan berskala global (multinational corporations), transfer pricing dipercaya
menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas (Santoso, 2004).
Dalam
lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar anggota
yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tidak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga
atas berbagai transaksi antar anggota
korporasi tersebut dikenal
dengan sebut Dalam lingkungan
perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar anggota yang meliputi penjualan barang dan jasa,
lisensi hak dan harta tidak berwujud lainnya, penyediaan
pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antaranggota dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer). Di Indonesia, transaksi antaranggota perusahaan multinasional tidak luput dari rekayasa transfer pricing, terutama oleh wajib
pajak penanaman modal asing
(PMA) dan cabang perusahaan
asing di Indonesia yang termasuk dalam kategori bentuk usaha tetap (BUT).
Sebagian besar perusahaan tersebut bergerak di bidang manufaktur dan mempunyai kaitan
internal yang cukup substansial dengan induk perusahaan atau afiliasinya di negara manca. Perusahaan di Indonesia terutama
dimanfaatkan sebagai manufaktur
barang madya (intermediate goods)
atau bahan mentah (raw materials) mereka. Produk hasil pabrik Indonesia
tersebut dipasarkan ke
pasar lokal atau diekspor ke Negara ketiga, demikian pernyataan Gunadi dalam
Santoso (2004).
Ditinjau
dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global
mereka dengan cara memanfaatkan
ketiadaan ketentuan perpajakan
suatu negara yang tidak mengatur ketentuan
anti penghindaran pajak (anti tax
avoidance) atau
mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa
dimanfaatkan untuk melakukan
praktik penghindaran pajak. Menurut Clausing dalam Darussalam dan Septriadi (2005) perusahaan multinasional mempunyai
peran yang sangat besar dalam perdagangan internasional. Diperkirakan dua per tiga
perdagangan dunia terjadi antara
perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa (dalam satu grup). Oleh karena
berhubungan dengan jumlah ekspor dan
impor barang dalam jumlah yang besar
yang dapat memengaruhi jumlah pajak yang terutang, tentu saja transaksi tersebut dapat menimbulkan konflik
antara pihak fiskus dan Wajib Pajak.
Pengertian
penghindaran pajak (tax avoidance)
selalu diartikan sebagai kegiatan meminimalkan beban pajak tanpa melanggar
ketentuan perpajakan (legal) sedangkan
penyelundupan pajak (tax evasion) diartikan sebagai
kegiatan meminimalkan beban pajak dengan
melanggar ketentuan
perpajakan (ilegal). Timbul pertanyaan,
apakah penghindaran pajak dapat selalu dikatakan legal.
Menurut Roy Rohatgi dalam
Darussalam dan Septriadi (2005), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan menjadi penghindaran
pajak yang diperbolehkan (acceptable
tax avoidance/tax planning/tax mitigation)
dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Dengan kata lain, penghindaran pajak dapat saja
dikategorikan sebagai kegiatan
legal ataupun ilegal. Suatu penghindaran
pajak dikatakan illegal apabila
transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran
pajak atau transaksi
tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose). Oleh karena itu, untuk mencegah
praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan Michael J. Mc
Intyre dalam Darussalam dan Septriadi, 2005).
Model
penghindaran pajak kemungkinan sering terjadi pada ekspor komoditas. Para eksportir, masih banyak menggunakan
kontrak penjualan lama, yang belum
direnegosiasi, untuk pelaporan
omset pada SPT Tahunan. Pengusaha juga melakukan
transfer pricing dengan
mendirikan perusahaan
perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Hongkong dan Singapura,
sebelum menjual ke enduser (Suryana, 2012). Praktik penghindaran
pajak oleh perusahaan multinasional pada umumnya
dilakukan dengan cara
(a) transfer pricing, (b) thin capitalization (c) treaty shopping, dan (d) controlled foreign corporation (CFC). Transfer pricing biasanya dilakukan dengan cara memperbesar harga
beli dan memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan mentransfer
laba yang diperoleh kepada
grup perusahaan yang berkedudukan di negara
yang menerapkan tarif pajak yang rendah. Thin capitalization dilakukan melalui
pemberian pinjaman oleh perusahaan induk kepada
anak perusahaannya yang berkedudukan di negara
lain, di mana perusahaan induk
lebih suka memberikan dana
kepada anak perusahaannya dengan cara pemberian
pinjaman daripada dalam bentuk setoran modal.
Alasannya, biaya bunga (biaya
yang timbul atas pinjaman) dapat dikurangkan dari penghasilan
kena pajak anak perusahaan. Sedangkan dividen (biaya yang berkaitan dengan
modal) tidak dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak. Treaty
shopping dilakukan dengan cara
memanfaatkan fasilitas tax treaty
suatu negara oleh perusahaan yang tidak berhak atas fasilitas treaty tersebut, sedangkan controlled foreign corporation
dilakukan dengan cara menunda pengakuan
penghasilan modal yang
bersumber di luar negeri (biasanya di negara tax haven) untuk dikenakan
pajak di dalam negeri.
Ketentuan
anti penghindaran pajak di Negara Indonesia, diatur dalam Pasal 18 UndangUndang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), akan tetapi tidak diatur secara ketat seperti yang diterapkan di banyak negara.Sebagai
contoh, dalam ketentuan perpajakan Indonesia tidak
ada pembatasan perbandingan antara modal
dan utang (Debt Equity Ratio)
untuk mencegah pembebanan biaya
bunga yang tidak wajar, dan
juga belum ada prosedur rinci tentang Advance Pricing
Agreement (APA) yang bisa diterima oleh pihak
fiskus maupun Wajib Pajak sebagai jalan tengah untuk memecahkan kebuntuan pemeriksaan
transaksi transfer pricing yang
begitu rumit dan memerlukan
waktu yang lama. Oleh karena ketiadaan sebagian aturan tentang anti penghindaran pajak dalam ketentuan perpajakan
Indonesia, tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaanperusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mereka (Darussalam dan Septriadi, 2005).
Skema
transfer pricing yang sering
dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah
dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara
yang tarif pajaknya tinggi ke
negara yang tarif pajaknya rendah.
Untuk mencegah adanya pengalihan atas laba adalah dengan berbagai macam cara
antara lain:
1. Otoritas
pajak di berbagai Negara membuat aturan transfer
pricing yang ketat seperti penerapan hukuman atau sanksi.
2. Persyaratan dokumen yang lengkap.
3. Pemeriksaan
pajak terhadap perusahaan yang melakukan praktik transfer pricing.
Mengenai
ketentuan transfer pricing,
harus ditentukan Negara mana yang berhak memajaki laba
yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya lebih dari satu Negara. Untuk perusahaan yang berorientasi pada laba,
maka perusahaan multinasional akan berusaha
untuk meminimalkan beban pajak melalui praktik
penghindaran pajak (tax avoidance)
di negara-negara yang
tidak mengatur secara ketat tentang ketentuan anti penghindaran pajak. Di
Indonesia, untuk menangkal
skema transfer pricing, maka
sudah dibuat unit khusus (setingkat seksi) dalam
jajaran Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan,
yaitu Sub Direktorat Pemeriksaan
Transaksi Khusus Seksi Transfer Pricing. Dalam pemeriksaan
transfer pricing harus ada kepastian hukum bagi
Wajib Pajak, agar tidak ada
pemeriksaan yang dilakukan
di luar koridor ketentuan perpajakan yang berlaku.
Terkait
dengan isu transfer pricing,
secara umum otoritas fiskal harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap
dugaan transfer pricing
mendapat justifikasi yang kuat. Kedua hal prinsipil tersebut
adalah: (1) afiliasi (associated enterprises)
atau hubungan istimewa (special relationship)
dan (2) kewajaran atau arm’s length
principle (Harimurti, 2007).
1)
Afiliasi atau
Hubungan Istimewa
Dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1)
dianggap ada apabila:
1.
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh
lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir;
2.
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak
lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau
3.
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau
4.
ke samping satu derajat.
Dalam
penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak
dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang
disebabkan:
a.
Kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b.
Adanya penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi.
Selain
karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak Orang Pribadi
dapat pula terjadi karena adanya
hubungan darah atau perkawinan.
Penggunaan kata
“hubungan istimewa” dalam akuntansi sudah tidak digunakan lagi tetapi menggunakan
istilah “berelasi” merujuk pada istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata “related party”.
Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas dalam PSAK 7. Suatu perusahaan
dikatakan mempunyai
hubungan istimewa dengan perusahaan pelapor jika (paragraf 9):
·
Perusahaan tersebut yang melalui satu
atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah ventura
bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries,
sub-subdiaries, dan fellow subsidiaries).
·
Perusahaan tersebut adalah perusahaan
asosiasi (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 15 Investasi dalam Perusahaan Asosiasi);
·
Perusahaan tersebut adalah perusahaan
ventura bersama di mana perusahaan pelapor menjadi venture
(sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 12 Bagian
Partisipasi dalam Ventura Bersama);
·
Perusahaan tersebut adalah perorangan
(dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan
pelapor atau induk perusahaannya;
·
Perusahaan tersebut adalah perusahaan
yang mengendalikan, venture bersama, atau yang dipengaruhi
secara signifikan oleh individu (dan anggota keluarga dekat dari individu
tersebut) dari anggota
manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya; dan
·
Perusahaan tersebut adalah suatu program
imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari salah satu perusahaan pelapor atau perusahan mana
pun yang berelasi dengan perusahaan pelapor.
Hubungan
istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha
perusahan pelapor. Pihak-pihak berelasi
dapat melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan
istimewa. Transaksi antara pihak-pihak berelasi juga dapat dilakukan dengan
harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Sebagai contoh, anak perusahaan yang biasanya
menjual produknya ke
pihak independen dengan harga jual normal, mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke
induk perusahaan dengan harga pokok
saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi yang tidak istimewa. Contohnya adalah anak
perusahaan yang menjual dengan
harga jual normal kepada induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa
dengan suatu pihak,
PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi (Juan dan Wahyuni,
2012:535).
2)
Kewajaran (Arm’s Length Principle)
Berkaitan
dengan masalah kewajaran, menurut PSAK No. 17, menyatakan bahwa pengakuan akuntansi
suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada suatu harga yang
disepakati pihak yang
bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara
pihak yang independen (arm’s length
price). Pihak yang mempunyai
hubungan istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga, yang tidak terdapat
dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan menurut UU PPh,
Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Menurut arm’s length principle, harga-harga
transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat mencerminkan
harga yang disepakati sebagaimana transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak
yang tidak terkait yang bertindak secara
bebas. Apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari
transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi tersebut
haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga ketidaksesuaian, dapat
menyebabkan dilakukannya koreksi oleh
pihak otoritas fiskal.
Dalam
Pasal 18 ayat (3a) UU PPh dinyatakan
bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak
negara lain untuk menentukan harga transaksi
antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang
berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Maksud dari pernyataan dalam pasal 18 ayat (3a)
ini mengenai kewenangan Dirjen Pajak untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa berbicara tentang kesepakatan
harga transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) yaitu kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak
mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa (related parties)
dengannya. Tujuan diadakannya
APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh
perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal
Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal,
antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang
dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup
yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral,
yaitu
kesepakatan
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib
Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Untuk
mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm's length price),
maka Dirjen Pajak menetapkan pedoman penentuan harga transfer di Indonesia yang
diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER 43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-32/PJ/2011. Aturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) terkait transaksi antara wajib pajak
dengan pihak yang memiliki
hubungan istimewa. Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak
berelasi /related parties
(Suryana, 2012). Pada Pasal 2 dinyatakan
bahwa terdapat 2 pihak yang harus tunduk kepada ketentuan tersebut. Pertama,
pedoman transfer
pricing
ini berlaku untuk penentuan harga transfer atas transaksi yang dilakukan wajib
pajak dalam negeri
atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dengan wajib pajak luar negeri di luar Indonesia
(Cross-border Transfer Pricing).
Cross-border transfer pricing inilah yang sebenarnya yang menjadi alasan utama mengapa perlu
ada pedoman transfer pricing.
Perbedaan tarif pajak Indonesia dengan negara
lain dapat dimanfaatkan
oleh wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak
(tax avoidance) dengan cara
mengatur harga transfer untuk memindahkan laba ke negara yang tarif pajaknya rendah. Kedua, pedoman transfer pricing bisa juga diterapkan
untuk transaksi antara wajib
pajak yang berhubungan istimewa di Indonesia yang dapat memanfaatkan perbedaan tariff karena:
1.
Perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan
final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
2. Perlakuan
pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
3. Transaksi
yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
Menurut pernyataan Suryana (2012), untuk
mengurangi praktik transfer pricing perlu
dikaji beberapa hal: Pertama mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9
huruf d Standar Professional
Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang
diungkapkan dalam laporan keuangan. Kedua, memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke
semua transaksi yang
diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non
afiliasi. Ketiga, menggunakan data pembanding eksternal
dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mendeteksi
aliran dana dan underlying
transaksi ekspor. Dalam Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011,
seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa, dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE
meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor
pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir. Keempat,
mengumumkan ke publik tentang proses banding
oleh wajib pajak yang melakukan transfer
pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU
No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik.
Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata publik bahwa
perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukankecurangan untuk
menghindari pajak. Kelima, perlu
ada data center, seperti Indonesian
Coal Index, yang
meng-update harga terbaru
komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment
kewajaran omset penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan. Keenam, pembentukan
single document window (SDW)
antar negara yang telah menerapkan tax
treaty, dan forum
multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga pengiriman
barang antar negara produsen dan konsumen.
Dengan model SDW, penerbitan invoice
oleh perusahaan perantara
abal-abal di tax haven country akan terkena pajak,
sehingga modus transfer pricing
tidak efisien untuk perusahaan tersebut.
Daftar Pustaka
Aprilina, Ria.
2011. Pengaruh penerapan sistem modernisasi adminitrasi perpajakan terhadap
kepatuhan wajib pajak.
Garrison, Noreen dan Brewer. 2007. Akuntansi Manajerial.
Penerbit salemba Empat.
Gunadi. 1994. Transfer
Pricing: Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak. Bena rena pariwara,
Jakarta.
Gusnadi. 2009.
Penetapan Harga Transfer Dalam Kajian Perpajakan. Jurnal Pekbis, Vol. 1, No. 1,
Maret 2009.
Kementerian Keuangan
Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. 2011. Susunan Dalam satu naskah
undang-undang perpajakan. Direktorat penyuluhan pelayanan dan humas,
Lingga, ita
salsalina. 2013. Aspek Perpajakan dalam Transfer Pricing dan Problematika
Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). Universitas Kristen Maranatha.
Peraturan Direktur
Jendral Pajak Nomor: PER-32/PJ/2011 tentang penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
Simamora,
henry 1999. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.
Undang-undang
RI Nomor 36 tahun 2008 mengenai pajak Penghasilan.
Waluyo. 2011. Perpajakan
Indonesia. Edisi 10. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut