Pasar modal merupakan tempat dimana berbagai instrumen
keuangan diperjualbelikan. Pasar modal berperan besar dalam menjalankan fungsi
ekonomi dan keuangan suatu negara, termasuk di Indonesia. Undang-undang Nomor 8
tahun 1995 tentang pasar modal telah menggariskan bahwa pasar modal mempunyai
posisi strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Pasar modal menjadi sarana
pendanaan bagi perusahaan maupun istutusi pemerintah, sekalaigus sarana bagi
masryarakat untuk melakukan kegiatan investasi. Pemilik dana atau investor
banyak yang tertarik untuk berinvestasi di pasar modal karena ingin mendapatkan
keuntungan dari tabungan maupun deposito. Namun keuntungan yang lebi besar ini
sejalan denga resiko yang dihadapi. Investasi dipasar modal tidak dijamin oleh
pemerintah, sehingga suatu waktu investro dapat merugi karena investasinya
tidak bernilai sama sekali. Tabungan, deposito, dan bentuk investasi bebas
risiko lainnya, meskipun bunga nya kecil, cukup aman karena dijamin pemerintah
melalui lembaga penjamin simpanan (LPS). Semakin besar risiko investasi,
semakin besar pula potensi keuntungan. Karena itu, meskipun instrumen keuangan
di pasar modal menjanjikan keuntungan yang lebih besar, investor perlu berhati-hati
dalam mempertimbangkan perusahaan tempat dia akan berinvestasi.
Salah satu instrumen keuangan yang aktif diperjualbelikan
di pasar modal adalah saham. Saham merupakan bukti kepemilikan atau penyertaan
modal seseorang dalam suatu perusahaan. Bentuk saham adalah selembat kertas
yang menyatakan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan
surat tersebut. Pemegang saham ini berhak atas keuntungan yang diperoleh
perusahaan. Karena itu, salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan
investor dalam memilih saham perusahaan untuk berinvestasi atau untuk
mempertahankan saham yang dimiliki adalah dengan melihat stock return atau
tingkat pengembalian ssaham perusahaan. Return atau tingkat pengembalian saham
merupakan manfaat atau keuntungan yang diterima investor atas investasinya
dalam perusahaan. Karena dihitung berdasarkan harga saham perusahaan yang
seringkali naik turun, nilai return tidak pasti setiap tahunnya, tergantung
kinerja perusahaan. Adanya ketidakpastian ini kemudian mendorong investor
menggunakan berbagai cara atau metode untuk memilih saham perusahaan yang tepat
untuk meminimalkan risiko investasi. Untuk memutuskan memilih atau
mempertahankan investasinya di suatu perusahaan, investor akan menilai kinerja
perusahaan tempatnya berinvestasi menggunakan berbagai metode. Penilain kinerja
ini dilakukan atau dihitung berdasarkan nilai-nilai yang tercantum pada laporan
keuangan yang diterbitkan perusahaan. Kinerja perusahaan ini merupakan gambaran
atau indikator yang menunjukkan kelayakan sebuah saham dipilih sebagai
instrumen investasi. Saham perusahaan dianggap layak harga atau return saham
perusahaan tersebut. Idealnya, kinerja perusahaan berbanding lurus dengan
kesejahteraan pemegang sahamnya. Oleh karena tujuan utama investor adalah
memaksimalkan return, maka dibutuhkan suatu pengukuran kinerja berhubungan
dengan return, yang menggambarkan kesahteraan pemegang saham.
Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam pengukuran
kinerja keuangan tradisional, dikembangkanlah suatu pemikiran atau konsep
pengukuran berdasarkan nilai yang dikatakan mampu menjelaskan kinerja saham
perusahaan secara lebih akurat, yakni pengkuran kinerja keuangan berdasarkan
nilai (value based) yang dikenal dengan value based management (VBM) memasukkan
biaya modal dalam perhitungannya. Dengan memasukkan biaya modal (cost of
capital) perusahaan dalam perhitungannya, VBM dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi
potensi penciptaan nilai (value-creating) dari perusahaan. VBM pada dasarnya
menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham. Jika
laba yang diperoleh lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan, sehingga
dasar perhitungannya adalah mengurangkan laba dengan biaya modal. Value based
measurement (VBM) merupakan metode pengukuran kinerja berdasarkan nilai yang
dikembangkan para peneliti untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari pengukuran
tradisional. Metode ini memasukkan biaya modal dalam perhitunganya, sehingga
dapat digunakan untuk menghitung pertambahan nilai perusahaan. Konsepnya adalah
nilai (value ) dapat tercipta jika perusahaan yang menginvestasikan modalnya
dapat memperoleh return melebihi cost of capital. Value based ini sebenarnya
bukan merupakan konsep baru. Konsep ini merupakan pengembangan dari residual
income, yaitu selisih antara pendapatan yang diperoleh dengan biaya kapital
yang dikeluarkan, VBM pada dasarnya merupakan pendekatan manajemen untuk
menjalankan tujuan perusahaan memaksimalkan nilai pemegang saham dengan
menghasilkan pengembalian return yang lebih besar dari biaya modalnya.
Kelebihan dari penggunaan metode value based dibandingkan
pengukuran akuntansi tradisional antara lain adalah menghitung laba relatif
terhadap modalnya, melakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh distorsi
yang berasal dari inflasi dan standar akuntansi, seta memasukkan unsur risiko
bisnis dalam perhitungan, dengan memasukkan biaya modal (cost of capital)
perusahaan dalam perhitungannya, VBM dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi
potensi penciptaan nilai dari perusahaan. Karena VBM pada dasarnya menunjukkan
bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham jika laba yang
diperoleh lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan, maka dasar
perhitungannya adalah mengurangkan laba dengan modal. Jika pengembalian yang
dihasilkan perusahaan melebihi biaya modalnya maka perusahaan tersebut memiliki
pengembalian positifdan karena itu meningkatkan nilai pemegang saham. Value
(nilai) dari suatu perusahaan merupakan fungsi dari investasi, aliran kas, umur
ekonomi aset, dan biaya kapiral, sehingga pengukuran nilai perusahaan yang baik
adalah mencakup keempat variabel tersebut, terdapat empat pengukuran utama
dalam VBM, yakni economic value added
(EVA), cash value added (CVA), cash flow return on investment (CFROI),
dan shareholder value analysis (SVA).
Dan metode yang paling umum digunakan adalah EVA dan CVA.
Economic value Added (EVA) diperkenalkan pertama kali
oleh Stren Steward management Service sebuah konsultan di Amerika Serikat pada
tahun 1980-an. EVA dipakai sebagai alat untuk menilai kinerja suatu pusat
investasi. EVA merupakan pembaharuan dari economic profit atau residual income
yang diperkenalkan lebih dari dua abad yang lalu. EVA tidak hanya digunakan
sebagai ukuran dari kinerja perusahaan dan sebagai dasar pemikiran sistem
bonus, tetapi juga merupakan indikator dari nilai yang diciptakan (value created)
atau dihancurkan (value destroyed) dari pemegang saham. Jika pasar total dari
perusahaan melebihi dari modal yang diinvestasikan maka perusahaan telah
menciptakan nilai bagi pemegang saham, sebaliknya jika nilai pasar total dari
perusahaan lebih rendah dari modal yang diinvestasikan maka perusahaan telah
mengalami penghancuran nilai dari pemegang saham. Konsep EVA memiliki prinsip
bahwa keberhasilan manajemen diukur berdasarkan nilai tambah ekonomis yang
diciptakan selama periode tertentu. Dengan identifikasi aktivitas value added
dan nonvalue added maka manajemen berupaya menambah aktivitas yang value added
dan mengurangi/menghilangkan aktivitas nonvalue added. Dalam menghitung EVA, dilakukan beberapa
penyesuaian untuk menghilangkan distorsi akuntansi yang terkandung dalam
laporan keuangan. Penyesuaian ini dilakukan terhadap NOPAT dan total kapital
perusahaan dan disebut degan ekuivalen ekuitas. Penyesuaian terhadap nilai buku
tersebut membuat nilai buku kapital berubah menjadi nilai kapital yang sebenarnya
dimiliki perusahaan dan NOPAT menjadi lebih akurat dalam merefleksikan aliran
kas yang dihasilkan dari operasi perusahaan.
Beberapa ekuivalen ekuitas yang dapat dilakukan antara
lain:
1)
Deffered income tax reserve
Merupakan
kumulatif perbedaan pajak yang dicatat secara akuntansi dengan pajak yang telah
dibayarkan. Dengan menambahkan peningkatan defrred taxex ke dalam lab, maka
NOPAT hanya akan terbebani oleh pajak yang benar-benar dibayar.
2)
LIFO
resereve
Merupakan
perbedaan nilai antara perhitungan persediaan dengan metode FIFO dan Lifo. LIFO
resereve menunjukkan seberapa besar penurunan nilai persediaan karena
menggunakan metode FIFO. Penambahan LIFO resereve pada kapital akan merubah
penilaian persediaan dari metode LIFO menjadi FIFO, sehingga lebih mencerminkan
keadaan perusahaan yang sebenarnya.
3)
Akumulasi
amortisasi goodwill
Dengan
menambahkan akumalasi amortisasi goodwill ke dalam kapiral dan menambahkan
amortisasi per periode ke dalam NOPAT, maka aliran kas yang sebenarnya akan
terefleksikan.
4)
Unrecorded goodwill
Bilai
akuisisi dilakukan dengan moetode pooling of interst maka goodwill tidak akan
tercatat. Karena nilai akuisisi yang sebenarnya tidak dicatat, maka tingkat
pengembalian akan overstated. Unuk itu, goodwill yang tidak tercatat ini ditambahkan
ke dalam kapital.
5)
Intangible
Nilai
kapitalisasi dari intangible assets ditambahkan ke dalam total kapital,
sedangkan perubahan setiap periodenya ditambahkan ke dalam NOPAT.
6)
Successful efforts to full cost
Perusahaan
yang menggunakan metode pencatatan successful effort akan menghasilkan
perhitungan tingkat pengembalian yang overstated. Karena itu, perlu dilakukan
penyesuaian dengan mengubah metode pencatatan menjadi metode full cost.
7)
Equity equipment reserve lainnya
Untuk
mendekatkan kepada aliran kas yang sebenarnya, masih banyak penyesuaian lain
yang dapat dilakukan. Contohnya, bad debt reserve, inventory obsolesce,
warranties, deferred income reserve. Bila hal tersebut merupakan bagian dari
operasional perusahaan, maka reserve tersebut merupakan ekuivalen ekuitas.
Namun jika tidak terjadi secara periodik, maka tidak perlu dilakukan
penyesuaian.
Namun metode EVA ini memiliki kelemahan, yakni sulitnya
memilih ekuivalen ekuitas. Setiap industri membutuhkan penyesuaian yang
berbeda-beda, tergantung sifat industrinya. Penyesuaian ini juga membuat
perhitungan EVA menjadi kompleks dan rumit. EVA juga tidak dapat dipakai dalam
semua industri. EVA baik diterapkan untuk perusahaan sektor jasa dan
manufaktur, namun kurang cocok untuk institusi finansial dan perusahaan yang
baru berdiri. Kelemahan lainnya adalah kesulitan dalam mengestimasi biaya
kapital.
Metode cash value added (CVA) merupakan jenis lain
pengukuran kinerja berdasarkan nilai yang dikembangkan oleh Boston Consulting
Group. Metode CVA memilki konsep yang mirip dengan EVA. Perbedaan dari keduanya
adalah CVA menggunakan aliran kas dari operasi sebagai dasar perhitungan laba
perusahaan. CVA memiliki semua manfaat dari EVA dan mencoba memperbaikinya
dengan memilih menggunakan cash flow daripada net income atau profit, karena
net income mengandung distorsi akibat penggunaan prinsip akuntansi. Selain itu,
CVA menambahkan depresiasi dan akrual ke NOPAT dalam menghitung aliran kas dari
operasi yang termasuk dalam CVA. Dengan ditambahkannya depresiasi kembali, maka
pengukuran ini tidak terpengaruh oleh kebijakan depresiasi perusahaan.Aliran
kas dari operasi , yang dijadikan sebagi dasar perhitunga laba pada metode CVA,
merupakan jumlah uang yang benar-benar diperoleh perusahaan dari aktivitas
operasi perusahaan. Dengan hanya melihat pada aliran kas yang benar-benar
terjadi, maka distori akuntansi dapat dihilangkan. Depresiasi ekonomis adalah
jumlah yang harus disisihkan setiap tahunnya selama umur ekonomis dari aset,
dimana jumlah seluruh penyisihan pada akhir umur ekonomis sama dengan nilai
aset tersebut. Depresiasi ekonomis disini bukan berarti perusahaan harus
menyisihkan sejumlah uangnya untuk mengganti asetnya dimasa mendatang,
melainkan semacam benchmark dari operasi perusahaan pada periode tersebut.
Secara umum, nilai CVA yang tinggi menguntungkan bagi
perusahaan dan investor karena hal tersebut menggambarkan kemampuan perusahaan
untuk mengahasikan kas dari satu periode ke periode berikutnta, dengan
menciptakan keuntungan yang likuid. Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan
konsep CVA dibandingkan dengan EVA adalah:
1)
CVA
mengontrol depresiasi, maka dengan menggunakan CVA dapat fokus pada apa yang
menjadi alat dalam menciptakan profitabilitas.
2)
CVA
dapat mengeliminasi distorsi akuntansi yang masih mungkin timbul dengan
menggunakan EVA karena merefleksikan keuntungan yang benar-benar diperoleh
perusahaan dalam bentuk uang.
3)
Investor
biasanya lebih tertarik dengan cashflow dibandingkan dengan income.
Keunggulan CVA lainnya adalah:
4)
Dibandingkan
EVA, perhitungan CVA lebih sederhana karena tidak memerluakan
penyesuaian-penyesuaian seperti ekuivalen ekuitas dalam EVA.
5)
Data-data
yang diperlukan dalam perhitungan CVA merupakan data yang terdapat dalam
laporan keuangan dan lebih mudah didapatkan.
Kelemahan CVA:
1)
Depresiasi
ekonomis dihitung berdasarkan asumsi-asumsi umur ekonomis aset, perkiraan laju
inflasi selama umur ekonomis aset, dan tingkat biaya kapita yang tidak berubah
selama umur ekonomis tersebut. Perbedaan asumsi-asumsi yang digunakan dalam
menghitung depresiasi ekonomis dapat menimbulkan hasil perhitungan yang berbeda
pula.
2)
Perbedaan
pengkatergorian beban oleh perusahaan juga menyebabkan perbedaan hasil
perhitungan. Misalnya, biaya riset dapat dianggap beban dan dapat pula
dikapitalisasikan. Jika biaya riset dianggap sebagai beban, maka akan
mengurangi nilai CVA, yang berarti nilai kinerja perusahaan menjadi lebih
kecil.
3)
Perbedaan
perhitungan biaya hutang dan ekuitas dalam menghitung biaya modal akan
menghasilkan nilai CVA yang berbeda pula.
Penelitian yang dilakukan oleh Edriaty Natalia Napitupul
dengan judul “ Hubungan Price-Earnings Ratio (PER) dan Cash Value Added (CVA)
Terhadap Return Saham “ data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
data perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2009
dengan pendekatan cross-sectional terdapat titil 155 observasi dengan sampel 68
perusahaan. PER dan CVA merupakan metode pengukuran kinerja keuangan
perusahaan. Nilai dari PER dan CVA dihitung menggunakan informasi yang terdapat
dalam laporan keuangan dan informasi eksternal seperti harga saham, tingkat
inflasi, dan suku bunga SBI. Dalam penelitian ini, PER mewakili pengukuran
kinerja tradisional dan CVA mewakili metode pengukuran kinerja berdasarkan
nilai, yang merupakan pengembangan dari metode tradisional yang dinilai
memiliki banyak kelemahan. Nilai kedua metode perhitungan ini digunakan untuk
mengukur baik buruknya kinerja perusahaan. Semakin baik kinerja keuangannya,
seharusnya perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan pemegang
saham yang tercermin dari peningkatan return saham.
Hasil regersei secara parsial menyimpulkan variabel PER
menunjukkan bahwa PER memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan
rata-rata return saham mingguan. Hal ini berarti semakin tinggi nilai PER suatu
perusahaan, return yang diterima pemegang saham atau investor akan menurun. Hal
ini mungkin dikarenakan semakin tinggi PER, dapat disebabkan oleh rendahnya
laba per saham, sehingga perusahaan dapat dikatakan kurang mampu meningkatkan
kekayaan pemegang saham. PER yang tinggi juga menunjukkan harga saham terlalu
mahal sehingga menurunkan minat investor untuk membeli saham perusahaan.
Akibatnya, harga saham akan menurun dan return saham juga menjadi rendah dan
menurun. Hasil regersi secara parsial menyimpulkan variabel CVA memiliki
hubungan positif yang signifikan dengan return saham perusahaan. Artinya,
semakin tinggi nilai CVA suatu perusahaan, maka return yang diterima pemegang
saham atau investor juga tinggi. Hal ini dikarenakan nilai CVA yang tinggi
menunjukkan bahwa perusahaan semakin mampu menghasilkan laba berupa kas yang
melebihi biaya modalnya. Karena itu, perusahaan dinilai memiliki kinerja
keuangan yang baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan
pemegang saham. Hasil pengujian dengan keduan pendekatan membutikan bahwa CVA
lebih baik atau lebih unggul dalam menjelaskan return saham jika dibandingkan
dengan PER. CVA lebih baik dalam menjelaskan return jika dibandingkan dengan
PER.
Daftar
Pustaka
D. Venanzi, Financial Performance Measures And Value
Creation: The State of Art, SpringerBriefs in Business.
Fernandez, Pablo. 2003. “ Three Residual Income Valuation
Methods And Discounted Cash Flow Valuation”.
Gamsakhurdia, Tamar and Keteven Maisuradze. 2014. “The
Choice Of Financial Performance Measures As One Of The Most Critical Challenges
Facing
Corporation”. European Scientific Journal, Vol. 1.
Corporation”. European Scientific Journal, Vol. 1.
Hejazi, Rezvan. 2007. “The Information Content Of Cash
Value Added (CVA) and P/E ratio:
Evidence on Association with Stock Returns For Industrial Companies in the
Tehran Stock Exchange”. Iranian Accounting & Auditing Review, Vol. 14, No.
47.
Irawan, Ronny. 2010. “Pengaruh Economic Value Added
Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Manufaktur Yang Tercatat Di Bursa Efek
Indonesia”. Jurnal Akuntansi Kontemporer, Vol. 2, No.1.
Liapis, Konstantinos J. 2010. “The Residual Value Models:
A Framework for Business Administration”. European Research Studies, Vol. XIII,
Issue. 1.
M. Rajesh and N R V Ramana Reddy. 2012. “An Empirical
Study On Eva And Mva Approach”. International Journla of marketing, Vol.1,
No.3.
Napitupulu, Edriaty Natalia. 2012. “Hubungan
Price-Earnings Ratio (PER) Dan Cash Value Added (CVA) Terhadap Return Saham”. Skripsi Universitas Indonesia.
Urbanczyk, Edward. 2005. “Economic Value Added Versus
Cash Value Added: The Case of Companies in transitional economy, Poland”. International
Journal Of Banking and Finance, Vol. 3.