25/04/13

Aspek Hukum dalam Ekonomi


BAB
III        

Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Yang dimaksud dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU Kepailitan.
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848.
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUH Perdata
KUH Perdata terdiri atas empat 4 bagian, yaitu:
Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
Buku 2 tentang Benda
Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs

Contoh Kasus Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata juga disebut sebagai hukum privat atau hukum sipil dan dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, seperti misalnya hukum keluarga, hukum harta kekayaan,  hukum benda,  hukum perikatan dan  hukum waris.


Hukum perdata yang ada di Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia tersebut adalah hukum perdata yang berasal dari hukum perdata barat, yaitu Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda yang dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W

Contoh Hukum Perdata Warisan
            Seorang ayah yang ingin mewariskan harta bendanya ketika kelak ia meninggal tentunya akan menuliskan sebuah surat wasiat. Namun ketika seorang ayah tersebut telah meninggal, dimana kemudian terjadi selisih paham antara anak-anaknya dan berujung kepada pelaporan salah seorang anak kepada pihak yang berwenang tentang perselisihan yang terjadi, maka kasus tersebut juga termasuk salah satu contoh kasus hukum perdata.

Contoh Hukum Perdata Perceraian
            Bila terjadi suatu masalah didalam suatu rumah tangga yang tidak menemukan solusi atau jalan keluar, maka sebagai jalan keluar alternatif yang diambil adalah perceraian. Suatu perceraian tersebut mungkin menjadi jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk mengakhiri permasalahan yang terjadi didalam rumah tangga tersebut. Kasus perceraian ini merupakan salah satu contoh yang masuk dalam kategori hukum perdata.

Contoh Kasus Perdata Pencemaran Nama Baik
            Seorang artis merasa terhina atas pemberitaan sebuah media massa. Gosip tersebut telah digosipkan oleh media menjadi seorang pengedar dan pemakai psikotropika. Karena tidak terima dengan pemberitaan tersebut, maka sang artis melaporkan media massa tersebut ke polisi atas tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Kasus antara artis dan media massa tersebut juga termasuk menjadi salah satu contoh kasus hukum perdata.






ANALISIS HUKUM PERDATA PADA KASUS PLAGIAT

Plagiatisme di Perguruan Tinggi sudah jadi budaya

            GEMA- Penjiplakan yang semestinya dihindari di dunia akademik justru semakin merebak di perguruan tinggi. Pelakunya bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dosen, guru besar dan calon guru besar dengan berbagai modus. Plagiatisme atau penjiplakan hasil karya orang lain masih menjadi persoalan serius di perguruan tinggi (PT), karena tidak mudah untuk mengetahui apakah suatu jarya plagiatisme atau bukan.

“Plagiatisme di Perguruan Tinggi saat ini sudah menjadi bagian dari budaya yang menjadi penyakit sosial atau patologi sosial,”kata Sentot Prihandayani Sugiti Komarudin, narasumber dialog terbuka yang diadakan oleh mahasisiwa ekstrakampus UIN Maliki di gedung pertemuan perpustakaan lantai 2(27/3).

Menurut dia, plagiatisme selama ini susah dideteksi, sebab hanya diketahui oleh penulis yang bersangkutan atau saksi korban plagiatisme. Namun hal itu bisa diketahui seandainya saksi korban melaporkan karya tersebut.

Ia mengatakan, kasus plagiatisme secara sederhana ditemui dalam kehidupan mahasiswa, yakni saat mengerjakan tugas. Mereka biasanya langsung mencomot artikel dari buku atau internet tanpa menyebutkan sumbernya.

“Hal itu juga termasuk plagiatisme, meskipun plagiatisme terbagi menjadi beberapa tingkatan, misalnya plagiatisme mutlak yang menjiplak seluruh karya orang lain atau mengambil beberapa bagian saja,”katanya.

Akan tetapi, kata dia, pihaknya tetap optimis bahwa plagiatisme dapat dicegah dan diantisipasi, salah satunya dengan melakukan pengetatan pemeriksaan hasil karya tulis yang diajukan.

“para dosen harus melakukan kembali cara tradisional, yakni membaca dan meneliti secara seksama hasil karya tulis mahasiswa secara keseluruhan, tidak hanya discan lalu selesai,”katanya.

Meskipun sudah dilakukan pengetatan, kata dia, plagiatisme masih dimungkinkan lolos, sehingga sikap disiplin, sadar diri dan bangga terhadap hasil karya sendiri harus diterapkan pada seluruh pihak.

“negara-negara maju, seperti Belanda, telah mengadobsi software khusus untuk mendeteksi plagiatisme, dan plagiatisme ditoleransi maksimal 10 persen, lebih dari itu otomatis karya akan tertolak,”katanya.

Penerapan sanksi, tambah dia, sebenarnya sudah cukup ampuh untuk mencegah plagiatisme, misalnya sanksi yang diberikan kepada dosen atau pengajar yang melakukan plagiatisme, tentunya tergantung kadar plagiatisme yang dilakukan.
“sanksi bagi plagiator sebenarnya sudah ada dalam undang-undang, namun pelaksanaannya masih lemah sekali, kalau tidak ada pengaduan tidak akan diurus,”terangnya serius. (aj/rie)
(GEMA EDISI : 46 , Maret-April 2010)

Analisis kasus

Bila diusut ulang maka hak milik benda tersebut bermula dari kepemilikan buku dan bukan kepemilikan karya. Hal inilah yang dalam pasal 542 KUHPer disebut dengan bezit atau penguasaan benda. Dan dari penguasaan benda tersebut, pada pasal 548 menyatakan bahwa dengan itikad baik, bezit memberi hak pada pemegang barang yang berupa :
untuk dianggap sebagai pemilik barang untuk sementara, sampai saat barang itu dituntut kembali di muka Hakim;
untuk dapat memperoleh hak milik atas barang itu karena lewat waktu;
untuk menikmati segala hasilnya sampai saat barang itu dituntut kembali di muka hakim
 untuk mempertahankan besitnya bila ia digangu dalam memegangnya, atau dipulihkan kembali besitnya bila ía kehilangan besitnya itu.

Dalam kasus ini bezit atau penguasaan benda diberikan kepada pembeli atas benda yang dibelinya, yang dalam hal ini berupa buku. Tetapi tidak dengan isi buku tersebut yang merupakan hak milik pengarang atau disebut juga dengan hak cipta.

Berkaitan dengan penguasaan benda tersebut, pada pasal 557 KUHPer disebutkan “Tuntutan untuk mempertahankan besit dapat diajukan terhadap orang-orang yang mengganggu pemegang besit dalam memegang besit itu, bahkan terhadap pemilik barang itu, tetapi tanpa mengurangi hak pemilik itu untuk mengajukan tuntutan berdasarkan hak miliknya.

Bila besit itu diperoleh dari pinjam pakai, dengan pencurian atau kekerasan, maka pemegang besit tidak bisa mengajukan tuntutan untuk dipertahankan dalam besitnya terhadap orang dari siapa besit itu diperolehnya atau dari orang dari siapa besit itu diambil.”

Pada pembahasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa karya atau ide yang tertulis pada buku tersebut secara otomatis penguasaannya mengikuti penguasaan terhadap bendanya. Tetapi kepemilikannya tidak mengikuti penguasaan tersebut.

Pada pasal 570 dikemukakan tentang definisi hak milik dan batasan-batasannya. Yang mana hak milik adalah “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”

Pada pasal 572 KUHPer dinyatakan bahwa hak milik harus dianggap bebas. Sehingga pemilik dapat menggunakannya dengan bebas dan dengan kekuasaan seluas-luasnya dengan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dan batasan-batasannya.

Maka, barang siapa menyatakan mempunyai hak kepemilikan atas barang orang lain, harus membuktikan hak itu.

Kepemilikan atas duplikat ide tersebut yang berupa buku atau sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang lain dengan berupa benda, merupakan kepemilikan pembeli yang menjadi pemilik sah buku yang diperolehnya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Maka ia dapat menggunakan buku tersebut secara maksimal, sesuai dengan ketentuan hukum. Tetapi kepemilikan isi buku tersebut adalah milik pengarang yang mana ia melahirkan atau memunculkan idenya yang berupa tulisan tersebut.

Mengenai penduplikatan isi buku atau ide tersebut, dengan berdasarkan pada perjanjian antara penulis dengan pihak penerbit buku, maka hak publikasi atau membuat salinan isi buku tersebut menjadi hak milik perusahaan penerbit. Maka bila ada pihak lain yang bermaksud menggandakan isi buku tersebut harus mendapatkan ijin dari pihak pemegang lisensi penggandaan buku atau suatu karya tersebut.

Cara-cara bagaimana perolehan hak milik, diatur dalam pasal 548 KUHPer ini. Dalam pasal 3 ayat (1) UU nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak. Maka hak cipta dapat dimiliki dan dialihkan sebagaimana hak milik. Pada dasarnya tulisan merupakan benda yang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik. Hal ini terdapat dalam pasal 612 KUHPer. Yang dengan jelas bahwa penyerahan tulisan tersebut kepada orang lain atau ditulis ulang dalam bentuk lain harus mencantumkan nama pemilik tulisan, yang dengan kata lain harus mencantumkan nama penulis atau pengarang karya tulis tersebut.

Pada pasal 2 ayat (1) UUHC, diterangkan tentang definisi hak cipta secara khusus yang isinya bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang mana pengalihan hak cipta, dalam hal penggandaan suatu karya tulis atau kekayaan intelektual lainnya, dapat dilakukan dengan pemberian lisensi atau perijinan kepada suatu pihak tertentu yang hal ini diatur dalam suatu kesepakatan antara pihak pemegang hak milik dengan pihak lain yang akan menerima pengalihan hak cipta tersebut.

Maka jelaslah bahwa penggandaan atau duplikasi menjadi wewenang pihak penerima hak cipta. Dan barang siapa yang hendak menggandakan seluruh atau sebagian dari karya yang hak ciptanya dalam penguasaan suatu pihak tertentu, maka harus mendapatkan izin dari pihak pemegang lisensi hak cipta tersebut.

Pada pasal 3 ayat (2) UUHC, dijelaskan mengenai macam-macam cara pengalihan hak cipta. Dan salah satunya sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu dengan suatu perikatan atau perjanjian.

Pada pasal 12 dijabarkan tentang macam-macam hak cipta yang dilindungi oleh hukum dan ketentuan-ketentuannya. Dan isi pasal tersebut adalah :

Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu  pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
arsitektur;
peta;
seni batik;
fotografi;
sinematografi;
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

2)      Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

3)      Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Dengan berdasarkan pada pasal 612 KUHPer, maka penggandaan barang tanpa mencantumkan nama pemilik adalah suatu tindak pelanggaran terhadap hak cipta.

Tetapi dalam UUHC pasal 15, pemerintah Indonesia membuat suatu pengecualian terhadap tindakan ini. Dan isi dari pasal tersebut adalah :

“Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a.       penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b.      pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c.       pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
            (i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
            (ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d.      Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e.       Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;.





BAB
IV
Hukum Perikatan

Definisi hukum perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
            Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.


Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :

”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
A. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
            Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.

B. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
C. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).


Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
· Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.


Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.


2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.


3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.


Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :

Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.




ANALISIS HUKUM PERIKATAN
A. Kronologi Kasus

PT Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung masalah dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura.  Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional.  Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak.  Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan.  Ini yang membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu. Dengan dasar hasil itu, pada Agustus 2008 Batavia mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan.
Padahal di sisi lain, Batavia memiliki hutang perawatan pesawat milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian pesawat, padahal pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Tapi tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008.
Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, a khirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.

Analisis Kasus
Perseteruan yang terjadi antara PT Metro Batavia, milik perusahaan ternama di bidang pesawat dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
Pihak Batavia telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan pesawat, padahal pesawat sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh GMF.
Pembayaran hutang perawatan oleh pihak Batavia yang melampaui tempo ayng diperjanjikan.
Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai pengertian perjanjian yang sesuai dengan Pasal 1313 B.W, yang berbunyi : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lani atau lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini menurut pakar hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam ketentuan di atas tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak. Asas-asas tersebut antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
b. Asas Pacta Sunt Servanda
c. Asas Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi terciptanya kepastian hukum.
Ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu tuntutan kesusilaan dan memanglah benar bahwa kalau orang ingi dihormati sebagai manusia, ia harus dapat dipegang perkataannyam namun hukum yang harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya Kepastian Hukum.  
Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas universil, dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1):Semua perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut. Semua persetujuan yang dibuta menurut hukum atau secara sah adalah mengikat, maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juag akan tersimpul bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan dalam Pasal 1320 B.W : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjectif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat yang terakhir disebutkan syarat objectif, karena mengenai objek dari perjanjian akan tetapi dalam analisis ini terfokus pada subjek perjanjian.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum GMF, Sugeng Riyono S.H, “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF.” I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tidak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai Pasal 1338 B.W yang berbunyi : Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan i;tikad baik. Maka, sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pelaksanaan tersebut.
Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan Batavia merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitor, dalam hal:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian Batavia terhadap GMF menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan dibuat oleh GMF. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti dalam Pasal 1243 B.W yaitu:
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut terjadi karena:
a. Kesengajaan
b. Kelalaian
c. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi. Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa : Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ai berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan gtelah ditentukan. Bahwasanya peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.
Disebutkan dalam poin ketiga adala pihak Batavia telah mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian pesawat sehari setelah pesawat selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh GMF menjadi terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari Batavia. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W :Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara keduanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak dapat dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya si debitor dinyatakan lalai oleh kreditor (ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor (pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Dalam hal ketentuan di atas maka Batavia dikenakan beberapa pasal, antara lain:
Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini.
Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dialahirkannya, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dialakukan olehnya.
 Pasal 1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya, sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlh uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu.
Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar disebabkan terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan undang-undang, denga tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus. Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materiil yakni berupa penyitaan tujuh pesawat milik Batavia sendiri, bukan lea asing, yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana Batavia yang tidak merespon baik ketika pihak GMF datang menemui Batavia di kantornya untuk menagih utang Batavia yang tersendat menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik Batavia-GMF mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan “obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh pihak lawan.





BAB
V
Hukum Perjanjian

A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.   Perjanjian adalah sumber perikatan.

A.1.     Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

A.2.  Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
            Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif,karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.


A.3.    Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
Tidak melaksanakan isi perjanjian.
Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

A.4.    Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.   Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.  Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.   Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d.   Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
e.   Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f.   Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.   Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.   Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.    Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.

B.       STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
Judul/Kepala
Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penutup dari Perjanjian.

C.        BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
Lisan
Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
Di bawah tangan/onderhands
Otentik
ANALISIS KASUS HUKUM PERJANJIAN

Lion Air: Sanksinya Bisa Berlapis bagi Pilot Hisab Sabu
Direktur Umum Lion Air Edward Sirait saat dikonfirmasi terkait penangkapan pilot yang terbukti menghisap sabu mengaku prihatin.
Ia menyebut pihak manajemen akan mengambil langkah tegas bagi yang bersangkutan sesuai dengan apa yang diperbuat. “Tidak ada toleransi untuk masalah yang menyangkut keselamatan penumpang, dan ini jelas-jelas melanggar banyak aturan, sanksinya bisa berlapis,” ujar Edward saat dihubungi, Sabtu (4/2/2012) malam.
Ia prihatin peristiwa tertangkapnya pilot Lion karena masalah narkoba harus terulang kembali. Menurutnya selama ini sudah banyak contoh negatif yang terjadi karena penyelahgunaan narkoba, termasuk pemecatan pegawai Lion karena kasus narkoba, tapi tetap saja ada yang melakukan.
“Kami tentunya tidak mungkin mengawasi satu per satu pegawai selam 24 jam, tapi ke depan kami akan mencari langkah antisipasi lagi yang lebih ketat,” ujar Edward.
Lebih lanjut Edward menjelaskan, jika selama ini semua pegawai Lion sudah untuk tidak melanggar aturan hukum yang berlaku.Selain sudah diatur dalam perundangan, urusan penyelahgunaan narkoba termasuk mengonsumsi, memiliki atau bahkan mengedarkan narkoba sudah diatur dalam pedoman awak pesawat.Penerapa aturan itu kembali ditegaskan dan diulang dalam perjanjian bersAma.
ANALISI KASUS
Sebagai langkah antisipatif pihak manajemen juga melakukan pemeriksaan sampling urine secara berkala. Pihak manajemen juga sudah bertindak tegas pada pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran termasuk penyalahgunaan narkoba.
Edward berjanji akan lebih mengintensifkan pengawasan pada pegawai dan awak pesawat. Pengawasan bukan hanya berlaku ketat di Jakarta, tapi juga akan diberlakukan lebih ketat di daerah-daerah.
Pihak Lion juga merangkul keluarga pegawai untuk bersama-sama menghindari pengaruh penyalahgunaan narkoba.Melalui kedekatan dengan keluarga diharapkan pihak manajemen dan keluraga bisa sama-sama memberi informasi, sehingga jika ditemui indikasi awal bisa segera ditindaklanjuti.


oleh: Meilani Sasmita (29211520)
         Purwaningsih     (25211612)