Era globalisasi yang dialami oleh hampir seluruh negara
di dunia, membuat banyak perusahaan bersaing antara satu dengan yang lainnya,
begitu juga di Indonesia. Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance) diperlukan agar perilaku para pelaku bisnis mempunyai arahan yang
bisa dirujuk. Good Corporate Governance (yang selanjutnya ditulis GCG) adalah
salah satu pilar dalam sisitem ekonomi pasar, bahkan dengan menerapkan GCG
secara baik diyakini dapat menolong perushaan dan perekonomian negara yang
sedang tertimpa krisis untuk bangkit menuju arah yang lebih sehat, perusahaan
yang menerapkan GCG juga mampu bersaing mengelola secara dinamis serta
profesional. Di Indonesia sendiri, awal dikenalnya Corporate Governance adalah
bermula dari usulan penyempurnaan peraturan pencatatan pada Bursa Efek jakarta
(sekarang Bursa Efek Indonesia) yang mengatur mengenai peraturan bagi emiten
yang tercatat di BEJ yang mewajibkan untuk mengangkat komisaris independent dan
membentuk komite audit pada tahun 1998, corporate gorvenance (CG) mulai
dikenalkan pada seluruh perusahaan publik di Indonesia. Pedoman GCG merupaka
panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan, dan mengkomunikasikan
praktek GCG kepada pemangku kepentingan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam penerapan prinsip-prinsip Good Coporate Governance pada masing-masing
negara adalah berbagai macam faktor intern dan ekstern perusahaan, yang
termasuk faktor intern diantaranya yaitu struktur kepemilikan perusahaan,
sedangkan yang termasuk dalam kategori foktor ekstern antara lain adalah budaya
lokal, peranan serta kebijakan pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan bisnis
serta perkembangan pasar modal pada masing-masing negara. Salah satu prinsip
yang ada dalam GCG adalah prinsip transparasi, transparasi bisa diartikan
sebagai ketebukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip
tranparasi harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat
dan adapt diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai
dengan haknya. Infromasi perusahaan bukan hanya sekedar visi dan misi melainkan
juga strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan pengurus, pemegang saham
pengendali, kepemilikan saham, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan
pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya,
dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.
Indonesia sendiri mulai menerapkan prinsip GCG (Good
Corporate Governance) sejak menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan IMF
pada tahun 1998. Sejak saat itu dibentuklah komite nasional kebijakan corporate
Governance (KNKCG) yang memiliki tugas pokok untuk merumuskan dan menyusun
rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau
perbaikan di bidang Corporate Governance di Indonesia. KNKCG mulai menerbitkan
pedoman GCG pada tahun 2001, pendoman CG bidang perbankan pada tahun 2004 dan
pendoman komisaris independen dan pedoman pembentukan komite audit yang
efektif. KNKCG berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki
tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat
internasional. Good Corporate Governance (GCG) harus memberikan insentif yang
tepat bagi manajemen dan dewan guna mencapai tujuan yang menjadi kepentingan
perusahaan dan para pemegang saham, serta harus memfasilitasi pengawasan yang
efektif. Adanya sistem tata kelola perusahaan yang efektif, dalam sebuah
perusahaan individu dan suatu perekonomian secara keseluruhan, membantu
menyediakan level kepercayaan yang diperlukan untuk berfungsinya ekonomi pasar.
Akibatnya, biaya modal menjadi lebih rendah dan perusahaan didorong untuk
menggunakan sumber daya secara lebih efisien, sehingga mendasari pertumbuhan
(OECD Principles of Corporate Governance, 2004). Pada tahun 2004, melalui surat
keputusan menteri koordinator perekonomian RI No. KEP-49/M.EKON./.II. TAHUN
2004.KNKCG berubah menjadi komite nasional kebijakan governance (KNKG) yang
memperluas cakupan tugas sosialisasi governance bukan hanya di sektor korporasi
tetapi juga di sektor pelayanan publik. KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan
pedoman CG yang telah diterbitkan pada tahun 2001 agar sesuai dengan
perkembangan. Pedoman CG yang diperbaharui KNKG pada tahun 2006 ini masih
menjadi pedoman pelaksanan tata kelola perusahaan (CG) di Indonesia sampai saat
ini.
Kata governance berasal dari bahasa Perancis “Gubernance”
yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut digunakan dalam konteks
perusahaan atau organisasi kemudian disebut corporate governance. Istilah
corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh cadbury comitte pada tahun
1992 yang didefinisikan seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para
pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak yang
berkepntingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Forum for corporate governance in
indonesia (FCGI, 2001) mendefinisikan corporate governance sebagai “seperangkay
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan
internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan
utama corporate governance adalag menciptakan nilai tambah bagi semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders). Dilihat dari beberapa pengertian corporate
governance pada uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa corporate
governance merupakan aturan “pakem”, sistem dan proses yang mengatur hubungan
antara semua pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan baik internal maupun
eksternal, baik dari top management hingga karyawan agar terjadi keseimbangan
dan iklim kondusif di dalam perusahaan. Corporate governance juga mengendalikan
dan mengawasi supaya tidak terjadi ketimpangan dalam pemberian informasi
perusahaan terhadap pihak yang memiliki kepentingan.
Komite nasional kebijakan governance (KNKG) pada tahun
2006 menyempurnakan pedoman good corporate governance (GCG) yang sudah dibuat
oleh KNKCG sebelumnya pada tahun 2001. Di dalam pedoman itu terdapat lima
prinsip corporate governance, yaitu sebagi berikut:
1)
Transparasi
(Transparency)
Untuk
menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan
informasi yang materialdan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2)
Akuntabilitas
(Accountability)
Perusahaan
harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.
Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham
dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3)
Responsibilitas
(Responsibility)
Perusahaan
harus mematuhi undang-undang dan peraturan serta memenuhi tanggung jawabnya
terhadap masyarakat dan lingkungan untuk tujuan menjaga keberlanjutan jangka
panjang dari bisnis dan untuk diakui sebagai warga perusahaan yang baik.
4)
Independensi
(Independency)
Perusahaan
harus dikelola secara independen, sehingga tidak ada perusahaan tunggal akan
mendominasi yang lain dan tidak ada intervensi dari pihak lain agar pelaksanaan
GCG berjalan secara lancar.
5)
Kewajaran
dan kesetaraan (Fairness)
Dalam
melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan
kesetaraan.
Organization for economic Co-operation and development
(OECD) juga mengembangkan lima prinsip Good Corporate Governance (GC), yaitu:
1)
Perlindungan
terhadap hak-hak pemegang saham.
2)
Persamaan
perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing dan
minoritas.
3)
Peranan
pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan.
4)
Keterbukaan
dan transparasi.
5)
Akuntabilitas
dewan komisaris.
Dalam pedoman Good Corporate Governance (GC) penerbit
KNKG tahun 2006 menjelaskan bahwa kepengurusan perseroan terbatas di Indonesia
menganut sistem dua badan (twoboard system)yaitu dewan komisaris (dewan
pengawas) dan dewan direksi (dewan manajemen). Keduanya memiliki kesamaan
presepsi terhadap visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai dewan pengawas, anggota dewan komisaris baik secara
bersama-sama dan atau sendiri-sendiri berhak memiliki akses untuk memperoleh
informasi tentang perusahaan secara tepat waktu dan lengkap. Dalam pedoman GCG
2006 juga disebutkan bahwa dewan komisaris sebagai organ perusahaan yang
bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan,
memberikan nasihat kepada direksi, memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG
dan memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku
kepentingan. Dewan komisaris fungsinya mewakili kepentingan para pemegang
saham, menyampaikan laporan pertanggung jawaban pengawasan atas pengelolaan
perusahaan oleh direksi. Laporan tersebut merupakan bagian dari laporan tahunan
sebagai perwujudan akuntabilitas dalam rangka pelaksanaan asas GCG. Jumlah
anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan
tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan.Dalam undang-undang
Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas juga disebutkan bahwa jumlah
minimal anggota dewan komisaris adalah satu orang. Dijelaskan pula dalam pasal
1 angka 2 undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, organ
perseroan adalag rapat umum pemegang saham,. Direksi, dan dewan komisaris.
Pengangkatan maupun pemberhentian dewan direksi dan dewan komisari dilakukan
melalui rapat umum pemegang saham. Selanjutnya, dewan direksi dan dewan komisaris
bertanggung jawab terhadap RUPS. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi dan
memberi nasihat kepada dewan direksi.
Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak
berasal dari pihak terafiliasi. FCGI menyatakan bahwa, kriteria komisaris
independen di indonesia diambil dari kriteria otoritas bursa efek Australia
tentang outside directors, di mana kriteria tersebut menekankan tentang
pentingnya independensi dalam dewan komisaris. Dalam pedoman umum Good
Corporate Governance indonesia yang dikeluarkan oleh komite nasional kebijakan
governance (KNKG) pada tahun 2006, dijelaskan bahwa jumlah komisaris independen
harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan
sesuai dengan peraruran perundang-undangan. Salah satu dari komisaris
independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. Semakin
besar jumlah komisaris independen dalam suatu perusahaan maka pengawasan yang
dilakukan oleh komisaris independen akan semakin berkualitas dan akan
meningkatkan transparasi dalam pelaporan keuangan.
FCGI mengungkapkan bahwa, agar dapat menjalankan
fungsinya di tengah lingkungan bisnis yang kompleks dengan baik, dewan
komisaris perlu membentuk komite-komite yang membantunya menjalankan tugas,
salah satunya adalah komite audit. Komite audit dipandang sebagai suatu komite
dalam perusahaan yang bertugas untuk mengawasi kinerja manajemen untuk
menghindari terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan yang mungkin akan
merugikan stakeholders. Berdasarkan peraturan keputusan ketua Bapepam Nomor:
Kep-29/PM/2004 disebutkan bahwa komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya
satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang lainnya
berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. Anggota komite audit
bertanggung jawab untuk memantau kepatuhan perusahaan dengan persyaratan
pengungkapan wajib. Komite audit bertugas memberikan pendapat profesional yang
independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang
disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal
yang memerlukan perhatian dewan komisaris.
Komite audit selain bertugas dalam melakukan pengawasan
kinerja manajemen juga berperan penting sebagai penghubung antara pemegang
saham dengan dewan komisaris untuk menghindari masalah pengendalian internal
perusahaan. Dalam pedoman umum Good Corporat Governance Indonesia yang
dikeluarkan oleh KNKG tahun 2006, disebutkan bahwa komite audit bertuga
membantu dewan komisaris untuk memastikan:
a.
Laporan
keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum.
b.
Struktur
pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.
c.
Pelaksanaan
audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang
berlaku.
d.
Tindak
lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Dalam pedoman umum good corporate governance indonesia
yang dikeluarkan oleh KNKG tahun 2006, mengungkapkan bahwa dewan komisaris
sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk
melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan
bahwa perusahaan melaksanakan GCG dengan baik. Namun, dewan komisaris tidak diperbolehkan
untuk turut berperan dalam pengambilan keputusan operasional. Dalam peraturan
menteri negara badan usaha milik negara nomor: Per-01/MBU/2011 disebutkan
bahwa, rapat dewan komisaris harus diadakan secara berkala, sekurang-kurangnya
sekali dalam setiap bulan, dan dalam rapat tersebut dewan komisaris dapat
mengundang direksi. Besarnya intensitas pertemuan yang diadakan oleh dewan
komisaris akan mampu meningkatkan kepatuhan wajib IFRS.
Rapat komite merupakan koordinasi antara
anggota-anggotanya agar dapat menjalankan tugas secara efektif dalam hal
pengawasan laporan keuangan, pengendalian internal, dan pelaksanaan GCG
perusahaan. Rapat komite audit yang sering diadakan diharapkan akan dapat
meningkatkan pengungkapan wajib IFRS. Keputusan ketua BAPEPAM Nomor:
Kep-29/PM/2004 dalam peraturan nomor IX.1.5 mengenai pembentukan dan pedoman
pelaksanaan kerja komite audit dijelaskan bahwa, Komite audit mengadakan rapat
sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang
ditetapkan dalam anggaran dasar. Setiap rapat komite audit dituangkan dalam
risalah rapat yang ditandatangani oleh seluruh anggota komite audit yang hadir.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggita Pritasari tentang
“Analisis Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Tingkat kepatuhan
Pengungkapan Konvergensi IFRS Pada Laporan Laba Rugi Komprehensif” populasi
dalam penelitian ini yaitu seluruh perusahaan jasa yang terdaftar di BEI yaitu
sebanyak 236 perusahaan, sampel yang dipilih dalam penelitian tersebut
menggunakan purposive sampling. Jumlah sampel yang diperoleh berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan yaitu sebanyak 40 perusahaan. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa jumlah anggota dewan komisaris tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan konvergensi
IFRS pada laba rugi komprehensif , dengan alasan karena jumlah anggota dewan
komisaris perusahaan sampel rata-rata berjumlah empat sampai lima orang, jumlah
tersebut jauh lebih besar dari ketentuan minimal jumlah anggota dewan komisaris
yang ditetapkan oleh undang-undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas
yaitu satu orang. Namun, jumlah anggota dewan komisaris yang besar juga akan
sulit dalam mencapai kesepakatan dan membuat keputusan. Hal ini dikarenakan
setiap dewan komisaris pasti memiliki pertimbangan tersendiri dalam pengambilan
keputusan sehingga akan membutuhkan waktu yang lama, maka akan sulit bagi dewan
komisaris untuk mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi
yang lebih luas. Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa variabel
proposi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kepatuhan pengungkapan konvergensi IFRS. Alasan mendasar atas hal ini dapat
disebabkan karena proporsi komisaris independen perusahaan sampel yang
rata-rata sebesar 42,79% belum cukup untuk melaksanakan fungsi pengawasan
bersama dewan komisaris. Perusahaan sampel rata-rata memiliki proporsi
komisaris independen yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dewan
komisaris. Hal ini dapat terjadi karena pemegang saham lebih mempercayakan
perusahaan kepada komisaris dari internal perusahaan karena dianggap lebih mengetahui
kondisi perusahaan secara keseluruhan. Hasil pengujian hipotesis ketiga
menunjukkan bahwa variabel jumlah anggota komite audit berpengaruh signifikan,
alasan mendasar atas hal ini dapat disebabkan karena jumlah anggota komite
audit perusahaan sampel rata-rata telah memenuhi ketentuan minimal tiga orang
dan telah mampu untuk memberikan pendapat profesional yang memerlukan perhatian
dari dewan komisaris, dalam hal ini komite audit mempunyai tanggung jawab untuk
memastikan bahwa perusahaan telah mengungkapkan informasi sesuai dengan
persyaratan yang diwajibkan. Hasil pengujian terhadap hipotesis keempat
menunjukkan bahwa variabel jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh
signifikan, alasan tersebut dari hasil penelitian ini dapat disebabkan karena jumlah
dewan komisaris perusahaan sampel rata-rata tidak memenuhi persyaratan minimal
untuk mengadakan pertemuan sebanyak dua belas kali dalam satu tahun. Hasil
pengujian terhadap hipotesis kelima menunjukkan bahwa variabel jumlah rapat
komite audit berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapkan
konvergensi IFRS, alasan tersebut mendasari untuk hasil penelitian tersebut
disebabkan karena jumlah rapat komite audit yang lebih besar dari jumlah rapat
dewan komisaris dapat menjadi aktivitas untuk membahas mengenai penyusunan
laporan keuangan perusahaan dan dikomunikasikan atau diterapkan dalam langkah
nyata pengawasan yang optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Reny dyah Retno M dengan
judul “Pengaruh good Corporate Governance Dan Pengungkapan Corporate Social
Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan” menyimpulkan GCG berpengaruh positif terhadap
nilai perusahaan dengan variabel kontrol ukuran perusahaan dan leverge pada
perusahaan yang terdaftar di bei 2007-2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa
investor bersedia memberikan premiun lebih kepada perusahaan yang memberikan
transparasi atas pelaksanaan GCG dalam laporan tahunan mereka. Semakin tinggi
tingkat implementasi GCG semakin tinggi nilai perusahaan yang ditunjukkan
dengan tingginya harga saham perusahaan. Pada variabel kontrol berupa ukuran
perusahaan dan leverage, terbukti memiliki korelasi positif signifikan terhadap
GCG. Hal ini dikarenakan perusahaan besar memiliki masalah keagenan lebih besar
karena lebih sulit untuk dimonitor, sehingga di perlukan penerapan corporate
governance yang baik, perusahaan kecil mempunyai kesempatan bertumbuh yang
tinggi, sehingga membutuhkan dana eksternal dan membutuhkan penerapan corporate
governance yang baik. Adanya corporate governance yang baik akan meminimalisasi
konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan mengenai
keputusan pendanaan dan hal-hal yang berhubungan dengan laverafe perusahaan.
Pengungkapan CSR berpengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap nilai perusahaan dengan variabel kontrol ukuran perusahaan, jenis
industri, profitabilitas, dan leverage pada perusahaan yang terdaftar di BEI
periode 2007-2010 masih rendah dan belum mengikuti standar GRI. Pada variabel
kontrol ukuran perusahaan memiliki korelasi signifikan terhadap pengungkapan
CSR, semakin besar perusahaan maka pengungkapan CSR yang dibuat juga cenderung
semakin luas. Variabel kontrol jenis industri memiliki korelasi signifikan
terhadap pengungkapan CSR, dikarenakan luas pengungkapan CSR antar perusahaan
dalam industri yang satu dengan idustri lainnya berbeda karena masing-masing
industri memiliki karakteristik yang berbeda. Pada variabel kontrol
profitabilitas memiliki korelasi signifikan terhadap pengungkapan CSR
dikarenakan perolehan laba yang semakin besar membuat perusahaan mengungkapkan
informasi sosial yang lebih luas. Pada variabel kontrol laverage, memiliki
korelasi signifikan terhadap pengungkapan CSR dikarenakan manajemen perusahaan
dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan CSR yang
dibuat agar tidak menjadi sorotan debtholders.
Penelitian yang dilakukan oleh Ruth Tria Enjelina Girsang
dengan judul “Pelaksanaan Prinsip Transparansi Sebagai Salah Satu Bentuk
Prinsip Good Corporate Governance Pada PT. Semen Gresik (Persero) Tbk” menyimpulkan
bahwa menurut ketentuan keputusan ketua badan pengawas pasar modal dan lembaga
keuangan No: KEP-134/BL/2006 tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi
emiten atau perusahaan publik terdapat beberapa hal yang tidak disampaikan PT.
Semen Gresik (persero) Tbk. Dalam laporan tahunannya, 1) terdapat perbedaan
hasil pendapatan yang disampaikan oleh dewan komisaris dengan bagian produksi,
penjualan dan prospek usaha. 2) tidak menyebutkan kepemilikan saham dari
keluarga direksi maupun komisari, 3) tidak menyebutkan jenis tindakan korporasi
yang menyebabkan perubahan jadwal saham dalam kronologis pencatatan saham, 4)
tidak menyebutkan mengenai assesment terhadap anggota dewan komisari/ direksi,
5) tidak menguraikan hasil evaluasi dari manajemen risiko perusahaan hanya
menyebutkan sistem yang digunakan saja, 6) tidak menguraikan tentang
pengendalian intern, 7) tidak melaporkan mengenai CSR yang terkait dengan
tanggung jawab kepada konsumen, 8) kurang menjelaskan tentang penegakan kode
etik bagi yang melanggar, 9) tidak menyebutkan bagaimana bentuk penanganan yang
akan dilakukan dalam sistem whistleblower, 10) tidak menguraikan mengenai
kebijakan akuntansi yang dipilih antara nilai wajar dan model biaya untuk
menilai aset tetap PT. Semen Gresik Tbk, dan juga tidak mengungkapkan metode yang
digunakan dalam estimasi nilai wajar aset tetap atau pengungkapan nilai wajar
aset tetap.
Penelitian yang dilakukan oleh Dian Agustia dengan Judul
“ Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow, dan Leverage
Terhadap Manajemen Laba” dengan menggunakan sampel sebanyak 14 perusahaan
tekstil yang terdaftar diBEI “ menyimpulkan variabel-variabel Good Corporate
Governance (GCG) tidak berpengaruh terhadap praktek manajemen laba. Keberadaan
komite audit dan proporsi dewan komisaris di perusahaan publik sampai saat ini
masih sekedar untuk memenuhi ketentuan pihak regulator (pemerintah) saja,
sehingga besar kecilnya jumlah komite audit dan proporsi dewan komisaris di
perusahaan tidak bisa membatasi terjadinya praktik manajemen laba. Kepemilikan
institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan
investor institusional tidak berperan sebagai sophisticated investors.
Kepemilikan manajerial juga tidak berpegaruh terhadap manajemen laba karena
presentase manajer yang memiliki saham relatif sangat kecil dibandingkan dengan
keseluruhan modal yang dimiliki investor umum. Variabel free cash flow
berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan
perusahaan denga arus kas bebas yang tinggi cenderung tidak akan melakukan
manajemen laba, karena meskipun tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah bisa
meningkatkan harga sahamnya.Laverage ratio berpengaruh terhadap earnings
management. Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio
leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi aktivanya akan cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk
manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh R. Erdianto Setyo Wahyono
dengan judul “ Pengaruh Corporate Governance Pada Praktik Manajemen Laba: Studi
Pada Industri Perbankan Indonesia” data penelitian tersebut didapat dari BEI
dan Indonesia Capital Market Directory (ICMD) di mana terdapat 31 perusahaan
perbankan yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2010. Pembahasan penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa hipotesis mekanisme Corporate Governance
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan yang go
public ditolak karena penerapan mekanisme corporate governance pada industri
perbankan yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2010 masih belum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan Bank Indonesia No.
8/4/PBI/2006 mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum, terutama
mengenai jumlah anggota komite audit independen pada pasal 38 ayat 4 yang
menyatakan” Komisaris Indeoenden dan Pihak Independen yang menjadi anggota
komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling kyrang 51% dari jumlah
anggota komite audit. Sedangkan kepemilikan institusional pada perusahaan
perbankan yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2010 cenderung mengalami
peningkatan dari kisaran 61%-81% menjadi lebih besar dari 81% sehingga
menciptakan kepemilikan yang terkonsentrasi, dimana hal ini dapat mengakibatkan
tidak terlindunginya kepemilikan saham minoritas karena dengan adanya
kepemilikan terkosentrasi memungkinkan pemilik saham mayoritas untuk mengatur
pihak manajemen perusahaan [erbankan sesuai kepentingannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Reny Yustina dengan judul
“ Pengaruh Konvergensi IFRS dan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap
Tingkat Konservatisme Akuntansi” dengan menggunakan sampel sebesar 39
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, menyimpulkan bahwa penelitian
tersebut terhadap pengujian variabel konvergensi IFRS terhadap tingkat
konservatisme akuntansi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat konservatisme
akuntansi ini bisa terjadi karena sifat IFRS yang cenderung menganut principle
based sehingga memungkinkan adanya interprestasi subjektif dari perusahaan
dalam menngimplemantasikan standar tersebut. Hasil pengujian variabel proporsi
komisaris independen terhadap tingkat konservatisme akuntansi menunjukkan bahwa
variabel tidak berpengaruh secara signifikan, hasil tersebut dilatar belakangi
oleh adanya perusahaan yang belum mematuhi peraturan BAPEPAM yang mensyaratkan
proporsi komisaris independen dalam perusahaan sekurang-kurangnya 30% dari
jumlah keseluruhan dewan komisaris yang ada. Rendahnya proporsi tersebut
menyebabkan proporsi komisaris independen memiliki pengaruh yang lemah terhadap
fungsi monitoring dan tingkat konservatisme itu sendiri. Hasil pengujian
variabel laverage terhadap tingkat konservatisme akuntansi menunjukkan bahwa
variabel ini berpengaruh secara signifikan dengan arah koefisien positif
terhadap tingkat konservatisme akuntansi perusahaan, hal tersebut didasari
konflik yang akan muncul antara pemegang saham dan pemegang obligasi, yaitu
bahwa tingkat leverage tinggi pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan
kontraktual terhadap akuntansi yang konservatis.
Daftar
Pustaka
Agustina, Cintia Heko. 2014. “Pengaruh Kompetisi,
Corporate Governance, Struktur Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Risiko”.
Skripsi Universitas Diponegoro.
Agustia, Dian. 2013. “Pengaruh Faktor Good Corporate
Governance, Free Cash Flow, Dan Leverage Terhadap Manajemen Laba”. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan, Vol.14, No.1. Universitas Airlangga.
Fitriani, Sonia. 2014. “Pengaruh Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Konservatisme Akuntansi”. Skripsi Universitas Dian
Nuswantoro.
Girsang, Ruth Tria Enjelina. 2013. “Pelaksanaan Prinsip Transparansi
Sebagai Salah Satu Bentuk Prinsip Good Corporate Governance Pada PT. Semen
Gresik Tbk”. Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya.
Nirbhita, Nandana Antya. 2014. “Analisis Pengaruh
Mekanisme Corporate Governance Terhadap Corporate Governance Disclosure”
Skripsi Universitas Diponegoro.
Pitasari, Anggita dan Aditya Septiani. 2014. “Analisis
Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Tingkat Kepatuhan Pengungkapan
Konvergensi IFRS Pada Laporan Laba Rugi Komprehensif”. Diponegoro Journal Of Accounting,
Vol.03, No. 02.
Retno M, Reny Dyah dan Denies Priantinah. 2012. “Pengaruh
Good Corporate Governance Dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Terhadap Nilai Perusahaan”. Jurnal Nominal, Vol.1, No.1.
Sari, Maylia Pramono. 2012. “Peran Audit Internal Dalam
Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance (GCG) Pada Badan Layanan Umum (BLU)
Di Indonesia”. Universitas Negeri Semarang.
Tohir, Rusli. 2013. “Pengaruh Struktur Corporate
Governance Pada Kualitas Laba Dengan Intellectual Capital Disclosure Sebagai
Variabel Intervening”. Skripsi Universitas Diponegoro.
Wahyono, R. Erdianto Setyo. 2013. “Pengaruh Corporate
Governance Pada praktik Manajemen Laba: Studi Pada Industri Perbankan
Indonesia”. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Vol. 1, No. 2.
Yustina, Reny. 2012.”Pengaruh Konvergensi IFRS Dan
Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar