29/06/12

SEJARAH PEREKONOMIAN



Sejarah Perekonomian Indonesia
Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrem tersebut.
Sistem perekonomian di Indonesia sudah ada atau dimulai sejak bangsa Indonesia masih berbentuk Kerajaan. Dimana pada masa itu masih dilakukan monopoli berdasar kekuasaan kerajaan. Namun sejalan mulainya penjelajahan oleh bangsa barat maka sistem di Indonesia sedikit banyak mulai terpengaruhi.
Perkembangan sistem ini dimulai dari jaman penjajahan Belanda dimana sistem imperialisme di terapkan sampai pada akhir masa penjajahan jepang dimana sistem perekonomian masih digerakkan oleh bangsa penjajah. Setelah merdeka, bangsa Indonesia sudah berulang kali mengubah sistem yang dipakai dalam mengatur perekonomiannya. Dari sistem Liberal, kemudian Komandao (komunisme) sampai memasuki orde baru. Pada orde baru ini terdapat perubahan yang signifikan (kemajuan) yang dialami oleh bangsa Indonesia dari segi kemakmuran rakyatnya, dimana pada masa ini menggunakan Program Repelita. Namun ketika tahun 1999 terjadi reformasi baik dari sistem politik maupun ekonomi.
Pada akhirnya bangsa Indonesia sampai dengan sekarang ini menggunakan sistem Perekonomian pancasila atau kerakyatan dimana tujuan dari perekonomian ini adalah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 agustus 1945, indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti Indonesia sudah bebas dari Belanda. Tetapi setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia. Sampai tahun 1965, Indonesia gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah. Akibatnya, selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Seperti pertumbuhan ekonomi yang menurun sejak tahun 1958 dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan terus membesar dari tahun ke tahun. Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan jepang. Dilihat dari aspek politiknya selama periode orde lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis yang menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
Pemerintahan Orde Baru
Maret 1966, Indonesia dalam era Orde Baru perhatian pemerintahan lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat  pembangunan ekonomi dan sosial tanah air. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan 5 tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara barat. Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar. Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa Orde Baru dimana sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun. Dan kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut: kemampuan politik yang kuat, stabilitas ekonomi dan politik, SDM yang lebih baik, sistem politik ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat, dan dan kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Pemerintahan Transisi
Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan yang hebat, hingga akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang pada bulan juli 1997. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah terus melemah, hingga pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek dan membatasi anggaran belanja negara. Pada akhir Oktober 1997, lembaga keuangan internasional memberikan paket bantuan keuangaannya pada Indonesia.
Pemerintahan Reformasi
Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan Gusdur. Dalam hal ekonomi, perekonomian  Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Namun selama pemerintahan Gusdur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gusdur dengan IMF juga tidak baik. Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Seperti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang negatif dan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pemerintahan Gotong Royong
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri maupun swasta. Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik. Namun tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor, kedua disebabkanoleh tingginya suku bunga deposito.
Dibawah ini adalah kejadian-kejadian yang menyebabkan terjadinya sistem Perekonomian di Indonesia.
Kepanikan 1797
Krisis ekonomi berlangsung selama 3 tahun dari 1797 hingga 1800. Akibat dari deflasi
Bank of England yang menyebar hingga lautan Atlantik dan Amerika Utara dan menyebabkan hancurnya perdagangan dan pemasaran real estate di Amerika Serikat dan sekitar Karibia. Ekonomi Inggris terpengaruh akibat adanya pembalikan deflasi selama perang dengan Perancis saat terjadinya revolusi Perancis.


Depresi 1807
Depresi terjadi selama tujuh tahun sejak 1807 hingga 1814. Undang-undang embargo Amerika Serikat 1807 pada saat itu diluluskan oleh kongres Amerika saat presiden Thomas Jefferson memimpin. Hal ini menghancurkan industri yang terkait dengan pekapalan. Kaum federal berusaha melawan embargo ini dan berusaha melakukan penyelundupan di New England.

Kepanikan 1819
Krisis terjadi selama 5 tahun dari 1819 hingga 1824. Ini adalah krisis finansial pertama yang mempengaruhi keuangan Amerika Serikat secara besar-besaran, bank-bank berjatuhan, munculnya pengangguran, dan merosotnya pertanian dan industri manufaktur. Ini juga menandakan berakhirnya ekspansi ekonomi yang mengikuti Perang 1812.

Kepanikan 1837
Berlangsung antara 1837 hingga 1843. Ekonomi Amerika jatuh secara tajam disebabkan kegagalan bank dan kurangnya keyakinan pada uang kertas. Spekulasi pasar menyebabkan bank di Amerika berhenti bertransaksi dalam bentuk koin emas dan perak.


Kepanikan 1857
Terjadi selama tiga tahun hingga tahun 1860. Kejatuhan
Perusahaan Asuransi Hidup dan Kepercayaan Ohio menimbulkan ledakan spekulasi di sektor transportasi Amerika Serikat. Lebih dari 5000 bisnis gagal kurang dari setahun sejak terjadinya kepanikan dan kaum pengangguran melakukan protes di kawasan urban.

Kepanikan 1873
Terjadi selama enam tahun disebabkan masalah ekonomi di Eropa mengakibatkan jatuhnya Jay Cooke & Company, bank terbesar di Amerika Serikat. Hal ini juga menimbulkan spekulasi terhadap perang saudara di Amerika. Undang-undang koin 1873 juga memberikan kontribusi dalam jatuhnya harga perak yang menghancurkan industri pertambangan Amerika Utara.

Depresi Berkepanjangan
Sesuai namanya, depresi ini menelan waktu 23 tahun sejak 1873 hingga 1896. Runtuhnya Bursa Efek Vienna menyebabkan depresi ekonomi yang menyebar ke seluruh dunia. Ini sangat penting dicatat dimana pada periode ini, produksi industri global meningkat pesat. Di Amerika Serikat misalnya, pertumbuhan produksi mencapai empat kali lipat.


Kepanikan 1893
Terjadi selama tiga tahun hingga 1896. Terjadi akibat kegagalan Reading Railroad Amerika Serikat dan penarikan investor Eropa terhadap pasar saham serta jatuhnya bank-bank.

Resesi Perang Dunia I
Terjadi selama tiga tahun hingga 1921. Terjadinya hiper
Inflasi di Eropa menyebabkan kelebihan produksi besar-besaran di Amerika Utara.


Depresi Besar 1929
Depresi yang paling besar dan dikenang sepanjang sejarah. Terjadi selama 10 tahun sejak 1929 hingga 1939. Pasar saham di seluruh dunia saat itu berjatuhan dan bank-bank di Amerika Serikat mengalami kebangkrutan. Jutaan pengangguran bermunculan dan kemiskinan merajalela.

Resesi 1953
Terjadi selama satu tahun. Setelah periode inflasi perang Korea berakhir, banyak uang yang ditransferkan untuk keamanan nasional Amerika Serikat. Berubahnya kebijakan The Fed yang lebih membatasi tahun 1952 menyebabkan terjadinya inflasi yang lebih lanjut.

Krisis Minyak 1973
Terjadi selama dua tahun hingga 1975. Naiknya harga minyak yang ditetapkan oleh OPEC dan tingginya biaya yang dikeluarkan Amerika Serikat pada Perang
Vietnam menyebabkan terjadinya stagflasi di Amerika Serikat.

Resesi Awal 1980
Terjadi di awal tahun 1980 selama dua tahun, revolusi Iran membuat melonjaknya harga minyak dan munculnya krisis energi 1979. Pergantian rezim di Iran menyebabkan menurunnya pasokan minyak sehingga harga minyak melambung. Ketatnya kebijakan moneter di Amerika Serikat untuk mengontrol inflasi menyebabkan terjadi resesi lainnya.

Resensi Awal 1990
Terjadi selama satu tahun dimana perdagangan produk industri dan manufaktur menurun.

Resesi Awal 2000
Terjadi selama dua tahun dari 2001 hingga 2003. Keruntuhan bisnis dot.com, serangan 11 September, dan skandal pembukuan menyebabkan krisis di sekitar Amerika Utara.

Depresi Ekonomi 2008
Depresi yang saat ini tengah melanda dunia. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya naiknya harga minyak yang menyebabkan naiknya harga makanan di seluruh dunia, krisis kredit dan bangkrutnya berbagai investor bank, meningkatnya pengangguran sehingga menyebabkan inflasi global. Bursa saham di beberapa negara terpaksa ditutup beberapa hari termasuk di Indonesia, harga-harga saham juga turut anjlok. Diperkirakan depresi ekonomi kali ini separah/ lebih parah dari depresi besar ekonomi 1929.





Masalah dan Penyelesaian Paradigma Pembangunan Indonesia
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional : “Agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan”
Landasan Filosofis:
v  Cita-cita Nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur;
v  Tujuan Nasional dengan dibentuknya pemerintahan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia;
v  Tugas Pokok Setelah Kemerdekaan adalah menjaga kemerdekaan serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan;
v  Agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembanagunan.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah (1) satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan; (2) untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan; (3) yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Paradigma pembangunan selalu dan harus berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntutan jaman dan permasalahan. Terjadinya krisis yang besar sering dan memaksakan munculnya paradigma baru. Tanpa paradigma baru, krisis yang sama dan lebih besar akan terjadi lagi.
Demikian juga dalam pemikiran ekonomi. Di tahun 1930-an J. M. Keynes telah melakukan revolusi dalam paradigma pemikiran ekonomi. Revolusi pemikirannya, setelah dikuantifikasikan oleh Samuelson dan kawan kawan, kemudian menjadi terkenal dengan yang disebut Teori Ekonomi Makro, yang kini diajarkan di seluruh dunia.
Pada saat itu sedang terjadi krisis ekonomi yang amat besar, yang sering disebut dengan Great Depression. Negara kaya seperti Amerika Serikat dan Eropa terjerembab dalam kesulitan ekonomi yang besar. Saat itu paradigmanya adalah peran pemerintah yang sekecil kecilnya. Saat itu, para ekonom mempercayakan kegiatan ekonomi sepenuhnya pada kekuatan pasar. Ekonomi yang menurun, menurut paradigma saat itu, akan pulih dengan sendirinya. Ekonomi yang memanas akan dengan sendirinya kembali normal, asalkan pemerintah tidak ikut campur tangan. Namun, di tahun 1930-an itu, ekonomi yang terus menurun tidak kunjung baik, dan bahkan dari masa ke masa, keadaan ekonomi makin parah.
Di saat seperti itu lah muncul J. M Keynes, yang memperkenalkan paradigma baru, bahwa pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi krisis saat itu. Pemerintah harus menciptakaan permintaan, harus mengeluarkan uang, agar ekonomi tumbuh lagi. Di jaman sekarang, pemikiran ini dikenal dengan istilah stimulus package.
Namun , usaha J. M Keynes ini tidak begitu saja diimplementasikan. Dukungan kuat dari tokoh politik sangat perlu untuk mengimplementasikan perubahan paradigma pemikiran. Baru dengan dukungan penuh dari Franklin D. Roosevelt, presiden Amerika Serikat waktu itu, pemikiran Keynes dijalankan. Dan sejak saat itu, ekonomi Amerika Serikat dan dunia, segera mengalami pemulihan. Ekonomi dunia kemudian mengikuti paradigma pasar dengan campur tangan pemerintah.
Namun, tidak semua negara mengikuti paradigma pasar dengan campur tangan pemerintah. Negara yang menganut sistem sosialis/ komunis cenderung tidak mempercayai penggunaan mekanisme pasar sama sekali. Mereka percaya bahwa semua kegiatan ekonomi diatur oleh pemerintah pusat. Contoh paling jelas adalah apa yang dilakukan oleh Uni Soviet (sebelum pecah menjadi banyak negara). Pusat lah yang menentukan semua kegiatan ekonomi sampai pada unit mikro yang terkencil. Harga tidak berperan dalam mengalokasi barang dan jasa.
Indonesia sebelum tahun 1966 juga cenderung menggunakan sistim perencanaan terpusat, yang mengabaikan mekanisme pasar. Ditambah dengan situasi ”perang” melawan Amerika Serikat, Inggris, dan negara tetangga (Malaysia dan Singapura), situasi ekonomi di awal 1960s sangat kacau. Telah terjadi hiper-inflasi, kenaikan harga yang amat cepat. Rata-rata harga di Desember 1965 tujuh kali lipat rata rata harga di Desember 1964. Bayangkan. Pada bulan Desember 1964, sejumlah uang dapat menghidupi suami istri dengan lima orang anak. Namun, dengan harga yang menjadi tujuh kali lipat, uang yang sama itu hanya dapat membiayai satu anggota keluarga.
Di saat itu lah muncul paradigma baru untuk perekonomian Indonesia. Pada tanggal 10 Agustus 1963, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyampaikan pidato yang berjudul ”Analisa Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan”. Kalau di saat ini mahasiswa ekonomi Fakultas Ekonomi UI membaca pidato ini, mungkin mereka akan merasa bahwa yang disampaikan oleh Widjojo Nitisasatro tidak hebat, biasa biasa saja. Mereka semua, para mahasiswa itu, tentu sudah amat faham dengan yang disampaikan dalam pidato itu.
Namun, kita perlu melihat situasi yang terjadi di awal tahun 1960-an. Widjojo Nitisastro dan kawan kawan di Fakultas Ekonomi UI menghadapi situasi yang jauh berbeda dengan saat ini. Kekuasaan politik saat itu sangat curiga pada Amerika Serikat, sementara Widjojo dan kawan kawan menyelesaikan studinya di Amerika Serikat. Lebih lanjut, Widjojo menyarankan perubahan paradigma. Di jaman itu politik adalah panglima. Sukarno, presiden Indonesia waktu itu, tidak menghargai analisis ekonomi. Dalam suasana seperti itulah, dalam pidatonya, Widjojo Nitisastro menyarankan pentingnya analisis ekonomi untuk Indonesia. Lebih lanjut, Widjojo Nitisastro memperkenalkan penggunaan mekanisme pasar dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Ia tidak menyerahkan kepada pasar sepenuhnya, tetapi bagaimana mengkombinasikan perencanaan dari pemerintah pusat dan kekuatan pasar.
Pada saat sekarang ini, tentu saja, analisis ekonomi dan penggunaan pasar sudah menjadi barang tiap hari, dan bukan barang baru lagi untuk Indonesia. Namun, saat itu, memperkenalkan analisis ekonomi dan penggunaan pasar merupakan tabu politik.
Kalau Keynes memperkenalkan peran serta pemerintah kepada dunia yang percaya sepenuhnya ke pasar pada tahun 1930-an, Widjojo memperkenalkan sistem pasar pada perencanaan pembangunan. Keduanya melakukan kombinasi pasar dan campur tangan pemerintah. Widjojo Nitisastro boleh dikatakan sebagai seorang Keynesian, pengikut pemikiran Keynes.
Seperti halnya dengan J. M. Keynes, ide Widjojo Nitisastro juga sulit diterapkan karena pada saat itu tak ada dukungan dari elit politik. Bukan hanya tak ada dukungan, bahkan, saat itu, elit politik memusuhi Widjojo Nitisstro dan ide idenya. Baru kemudian, setelah terjadi perubahan politik, dari Sukarno ke Suharto, ide perubahan paradigma tersebut mendapat dukungan politik. Suharto mendukung penuh ide Widjojo Nitisastro. Bahkan, akhirnya, sebagian besar Ketetapan MPRS Nomor XXIII/ 1966 yang kemudian menjadi landasan hukum pembangunan ekonomi Indonesia di awal Order Baru, berasal dari ide Widjojo Nitisastro dan kawan kawan di Fakultas Ekonomi UI. Tentu saja, di jaman sekarang, pemikiran tersebut bukanlah hal yang luar biasa, seperti juga bahwa pemikiran Keynes sudah menjadi hal yang sehari hari bagi para ekonom dan mahasiswa ekonomi.
Kemampuan dan keberanian Widjojo Nitisastro untuk memulai sesuatu yang baru tidak bermula di tahun 60-an. Dalam penulisan disertasinya, Widjojo Nitisastro juga melakukan sesuatu yang waktu itu masih amat langka. Disertasinya (tahun 1961) berjudul ”Migration, Population Growth, and Economic Development: a Study of the Economic Consequences of Alternative Pattern of Inter-island Migration”. Selain disertasi, studi Widjojo Nitisastro mengenai demografi juga menghasilkan buku Population Trends in Indonesia, yang kemudian menjadi amat terkenal dalam kepustakaan demografi di Indonesia.
Di jaman sekarang, mahasiswa demografi akan merasakan bahwa kedua karya ini sebagai “biasa biasa” saja, karena mereka, saat ini, telah sangat terbiasa dengan apa yang dilakukan Widjojo Nitisastro dalam dua buku tersebut. Namun, saat itu, di akhir 1950-an dan awal 1960-an, data demografi teramat langka, terutama untuk Indonesia. Widjojo memasuki hutan demografi tanpa angka, dan ia mulai merintis mengumpulkan dan menghasilkan angka.
Kemudian, setelah Widjojo Nitisastro menjadi Ketua Tim Bidang Ekonomi dan Keuangan dari Staf Pribadi Ketua Presidium Kabinet Republik Indonesia, di era politik di bawah Suharto, pada tahun 1996, hasil karya demografi tersebut dikembangkan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi UI, yang didirikan antara lain oleh Widjojo Nitisastro. Kemudian, data demografi tersebut menjadi dasar yang amat penting dalam perencanaan pembangunan Indonesia.
Jaman sekarang, situasi, permasalahan, dan tantangan sudah jauh berbeda dengan apa yang terjadi di jaman J. M. Keynes, tahun 1930-an, dan jaman Widjojo Nitisastro, tahun 1960-an. Namun, satu hal yang masih relevan: perubahan paradigma selalu diperlukan, untuk menghadapi situasi, permasalahan, dan tantangan yang berbeda, terutama di saat krisis.
Berbagai krisis yang melanda dunia, dan Indonesia, akhir akhir ini tampaknya juga memerlukan perubahan paradigma. Adakah paradigma baru dan apakah elit politik akan mendukung paradigma baru? Indonesia, sebagai anggota G-20, dapat memberikan sumbangan pemikiran perubahan paradigma pemikiran ekonomi untuk kepentingan global, termasuk Indonesia. Bedanya, kalau di jaman J. M Keynes dan Widjojo Nitisastro para ekonom dapat bekerja sendirian dalam pembuatan paradigma baru, di jaman sekarang, paradigma baru harus merupakan pemikiran yang inter-disiplin, yang harus melibatkan pemikiran di banyak disiplim ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu ekonomi.







Lima tahap pembangunan menurut Rostow (1960)

a. Masyarakat tradisional
Sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat tradisional adalah pertanian, dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja manusia lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Masyarakat ini dicirikan oleh struktur hirarkis sehingga mobilitas sosial dan vertikal rendah.
b. Pra-kondisi tinggal landas
Selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu memulai sebuah pembangunan yang dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi industri. Konsekuensi perubahan ini, yang mencakup juga pada perkembangan pertanian, yaitu tekanan kerja pada sektor-sektor primer berlebihan. Sebuah prasyarat untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi industri yang berlangsung dalam satu abad terakhir.
c. Tinggal landas
Tahapan ini dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Karakteristik utama dari pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan dari dalam yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan dorongan dari luar. Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa industri dapat mendukung pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi dalam dua atau tiga dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.
d. Menuju kedewasaan
Kedewasaan pembangunan ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau industri listrik. Ini merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Pada umumnya, tahapan ini dimulai sekitar 60 tahun setelah tinggal landas. Di Eropa, tahapan ini berlangsung sejak tahun 1900.
e. Era konsumsi tinggi
Ini merupakan tahapan terakhir dari lima tahap model pembangunan Rostow. Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran dan keserbaragaman sekaligus. Menurut Rostow, saat ini masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat atau Utara.
Indonesia berada pada tahap “Masyarakat tradisional” alasannya
Status sebagai negara berkembang menandakan pembangunan Indonesia sampai sekarang belum selesai. Artinya selama Indonesia masih berproses di dalam pembangunan ini, status negara berkembang ini akan melekat terus. Pembangunan yang dimaksud bukan pembangunan infrastruktur saja tetapi juga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada, dengan tujuan dapat mensejahterakan diri sendiri, masyarakat, negara, dan dapat bersaing dengan negara-negara lain. Saya berasumsi kemandekan pembangunan yang ada di Indonesia disebabkan keberanian Indonesia ikut terjun dalam permainan globalisasi dunia. Atau meminjam istilah yang digunakan oleh Peter Evans dalam teori Aliansi Tripelnya bahwa pembangunan Indonesia sekarang berada dalam fase pembangunan dalam ketergantungan.
Seperti yang kita ketahui bahwa syarat penting dari kemajuan suatu negara melalui pembangunan menurut teori Modenisasi adalah adanya syarat ekonomi dan non-ekonomi. Syarat non-ekonomi yang dimaksud adalah manusia sebagai aktor dalam pembangunan itu sendiri. Manusia disini adalah sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut dalam melaksanakan dan mengelola pembangunan tersebut. Dalam teori Modernisasi yang dikemukan oleh Max Webber, McClelland, dan Alex Inkeles dan David H. Smith adalah sama-sama berbicara mengenai manusia sebagai aktor utama dalam pembangunan. Dalam teori Modernisasi dikotomi masyarakat tradisonal dan modern sangat jelas terlihat, disebutkan bahwa hanya negara yang masyarakatnya telah menuju ke arah modern yang bisa melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan.
W.W. Rostow dalam teorinya Lima Tahap Pembangunan bahwa faktor masyarakat Indonesia sekarang sebagian masih tergolong ke dalam masyarakat tradisional, Arief Budiman :
Ilmu pengetahuan pada mayasyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Karena itu, masyarajat semacam ini masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demikian tunduk kepada alam, belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas. Masyarakat ini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi. Tidak untuk investasi. Pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umumnya hamper sama dengan kehidupan generasi sebelumnya. (2000:26)
Dikotomi masyarakat tradisional dan modern ini tentu tidak menjadi penghalang dalam pembangunan. Khususnya dalam kasus di Indonesia sebagai negara berkembang yang masih di dalam transisi masyarakat tradisional ke modern. Meskipun sangat lambat namun pergeseran ini pasti terus bergerak. Seperti yang diutarakan W.W. Rostow dalam Arief Budiman “pada suatu titik, dia mencapai posisi prakondisi untuk lepas landas”.
Pergerakan arus globalisasi seolah-olah tidak memperdulikan negara mana yang sudah modern atau negara mana yang masih tradisional. Karena hakekatnya adalah bagaiamana suatu negara dapat bersaing dan menguasai arus globalisasi itu. Maksudnya tinggi dan rendahnya tingkat produksi suatu negara dalam perdagangan bebas dan tak terbatas yang ada dapat menjadi indikator maju atau tidak majunya suatu negara, tentunya dengan industri-industri yang dimilikinya. Arief Budiman menyebutkan, pada masa lalu dimana Teori Pembagian Kerja Internasional dianut secara universal, dalam teori ini menyatakan bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Artinya dalam produksi dan perdangangan negara terbagi atas dua kutub yang menghasilkan produksi masing-masing, yaitu kutub negara industri dan kutub negara yang hasil produksinya pertanian.
Karena adanya spesialisasi ini, terjadilah perdagangan internasional. Perdagangan ini saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara-negara pertanian dapat membeli barang-barang industri secara lebih murah (daripada memproduksinya sendiri), dan negara-negara industri dapat membeli hasil-hasil pertanian secara lebih murah (dibandingkan kalau memproduksinya sendiri). (2000:17)
Spesialisasi ini tentu ada penyebabnya, negara-negara industri cenderung tidak memiliki tanah yang subur yang bergerak dibidang pertanian, begitu juga dengan daerah pertanian yang cenderung memiliki tanah yang subur. Artinya menurut teori ini dengan adanya kondisi seperti itu dengan menceburkan diri dalam kegiatan ekonomi dunia adalah kondisi yang baik dalam pembangunan karena akan saling tergantung dan menguntungkan jika negara-negara bisa saling mengisi kelemahan yang ada. Tapi pemikiran seperti itu seperti yang kelihatan pada praktiknya, dimana negara-negara industri cenderung mengeksploitasi negara-negara pertanian dalam menunjang produksinya. Ini tentu hanya menguntungkan satu pihak saja, sehingga negara yang tereksploitasi akan mengalami keterbelakangan dan ketinggalan dalam pembangunan negaranya. Teori Modenisasi menjawab akibat dari keterbelakangan tersebut adalah akibat dari keterlambatan negara-negara tersebut melakukan modernisasi dirinya. Tetapi berbeda jawaban dengan Teori Ketergantungan. Artinya teori Ketergantungan membantah Teori Modernisasi, bahwa keterbelakangan yang ada bukan disebabkan karena keterlamabatan suatu negara dalam melakukan modenisasi melainkan karena adanya struktur ekonomi dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat menghisap yang lemah.
Status Indonesia sebagai negara berkembang dalam pembangunan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan dua teori ini, yaitu Teori Modernisasi dan Teori Ketergantungan. Secara teoritis pembangunan Indonesia sekarang yang diungkapkan oleh W.W. Rostow dalam Teori Lima Tahap Pembangunanya bahwa Indonesia berada dalam prakondisi untuk lepas landas. Seperti yang diungkapkan oleh Arief Budiman:
Masyarakat tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak. Pada suatu titik, dia mencapai posisi prakondisi untuk lepas landas. Biasanya, keadaan ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang lebih maju. Perubahan ini tidak dating karena faktor-fkator internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar ini menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan.(2000:26)
Sebenarnya hal ini telah dirintis oleh pemerintahan Orde Baru yaitu keikutsertaan asing dalam proses pembangunan, terutama Amerika Serikat. Dimana pada masa itu pemerintah telah mempersiapkan fase Lepas Landas tersebut sebagai fase yang sangat menentukan menurut W.W. Rostow dalam modernisasi, yaitu dimana tidak terdapat hambatan-hambatan dalam proses pertumbuhan ekonomi. Namun kasus yang terjadi justru pemerintahan pada saat itu sebagai pembuka keran dalam pertumbuhan ekonomi justru menjadi penyebab hancurnya tatanan perekonomian yang berimplikasi pada hancurnya tatanan masyarakat. Dalam membangun perekonomian kembali keikutsertaan asing dalam proses pembangunan mulai diperhitungkan, sehingga pada saat itu bermunculan lembaga-lembaga politik dan sosial sebagai kelompok penekan pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan keikutsertaan asing dalam pembangunan. Menurut W.W. Rostow sendiri adanya lembaga politik dan sosial yang mendukung pertumbuhan ekonomi merupakan syarat dari fase Lepas Landas tersebut disamping syarat lainnya seperti investasi dan industri manufaktur. Seperti yang diutarakan Arief Budiman :
Yang dimaksud oleh Rostow misalnya adalah negara yang melindungi kepentingan para wiraswastawan untuk melakukan akumulasi modal. Atau memberukan iklim politik yang menguntungkan bagi para industriawan, atau orang asing untuk menanamkan modalnya. Memang, fungsi dari lembaga-lembag non-ekonomi ini adalah untuk menunjang petumbuhan ekonomi. Tetapi, sebagai seorang ahli ekonomi, dengan menyebutkan lembaga-lembaga non-ekonomi ini Rostow telah membuat langkah yang sangat berarti.(2000:30)
Menurut teori ini dampak dari hal tersebut jelas dapat menghambat proses pembangunan. Praktik pembangunan yang ada di Indonesia sekarang mungkin tidak berpijak pada teori ini, pemerintah tetap melaksanakan pembangunan dengan bekerja sama dengan asing tanpa terlebih dahulu memperhatikan kondisi masyarakatnya. Seperti yang diutarakan Rostow dalam tahap pertama dalam Lima Tahap Pembangunan adalah memodernkan manusianya terlebih dahalu, agar tidak terguncang dalam memasuki era kemajuan. Sehingga pembangunan hanya dirasakan oleh segelintir orang.
Pembangunan yang dirasakan segelintir orang itu sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Andre Gunder Frank dalam Teori Ketergantungannya. Kondisi Indonesia sebagai negara agraris dalam arus globalisasi menurut teori Pembagian Kerja Secara Internasional adalah sebagai negara yang terbelakang sangat tergantung dengan negara-negara industri. Menurut Frank di dalam Arief Budiman hubungan dua negara ini, yang lazim disebutnya sebagai negara-negara metropolis dan negara satelit, lebih berbicara tentang aspek politik dari hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara-negara satelit.
Dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, seperti juga pendapat Baran, kaum borjuasi di negara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit dan kaum borjuasi yang dominan di sana (pada Baran: tuan tanah dan kaum pedagang). Sebagai akibat kerjasama antara modal asing dan pemerintah setempat ini, muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi local, dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut. Kegiatan ekonomi praktis merupakan kegiatan ekonomi modal asing yang berlokasi di negara satelit. Fungsi kaum borjuasi lokal adalah mitra junior yang dipakai sebagai payung politik, serta pemberi kemudahan bagi beroperasinya kepentingan modal asing tersebut, melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah yang didukung oleh borjuasi lokal ini adalah kebijakan yang menghasilkan keterbelakangan karena kemakmuran bagi rakyat jelata dinomor-duakan.(2000:67)
Tetapi kondisi Indonesia dalam pembangunan sudah mulai membaik dalam artian tidak lagi terlalu tergantung dengan negara lain. Indikatornya adalah mulai tumbuh dan berkembangnya industri sebagai kemungkinan pertumbuhan ekonomi. Artinya Teori Ketergantungan yang diungkapkan Frank terbantahkan karena negara-negara satelit memungkinkan melakukan industrialisasi sebagai pertumbuhan ekonomi, diutarakan Arief Budiman keberhasilan negara-negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Seperti halnya dengan kondisi yang ada di Indonesia sekarang, industri-industri mulai berkembang tapi yang mendominasi adalah pabrik-pabrik yang masih memiliki hubungan dengan negara lain, artinya negara lain tersebut masih memperoleh keuntungan dari poroses industrialisasi negara Indonesia. Sehingga banyak perusahaan-perusahaan bersifat Multi National Coorporate (MNC) bermunculan sebagai bentuk bantuan asing terhadap industrialisasi Indonesia. Kondisi tersebut disebut Peter Evans sebagai proses Dependent Development atau Pembangunan Dalam Ketergantungan. Yang selanjutnya disebut Evans sebagai Aliansi Tripel, yakni kerjasama antara modal asing, pemerintaha di negara pinggiran yang bersangkutan, dan borjuasi lokal. Proses pembangunan ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia sekarang, dimana kerjasama antara pemodal asing, pemerintah, dan pengusaha lokal sangat berperan. Menurut Arief Budiman, di sini pemerintah jelas sangat membutuhkan modal, teknologi, dan akses ke dalam pasar dunia agar bisa menjalankan pembangunan dan pengusaha lokal dikutsertakan agar pemerintah lokal tidak menjadi alat modal asing dan pembangunan tidak sepenuhnya berada di tangan modal asing.
Kerjasama antara pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerjasama ekonomi, dalam arti bahwa kerjasama tersebut memang diperlukan bila negara itu ingin mendorong terjadinya proses industrialisasi. Sedangkan kerjasama antara pemerintah dan borjuasi lokal bersifat politis, dalam arti tujuan kerjasama tersebut terutama adalah untuk mendapatkan legitimasi politik, supaya pemerintah tersebut dapat diterima sebagai negara nasional yang memperjuangkan kepentingan bangsa. (2000:78)
Pembangunan yang dalam bahasanya memperjuangkan kepentingan bangsa merupakan langkah pemerintah melindungi operasi perusahaan-perusahaan tersebut secara politis. Disamping itu ikutsertanya pengusaha lokal dalam kebijakan pemerintaha semacam ini dapat mendatangkan keuntungan sendiri dan juga keuntungan tersendiri atas kehadiran perusahaan multinasional. Disamping mendapatkan teknologi juga mendapatkan keuntungan akses pasar internasional. Oleh karena itu menurut Arief Budiman, tumbuhlah perusahaan-perusahaan patungan antara pengusaha nasional dan asing yang sesungguhnya perusahaan tersebut dibiayai dan dioperasikan oleh perusahaan multinasional raksasa, sehingga pengusaha nasional yang terlibat tersebut hanyalah mitra junior yang perannya sama sekali tidak berarti. Demikian Evans menyebutnya Pembangunan Dalam Ketergantungan.