Munculnya perdagangan luar negeri atau perdagangan
internasional didorong karena adanya kebutuhan manusia akan berbagai sumber
daya, yang pada kenyataannya tidak dapat dipenuhi di dalam negara tersebut
karena keterbatasan sumber daya tertenty. Sedangkan di beberapa negara lain
terdapat sumber daya tertentu yang berlebihan, tetapi kekurangan dalam sumber
daya lainnya. Oleh karena itulah perdagangan internasional dibutuhkan, sebab
bila suatu negara mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk memproduksi produk
tertentu, dibandingkan membelinya dari negara lain. Perdagangan barang-barang
dan jasa dari suatu negara ke negara lain di luar batas negara itulah yang
dimaksud dengan perdagangan internasional. Setiap negara menjadi
terspesialisasi dalam memproduksi barang dan jasa sehingga mencapai efisiensi,
yang berikutnya akan terjadi pertukaran dengan apa yang diproduksi di pasar
global semakin tajam dan menuntut perusahaan untuk semakin efisien. Hal ini
menjelaskan misalnya mengapa negara seperti jepang dan Amerika Serikat banyak
memproduksi komponen komputer (technology based), sedangkan negara seperti
Jamaica dan Mexico yang memiliki keunggulan murahnya ongkos dasar pekerja/buruh
lebih memilih memproduksi barang pertanian dan Handmade. Hal ini akan
berkontribusi pula terhadap pencapaian standar hidup yang lebih baik di negara
yang terjun dalam perdagangan internasional. Faktor-faktor lainnya yang
mendorong mempercepat tumbuhnya pasar global diantaranya adalah standarisasi
produk dan proses, kemajuan teknologi, perkembangan infrastruktur, reformasi
ekonomi, privatisasi sektor publik, berkembangnya perusahaan domestik menjadi
perusahaan multinasional dan transnasional.
Adanya operasi manufaktur secara global yang mengembangkan
spektrum yang luas meliputi pengembangan produk, proses produksi, pemasaran,
dan distribusi serta technology. Serta adanya pasar modal global yang mana
menyediakan peluang untuk investor dan debitur untuk terlibat dalam membiayai
aktivitas dunia. Ditunjang oleh kemajuan terknologi dan deregulasi yang
memungkinkan kreditur dan debitur bertransaksi dalam waktu yang tidak nyata di
pasar internasional. Hal ini telah menimbulkan berbagai konsekwensi yang belum
muncul pada pasar tradisional. Konsekwensi ini diantaranya adalah: 1)
bertransaksi dan bertranslasi ini menggunakan mata uang asing yang menimbulkan
aturan-aturan akuntansi tentang kurs mata uang asing, 2) resiko manajemen kurs
devisa yang dapat menimbulkan laba rugi perubahan kurs, 3) dampak perpajakan
atas operasi internasional, 4) dampak laporan konsolidasi mengenai cabang asing
dan perusahaan yang digabungkan, karena masalah ketidaksamaan standar akuntansi
di satu negara dengan negara lain, 5) dampak penyesuaian daya beli laporan
keuangan, 6) dampak harga transfer multinasional, 7) dampak perbedaan standar
akuntansi dan pengungkapannya, 8) perlunya aturan untuk pasar modal global, 9)
akuntan berperan dalam memberi informasi tentang alokasi sumber daya yang
optimum, 10) karena berubahnya orientasi akuntansi dari stewardship function
menjadi accountability, maka akuntan membantu orientasi perubahan tersebut agar
berjalan dengan smooth misalnya dengan membantu restrukturisasi system
informasi untuk mengadaptasi kemajuan teknologi informasi, 11) melakukan
restrukturisasi system informasi untuk mengadaptasi kemajuan teknologi
informasi, 12) memberikan informasi untuk pengambilan keputusan atas munculnya
proyek infrastruktur yang sebelum pasar global belum muncul (baik tentang
cost-benefit analysis, estimasi biaya proyek, maupun pengendalian atas paska
produksi), 13) aturan perpajakan, 14) membantu menciptakan kode dalam
perusahaan global, 15) aturan akuntansi untuk lingkungan global (misalnya
anlisa biaya energie dan limbah).
Praktik akuntansi Internasional merupakan suatu yang
kompleks, baik bagi perusahaan yang kepemilikan dan operasinya disatu negara
maupun dibeberapa negara (Domestic maupun
Multinational Corporations) seperti: transaksi valuta asing, translasi
laporan keuangan mata uang asing, translasi mata uang asing dan inflansi,
perpajakan internasional dan harga transfer.
Transaksi valuta asing adalah transaksi yang dilakukan
dalam valuta asing, bukan pelaporan mata uang perusahaan. Pelaporan mata uang
perusahaan adalah pelaporan mata uang yang dipakai didalam laporan keuangan
perusahaan. Transaksi dalam valuta asing bisa mencakup pembelian dan penjualan
barang dan jasa, pinjam meminjam dana, penerimaan atau pembayaran deviden dan
lain-lain. Berdasarkan kurs nilai tukar valuta asing, yaitu harga satu unit
suatu mata uang dinyatakan dalam mata uang lainnya. Mata uang negara-negara
dibeli dan dijual dalam pasar global. Dengan menyediakan tempat bagi pembeli
dan penjual mata uang, pasar mata uang asing memfasilitasi transfer pembayaran
internasional (contoh: dari importir kepada ekspotir), memungkinkan terjadinya
pembelian atau penjualan internasional secara kredit (contoh: letter of credit
suatu bank yang memungkinkan barang dikirimkan kepada pembeli yang belum
dikenal sebelum dilakukan pembayaran) dan menyediakan alat bagi para individu
atau kalangan usaha untuk melindungi diri mereka dari resiko nilai mata uang
yang tidak stabil melalui transaksi mata uang asing pada pasar spot, forward
atau swap. Swap adalah sebuah transaksi spot dan forward yang terjadi
bersamaan. Berkaitan denga akuntansi untuk forward contract ini ada empat nilai
tukar yang perlu diketahui, yaitu: spot rate pada tanggal kontrak dibuat, nilai
tukar forward contract, nilai tukar yang diharapkan ketika kontrak dilakukan,
dan nilai tukar spot rate sesungguhnya ketika kontrak selesai. Informasi
tentang nilai tukar ini diperlukan untuk menentukan apakah akan melakukan
kontrak dan evaluasi terhadap keputusan kontrak. Dalam mengambil keputusan
untuk melakukan kontrak, seorang manajer keuangan dapat melihat pada dua biaya
yang berbeda, yaitu premi/ diskon dan opportunity cost. Premi/diskon adalah
perbedaan forward rate dan spot rate pada saat kontrak dilakukan. Bila forward
rate lebih besar dari spot rate maka ada premi, sebaliknya bila forward rate
lebih kecil dari spot rate ada diskon. Sedangkan opportunity cost adalah
perbedaan antara forward rate dan spot rate yang diharapkan. Dalam evaluasi
kontrak yang sudah ada, opportunity cost adalah perbedaan antar forward rate
dan actual spot rate.
Ketika sebuah perusahaan melakukan komitmen berarti
perusahaan melakukan kontrak perjanjian untuk melakukan penjualan atau
pembelian dengan delivery yang akan dilakukan dimasa yang akan datang. Dalam
hal ini tidak ada transaksi penjualan atau pembelian yang dicatat karena
pengiriman belum dilakukan dan pembayaran belum dilakukan, atau dengan kata
lain kedua belah pihak belum melaksanakan apa-apa yang telah ditetapkan dalam
komitmen tersebut. Karena kontrak yang terjadi merupakan kontrak yang melibatkan
komitmen terhadap hedging (perlindungan) yang dilakukan perusahaan, maka
pengakuan adanya kerugian atau keuntungan akan ditangguhkan sampai transaksi
tersebut dicatat sebagai bagian penyesuaian terhadap harga yang disepakati
bersama.Transaksi mata uang asing ini dapat terjadi karena jual beli barang
atau jasa, pembayaran atau penerimaan deviden, atau dapat juga pembayaran atau
penerimaan uang pokok dan bunga dari obligasi. Utang/piutang mata uang asing
diwujudkan pada tarif kurs yang berlaku saat ini pada setiap tanggal neraca,
dengan menghasilkan laba/ rugi yang mencerminkan pendapatan sekarang juga.
Untuk forward contract yang diadakan guna melindungi utang/ piutang mata uang
asing, maka premi/ diskonnya diamortisasi selama umur kontrak dan laba/ rugi dari
kontrak tersebut dimasukkan langsung ke income. Alasan ketiga untuk melakukan
forward contract adalah untuk melindungi pengungkapan posisi neraca kantor
perwakilan/ kantor cabang diluar negeri. Konsep dari pengungkapan tersebut
secara singkat berarti bahwa ekuivalensi dolar terhadap mata uang asing pada
perkiraan dineraca akan berubah bila nilai tukarnya berubah. Dalam hal ini,
alasan utama perusahaan mengadakan kontrak adalah untuk memperoleh uang dari
kontrak, bukan untuk melindungi komitmen bisnis, transaksi, atau pengungkapan
posisi neraca. Prosedur akuntansi untuk kontrak spekulasi adalah 1) dalam pencatatan
kontrak mengabaikan premium/diskon, 2) pada setiap tanggal neraca, tandailah
nilai kontrak ke nilai pasarnya, 3) mengakui laba/rugi kontrak pada setiap
tanggal neraca. Laba/rugi yang timbul dari langkah kedua didapat dengan
mengalikan jumlah kontrak dengan selisih antara tarif forwardnya dan nilai
kontrak pada saat dicatat pada laporan keuangan sebelumnya.
Bisnis internasional menyebabkan munculnya masalah baru,
yaitu tentang mata uang suatu negara yang berbeda dengan mata uang negara lain.
Dengan demikian, proses konversi perlu dilakukan, yaitu suatu mata uang asing
diubah ke mata uang yang lain. Situasi menjadi kompleks ketika perusahaan
menyajikan laporan keuangannya dalam suatu mata uang tertentu namun harus
disajikan pula dalam mata uang yang lain. Kondisi ini melahirkan proses
translasi, yaitu suatu mata uang disajikan dalam mata uang yang lain. Situasi
menjadi kompleks ketika suatu perusahaan menyajikan laporan keuangannya dalam
suatu mata uang tertentu namun harus disajikan pula dalam mata uang yang lain.
Kondisi ini melahirkan proses translasi, yaitu suatu mata uang disajikan dalam
mata uang yang lain. Salah satu alasan perlunya proses translasi suatu laporan
keuangan adalah untuk membantu pemakai memahami laporan keuangan tersebut.
Contoh, investor perancis yang akan berinvestasi di Amerika serikat tentu saja
lebih menginginkan mengetahui laporan keuangan dalam bentuk franc dari pada
dalam dolar. Beberapa istilah dalam proses translasi di antaranya: 1)
Functional Currency, adalah nilai mata uang dari lingkungan di mana perusahaan
beroperasi, 2) Reporting Currency, adalah nilai mata uang yang digunakan
perusahaan induk dalam menyiapkan laporan keuangannya, 3) Foreign Currency,
adalah nilai mata uang selain “Reporting Currency”, 4) Local Currency, adalah
nilai mata uang negara dimana perusahaan asing beroperasi. Local Currency
merupakan “Foreign Currency” untuk perusahaan induk. Functional Currency dapat
menjadi reporting currency atau foreign (local) currency. Proses translasi
mencakup pencatatan kembali suatu perkiraan dari suatu nilai mata uang ke dalam
nilai mata uang yang lain. Bila nilai tersebut diistilahkan dengan “historical
exchange rate”. Dan bila nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar pada
saat tanggal neraca, maka hal tersebut diistilahkan dengan “current or closing
rate”.
Proses pengubahan nilai mata uang dalam neraca dan
laporan rugi laba dilakukan dengan mengalihkan jumlah mata uang asing dengan
nilai tukar yang layak. Ada 4 cara utama yang secara historis digunakan dalam
proses translasi, yaitu: Current-noncurrent method, Temporal method, dan
Current Rate Method. Sebagai tambahan, berbagai variasi dari beberapa metode
juga digunakan. Dalam hal ini tidak akan ada metode tunggal yang dipergunakan
secara universal, namun keseluruhannya telah digunakan di satu negara atau
lebih pada suatu waktu. Current-Noncurrent Method, dalam metode ini aktiva
lancar dan utang lancar diubah dalam nilai tukar saat ini, sedangkan aktiva
tetap, utang jangka panjang, dan modal diubah dalam nilai tukar histories.
Asumsi yang digunakan dalam metode ini adalah perkiraan-perkiraan dalam neraca
dapat dikelompokkan menurut tingkat maturitasnya. Monetary-Nonmonetary Method,
dalam metode ini, aktiva dan utang yang berbentuk uang diubah dengan nilai
tukar saat ini (current rate), dan aktiva, utang, dan modal yang tidak
berbentuk uang diubah dalam historical rate. Filosofi pendekatan ini adalah
bahwa aktiva dan utang yang berbentuk uang memiliki atribut yang sama sehingga
penyajiannya harus disesuaikan dengan perubahan nilai tukar. Metode ini
membolehkan utang jangka panjang untuk diubah dalam current rate. Temporal
Method, dalam metode ini, kas, piutang, dan utang (baik jangka pendek maupun
jangka panjang) diubah dalam current rate. Sedangkan aktiva dan kewajiban yang
lain diubah dalam current atau historical rate, tergantung pada
karakteristiknya. Metode ini memiliki kelebiham pada sifatnya yang fleksibel. Current
Rate method, metode ini paling mudah dilakukan karena semua aktiva dan
kewajiban diubah dalam current rate. Hanya nilai bersih yang dapat diubah dalam
historical rate. Metode ini mengakibatkan laporan yang sudah diubah dapat
mempertahankan rasio dan hubungannya dengan local currency.
Perusahaan di Amerika Serikat harus mengikuti peraturan
“Foreign Currency Translation”, yang diterbitkan oleh Financial Accounting
Standard Board, dimana anak perusahaan asing dikategorikan menjadi 1) mandiri
dan otonom atau 2) integral dengan aktivitas perusahaan-perusahaan induk. Anak
perusahaan yang mandiri dan otonom merupakan anak perusahaan yang beroperasi
secara independen dari perusahaan induk. Pendapatan dan biaya terjadi sebagai
respons terhadap kondisi lokal, tidak banyak arus kas anak perusahaan yang
berdampak terhadap arus kas perusahaan induk, dan tidak banyak terjadi
transaksi antara perusahaana induk denga anak perusahaan. Mata uang lokal
disebut sebagai mata uang “fungsional”. Laporan keuangan untuk anak perusahaan
yang mandiri ditranslasi menggunakan nilai tukar akhir-tahun, dan laporan laba
rugi di translasi menggunakan rata-rata nilai tukar mata uang. Tidak ada dampak
terhadap laba rugi konsolidasi akibat mentranslasi laporan keuangan anak
perusahaan asing otonom. Metode ini disebut dengan metode nilai tukar yang
berlaku yang dimodifikasi (modified current rate method). Metode ini
mempertahankan rasio keuangan neraca dan laba rugi dalam satuan dolar tetap
sama dengan rasio dalam satuan lokal. Disisi lain, anak perusahaan asing
integral beroperasi sebagai ekstensi dari dan tergantung kepada perusahaan
induk. Pendapatan dan pengeluaran anak perusahaan amat dipengaruhi oleh induk
perusahaan. Aliran kas anak perusahaan berdampak langsung terhadap aliran kas
perusahaan induk, dan terjadi banyak transaksi intra perusahaan antara anak
perusahaan dengan perusahaan induk. Untuk anak perusahaan tipe ini, dolar AS
disebut mata uang “fungsional” Laporan keuangan untuk anak perusahaan semacam
ini ditranslasi menggunakan metode temporal. Sebagian besar negara kontinental
Uni Eropa tidak memiliki standar. Praktik yang terjadi diserahkan ketangan
perusahaan, namun saat ini sebagian besar perusahaan dari negara ini mengikuti
International Accounting Standards. Standar Jepang mewajibkan penggunaan metode
nilai tukar yang berlaku (current rate method) dalam segala situasi, dengan
penyesuaian translasi disajikan dalam
neraca sebagai aktiva atau utang. Mata uang Euro pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1999 di 11 negara anggota uni eropa. Perkenalan Euro
akan menyederhanakan translasi mata uang asing yang beroperasi di zona Euro.
Dengan ini, perusahaan tidak perlu lagi menangani 11 mata uang, cukup satu mata
uang.
Suatu hubungan terbalik antara tingkat inflasi suatu
negara dan nilai eksternal mata uangnya telah ditunjukkan secara empiris.
Alhasil penggunaan kurs kini untuk mentranslasikan biaya perolehan aktiva
nonmoneter yang berlokasi dilingkungan berinflasi pada akhirnya akan
menimbulkan nilai ekuivalen dalam mata uang domestik yang jauh lebih rendah
daripada dasar pengukuran awalnya. Pada saat yang bersamaan, laba yang
ditranslasikan akan jauh lebih besar sehubungan dengan beban depresiasi yang
juga lebih rendah. Hasil translasi seperti itu dengan mudah dapat lebih
menyesatkan pembaca ketimbang memberi informasi kepada pembaca. Penilaian mata
uang yang lebih rendah biasanya merendahkan kekuatan laba dari aktiva luar
negeri yang didukung oleh inflasi lokal dan rasio pengembalian atas investasi
yang terpengaruh inflasi disuatu operasi luar negeri dapat menciptakan harapan
yang palsu ats keuntungan masa depan.
Financial Accounting Standard Board menolak penyesuaian
inflasi sebelum proses translasi, karena yakin bahwa penyesuaian tersebut tidak
konsisten dengan kerangka dasar penilaian biaya historis yang digunakan dalam
laporan keuangan dasar di AS. Sebagai solusi, standar amerika mewajibkan
penggunaan dolar AS sebagai mata uang fungsional untuk operasi luar negeri yang
berdomisili dilingkungan dengan hiperinflansi. Prosedur ini akan mempertahankan
nilai konstan ekuivalen dolar aktiva dalam mata uang asing, karena aktiva
tersebut akan ditranslasikan menurut kurs historis. Metode ini memiliki
keterbatasan. Pertama, translasi berdasarkan kusr historis akan bermakna hanya
jika perbedaan tingkat inflasi antara negara tuan rumah anak perusahaan dan
negara induk perusahaan berhubungan negatif sempurna dengan kurs nilai tukar.
Jika tidak, nilai ekuivalen dolar aktiva dalam mata uang asing, dalam
lingkungan berinflasi akan menyesatkan. Jika tingkat inflasi diperekonomian
dengan hiperinflasi turun dibawah 100 persen selama periode tiga tahun dimasa
mendatang, perubahan kedalam metode kus ini (karena mata uang lokal akan
menjadi mata uang fungsional) akan menimbulkan penyesuaian yang signifikan
selama masa semantara tersebut. Berdasarkan keadaan ini, pembebanan kerugian
translasi atas aktiva tetap dalam mata uang asing terhadap ekuitas pemegang
saham akan menimbulkan pengaruh yan signifikan terhadap rasio keuangan yang
memiliki penyebut berupa ekuitas pemegang saham. Masalah translasi mata uang
asing tidak dapat dipisahkan dari masalah akuntansi untuk inflasi asing.
Penelitian yang dlilakukan oleh Andre Kevin Roring dkk
dengan judul “Analisis Penerapan PSAK No. 10 Tahun 2012 Terhadap Laporan Keuangan
PT. Bank Central Asia (BCA) Tbk”. Penelitian tersebut menggunakan penelitian
deskriptif yaitu menganalisa dan membandingkan data-data yang diperoleh pada
penerapan PSAK No. 10 tahun 2012 terhadap Bank BCA menyimpulkan bahwa PT. Bank
Central Asia (BCA) Tbk dalam menerapkan PSAK No. 10 tahun 2012 tentang pengaruh
perubahan kurs valuta asing telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung penerapan PSAK No. 10 tahun 2012
dalam kegiatan aktivitas bank sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, dalam
hal ini bank melakukan analisis-analisis untuk melihat kebijakan penerapan PSAK
No.10 tahun 2012 yang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu dilihat dari
penentuan mata uang fungsional, pengukuran pos moneter dan pos non-moneter, dan
penyajian kembali laporan keuangan setelah diterapkan PSAK No.10 tahun 2012.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Heru Nugroho
dengan judul “Analisis Pengaruh Inflansi, Suku Bunga, Kurs Dan Jumlah Uang
Beredar Terhadap Indeks LQ45” menyimpulkan bahwa pengaruh inflasi terhadap
kinerja saham adalah negatif. Artinya semakin tinggi laju inflasi akan membuat
kinerja saham akan memburuk. Pada penelitian ini terbukti bahwa variabel
inflasi mempengaruhi secara negatif kinerja saham LQ45 namun tidak signifikan,
karena mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0.171, sehingga lebih besar dari 5
persen bahkan juga tidak signifikan di 10 persen. Karena itu hipotesa variabel
inflasi mempengaruhi secara negatif di tolak. Pengaruh suku bungan terhadap
kinerja saham adalah negatif, artinya semakin rendah suku bunga maka tingkat
investasi di pasar saham akan meningkat. Pada penelitian ini terbukti bahwa
kinerja saham LQ45 dipengaruhi secara negatif suku bunga dengan tingkat
signifikansi 0.00 lebih kecil dari 0.05. oleh karena itu hipotesa variabel suku
bunga mempengaruhi indeks LQ45 secara negatif di terima. Pengaruh kurs mata
uang $ terhadap kinerja saham adalah negatif. Pada penelitian tersebut terjadi
anomali yang membuktikan bahwa kinerja saham dipengaruhi secara positif oleh
kurs mata uang $. Sehingga semakin membesar nilai rupiah/ semakin membaik. Oleh
karena itu hipotesa variabel kurs mata uang $ mempengaruhi indeks LQ45 secara
negatif di tolak.Pengaruh jumlah uang beredar terhadap kinerja saham adalah
positif. Pada penelitian ini terbukti bahwa kinerja saham LQ45 dipengaruhi
secara positif oleh jumlah uang beredar dengan tingkat signifikansi 0.00 lebih
kecil dari 0.05. oleh karena itu hipotesa variabel jumlah uang beredar
mempengaruhi indek LQ45 secara positif di terima.
Lain halnya penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Zuhdi
Amin dengan judul “Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI, Nilai Kurs Dollar
(USD/IDR), dan Indeks Dow Jones (DJIA) Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan Di Bursa Efek Indonesia (BEI) “, menyimpulkan bahwa dari hasil
pengujian memberikan gambaran bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh secara
parsial terhadap IHSG, hal ini menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak secara
langsung mempengaruhi keputusan investor berinvestasi dalam bentuk saham di
BEI. Faktor tingkat inflasi tidak secara langsung menjadi pertimbangan bagi
investor dalam mengambil keputusan investasi. Investor masih lebih cenderung
menunggu dan mengamati faktor lainnya (tingkat suku bunga SBI, nilai kurs
USD/Rp, dan lainnya), baru kemudian investor mengambil keputusan terkait
investasi saham di BEI. Selanjutnya, suku bunga SBI menunjukkan pengaruh
positif signifikan terhadap pergerakan IHSG dalam empat tahun terakhir. Hal ini
bertentangan dengan mayoritas teori yang ada. Banyak teori/konsep yang
menyatakan bahwa suku bunga SBI berpengaruh terbalik (negatif) terhadap IHSG,
terdapat berbagai asumsi atas penyimpangan ini, mungkin karena investor tetap
raru pada investasi saham sebagai imbas krisis finansial di AS dan Eropa,
meskipun suku bunga deposito telah turun. Selain itu, mungkin juga investor
memiliki alasan lain yang kuat (di luar faktor suku bunga) ketika tidak
tertarik pada investasi saham dalam negeri meski pada saat itu keadaan suku
bunga SBI yang menurun. Keputusan investasi melibatkan faktor tekhis dan
psikologis dari investor itu sendiri sehingga tidak selamanya teori yang ada
selalu terbukti. Kemudian, alasan lain adalah dalam periode penelitian ini
pernah terjadi keadaan tidak cateris paribus, sehingga memungkinkan terjadi
ketidaksesuaian kenyataan denga teori yang ada. Untuk variabel kurs menunjukkan
pengaruh negatif signifikan faktor nilai kurs USD/Rp terhadap IHSG. Hal ini
menginformasikan bahwa menguatnya kurs dollar terhadap rupiah akan berdampak
pada menguatnya indeks harga saham gabungan (IHSG), dan juag sebaliknya. Kenyataan
ini sesuai dengan konsep bahwa jika dollar menguat terhadap rupiah (harga
dollar mahal) maka kemungkinan investor akan cenderung mengalihkan investasinya
dalam bentuk valas dollar AS dibandingkan berinvestasi saham, dan sebaliknya.
Menguatnya dollar terhadap rupiah juga akan berdampak pada perusahaan emiten
pada umumnya. Perusahaan emiten yang mempunyai hutang dalam bentuk dollar dan
pemenuhan sumber daya produksi yang diimpor atau dibayar menggunakan dollar,
akan mengalami peningkatan beban maupun kerugian selisih kurs. Hal ini akan
berdampak pada penurunan laba perusahaan, sehingga investor menjadi lebih ragu
untuk berinvestasi pada saham perusahaan-perusahaan emiten yang terkena dampak
negatif itu dan lebih memilih berinvestasi dalam dollar atau lainnya. Terakhir
dari hasil uji regresi menunjukkan pengaruh positif signifikan pergerakan
indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG. Hal ini sejalan dengan teori dan
beberapa penelitian yang adan menyatakan bahwa indeks Dow Jones berpengaruh
positif atau searah secara signifikan terhadap IHSG. Pengaruh positif indeks
Dow Jones terhadap IHSG mengindikasikan telah terintegrasinya pasar modal
indonesia dengan pasar modal Amerika Serikat.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Imam
Mukhlis dengan judul “ Analisis Volatilitas Nilai Tukar Mata Uang Rupiah
Terhadap Dolar” menyimpulkan bahwa volatilitas nilai tukar mata uang Rp/US $
sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 menunjukkan pergerakan yang relatif
rendah dan stabil. Hal ini sebagai akibat dari sistem nilai tukar yang dianut
yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Dalam konteks ini
intervensi dari otoritas moneter sangat dominan dalam menjaga pergerakan nilai
tukar mata uang Rp/US $ agar tidak terlalu Volatil. Namun demikian periode
setelah krisis ekonomi menunjukkan adanya pergerakan nilai tukar mata uang US$
dibandingkan dengan periode sebelum krisis ekonomi terjadi. Puncak dari
volatilitas nilai tukar mata uang Rp/US$ terjadi pada periode 1997/1998 yang
menandakan adanya kesenjangan antara penawaran dan permintaan terhadap mata
uang asing (US$) dibandingkan dengan mata uang lokal (Rp). Hal ini terjadi
karena ekspektasi masyarakat yang tidak rasional dalam mensikapi krisis ekonomi
yang terjadi. Sehingga perilaku ekonominya menjadi liar dan mencerminkan moral
hazard yang tinggi. Berkenaan dengan dinamika yang terjadi pada perkembangan
nilai tukar mata uang Rp/US$ tersebut, maka dibutuhkan beberapa kebijakan,
diantaranya adalah: 1) fokus kebijakan pada stabilitas nilai tukar mata uang
Rp/US$ dengan memperhatikan faktor ekspektasi masyarakat terhadap kondisi
perekonomian. Hal ini dapat dilakukan dengan mencermati pola kegiatan ekonomi
masyarakat yang terjadi, sehingga dapat lebih terkendali transaksi ekonominya,
2) diperlukan instrumen keuangan lain dalam rangka untuk memperbanyak pilihan
masyarakat dalam mengalokasikan dana yang dimilikinya. Hal ini tentunya juga
dibarengi dengan memberikan insentif yang ada yang lebih menarik, sehingga
dapat mengurangi konsentrasi terhadap salah satu instrument yang ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Linda Dwi Oktavia dengan
judul “ Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Rupiah, Dan Inflasi Terhadap
Kinerja Keuangan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi (studi kasus pada
PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk) hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa berdasarkan
pada hasil uji parsial diketahui bahwa variabel independen yang berpengaruh
secara parsial terhadap kinerja keuangan perusahaan sebelum privatisasi adalah
suku bunga SBI, hal tersebut disebabkan karena suku bunga merupakan salah satu
instrumen konvesional untuk mengendalikan laju pertumbuhan inflasi, dimana inflasi
yang tinggi menyebabkan menurunnya profitabilitas suatu perusahaan, sehingga
variabel suku bunga SBI berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Sedangkan untuk variabel independen lainnya yaitu nilai tukar rupiah dan
inflasi tidak berpengaruh secara parsial terhadap kinerja keuangan perusahaan
sebelum privatisasi, hal tersebut disebabkan karena dalam operasional perusahaan,
kebutuhan akan pemakaian mata uang asing tidak begitu diperlukan, biasanya
setiap aktivitas yang dilakukan perushaan menggunakan mata uang rupiah,
sehingga variabel nilai tukar rupiah tersebut tidak berpengaruh terhadap
kinerja keuangan perusahaan dan karena pada tahun 2000 hingga 2001. Dan,
berdasarkan hasil uji secara parsial bahwa variabel independen yang berpengaruh
secara parsial terhadap kinerja keuangan perusahaan sesudah privatisasi adalah
suku bunga SBI dan Inflasi, hal tersebut disebabkan suku bunga merupakan salah
satu instrumen konvensional untuk mengendalikan laju pertumbuhan tingkat
inflasi, dimana inflasi yang tinggi menyebabkan menurunnya profitabilitas suatu
perusahaan, sehingga variabel suku bunga SBI berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan. Pada variabel independen lainnya yaitu nilai tukur rupiah tidak
berpengaruh secara parsial terhadap kinerja keuangan perusahaan sesudah
privatisasi, hal tersebut disebabkan karena dalam operasional perusahaan,
kebutuhan akan pemakaian mata uang asing tidak begitu diperlukan, biasanya
setiap aktivitas yang dilakukan perusahaan menggunakan mata uang rupiah,
sehingga variabel nilai tukar rupiah tersebut tidak berpengaruh terhadap
kinerja keuangan perusahaan.
Daftar
Pustaka
Amin, Muhamad
Zuhdi, 2012, Pengaruh tingkat Inflasi,
Suku Bunga SBI, Nilai Kurs Dollar (USD/IDR), Dan Indeks Dow Jones (DJIA)
Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia (BEI),
Skripsi FEB UB.
Fauziah, Fitri
Ella, 2005, Exposure Translasi Akuntansi Perkembangan Dan Dampaknya Bagi
Negara-Negara ASIA, Jurnal Dinamika
Ekonomi & Bisnis, Vol. 2, No. 1.
Kewal,
Suramaya suci, 2012, Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs, Dan Pertumbuhan PDB
Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan, Jurnal
Economia, Vol.8, No. 1, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Musi Palembang.
Lestari, Etty
Puji, 2008, Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang
M2 Di Indonesia, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Vol.9, No.2, Universitas Terbuka Jakarta.
Manurung,
Elizabeth T, 2008, Pengaruh Perubahan Kurs Mata Uang Asing Dengan Kondisi
Ekonomi Dihubungkan Dengan Peran Akuntan Dalam Mendukung Harmonisasi Penerapan
IFRS Di Indonesia, Bina Ekonomi Majalah
Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar, Vol. 12, No. 2.
Mukhlis, Imam,
2011, Analisis Volatilitas Nilai Tukar Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar, Journal of Indonesian Applied Economic,
Vol. 5, No. 2, Fakultas EkonomiUniversitas Negeri Malang.
Nugroho, Heru,
2008, Analisi Pengaruh Inflasi, Suku
Bunga, Kurs dam Jumlah Uang Beredar Terhadap Indeks LQ45 (Studi Kasus Pada BEI
Periode 2002-2007), Tesis program Studi Magister Manajemen Universitas
Diponegoro.
Oktavia, Linda
Dwi, 2009, Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai
Tukar Rupiah, dan Inflasi Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sebelum Dan
Sesudah Privatisasi, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma,
Jakarta.
Roring, Andre
Kevin, 2014, Analisis Penerapan PSAK No.10 Tahun 2012 Terhadap Laporan Keuangan
PT. Bank Central Asia (BCA) Tbk, Jurnal
Emba, Vol. 2, No. 4, Universitas Sam Ratulangi Manado.
Santoso,
Hendra F, 2005, Akuntansi Inflasi, Jurnal
Akuntansi, Vol. 5, No. 1, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida
Wancana.
Santoso,
Hendra F, 2010, Akuntansi Internasional, Jurnal
Akuntansi, Vol. 10, No. 1, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida
Wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar