28/04/15

Pengungkapan Cash Value Added and Economic Value Added



Pasar modal merupakan tempat dimana berbagai instrumen keuangan diperjualbelikan. Pasar modal berperan besar dalam menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan suatu negara, termasuk di Indonesia. Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal telah menggariskan bahwa pasar modal mempunyai posisi strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Pasar modal menjadi sarana pendanaan bagi perusahaan maupun istutusi pemerintah, sekalaigus sarana bagi masryarakat untuk melakukan kegiatan investasi. Pemilik dana atau investor banyak yang tertarik untuk berinvestasi di pasar modal karena ingin mendapatkan keuntungan dari tabungan maupun deposito. Namun keuntungan yang lebi besar ini sejalan denga resiko yang dihadapi. Investasi dipasar modal tidak dijamin oleh pemerintah, sehingga suatu waktu investro dapat merugi karena investasinya tidak bernilai sama sekali. Tabungan, deposito, dan bentuk investasi bebas risiko lainnya, meskipun bunga nya kecil, cukup aman karena dijamin pemerintah melalui lembaga penjamin simpanan (LPS). Semakin besar risiko investasi, semakin besar pula potensi keuntungan. Karena itu, meskipun instrumen keuangan di pasar modal menjanjikan keuntungan yang lebih besar, investor perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan perusahaan tempat dia akan berinvestasi.
Salah satu instrumen keuangan yang aktif diperjualbelikan di pasar modal adalah saham. Saham merupakan bukti kepemilikan atau penyertaan modal seseorang dalam suatu perusahaan. Bentuk saham adalah selembat kertas yang menyatakan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat tersebut. Pemegang saham ini berhak atas keuntungan yang diperoleh perusahaan. Karena itu, salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan investor dalam memilih saham perusahaan untuk berinvestasi atau untuk mempertahankan saham yang dimiliki adalah dengan melihat stock return atau tingkat pengembalian ssaham perusahaan. Return atau tingkat pengembalian saham merupakan manfaat atau keuntungan yang diterima investor atas investasinya dalam perusahaan. Karena dihitung berdasarkan harga saham perusahaan yang seringkali naik turun, nilai return tidak pasti setiap tahunnya, tergantung kinerja perusahaan. Adanya ketidakpastian ini kemudian mendorong investor menggunakan berbagai cara atau metode untuk memilih saham perusahaan yang tepat untuk meminimalkan risiko investasi. Untuk memutuskan memilih atau mempertahankan investasinya di suatu perusahaan, investor akan menilai kinerja perusahaan tempatnya berinvestasi menggunakan berbagai metode. Penilain kinerja ini dilakukan atau dihitung berdasarkan nilai-nilai yang tercantum pada laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Kinerja perusahaan ini merupakan gambaran atau indikator yang menunjukkan kelayakan sebuah saham dipilih sebagai instrumen investasi. Saham perusahaan dianggap layak harga atau return saham perusahaan tersebut. Idealnya, kinerja perusahaan berbanding lurus dengan kesejahteraan pemegang sahamnya. Oleh karena tujuan utama investor adalah memaksimalkan return, maka dibutuhkan suatu pengukuran kinerja berhubungan dengan return, yang menggambarkan kesahteraan pemegang saham.
Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam pengukuran kinerja keuangan tradisional, dikembangkanlah suatu pemikiran atau konsep pengukuran berdasarkan nilai yang dikatakan mampu menjelaskan kinerja saham perusahaan secara lebih akurat, yakni pengkuran kinerja keuangan berdasarkan nilai (value based) yang dikenal dengan value based management (VBM) memasukkan biaya modal dalam perhitungannya. Dengan memasukkan biaya modal (cost of capital) perusahaan dalam perhitungannya, VBM dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi potensi penciptaan nilai (value-creating) dari perusahaan. VBM pada dasarnya menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham. Jika laba yang diperoleh lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan, sehingga dasar perhitungannya adalah mengurangkan laba dengan biaya modal. Value based measurement (VBM) merupakan metode pengukuran kinerja berdasarkan nilai yang dikembangkan para peneliti untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari pengukuran tradisional. Metode ini memasukkan biaya modal dalam perhitunganya, sehingga dapat digunakan untuk menghitung pertambahan nilai perusahaan. Konsepnya adalah nilai (value ) dapat tercipta jika perusahaan yang menginvestasikan modalnya dapat memperoleh return melebihi cost of capital. Value based ini sebenarnya bukan merupakan konsep baru. Konsep ini merupakan pengembangan dari residual income, yaitu selisih antara pendapatan yang diperoleh dengan biaya kapital yang dikeluarkan, VBM pada dasarnya merupakan pendekatan manajemen untuk menjalankan tujuan perusahaan memaksimalkan nilai pemegang saham dengan menghasilkan pengembalian return yang lebih besar dari biaya modalnya.
Kelebihan dari penggunaan metode value based dibandingkan pengukuran akuntansi tradisional antara lain adalah menghitung laba relatif terhadap modalnya, melakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh distorsi yang berasal dari inflasi dan standar akuntansi, seta memasukkan unsur risiko bisnis dalam perhitungan, dengan memasukkan biaya modal (cost of capital) perusahaan dalam perhitungannya, VBM dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi potensi penciptaan nilai dari perusahaan. Karena VBM pada dasarnya menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham jika laba yang diperoleh lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan, maka dasar perhitungannya adalah mengurangkan laba dengan modal. Jika pengembalian yang dihasilkan perusahaan melebihi biaya modalnya maka perusahaan tersebut memiliki pengembalian positifdan karena itu meningkatkan nilai pemegang saham. Value (nilai) dari suatu perusahaan merupakan fungsi dari investasi, aliran kas, umur ekonomi aset, dan biaya kapiral, sehingga pengukuran nilai perusahaan yang baik adalah mencakup keempat variabel tersebut, terdapat empat pengukuran utama dalam VBM, yakni economic value added (EVA), cash value added (CVA), cash flow return on investment (CFROI), dan shareholder value analysis (SVA). Dan metode yang paling umum digunakan adalah EVA dan CVA.
Economic value Added (EVA) diperkenalkan pertama kali oleh Stren Steward management Service sebuah konsultan di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. EVA dipakai sebagai alat untuk menilai kinerja suatu pusat investasi. EVA merupakan pembaharuan dari economic profit atau residual income yang diperkenalkan lebih dari dua abad yang lalu. EVA tidak hanya digunakan sebagai ukuran dari kinerja perusahaan dan sebagai dasar pemikiran sistem bonus, tetapi juga merupakan indikator dari nilai yang diciptakan (value created) atau dihancurkan (value destroyed) dari pemegang saham. Jika pasar total dari perusahaan melebihi dari modal yang diinvestasikan maka perusahaan telah menciptakan nilai bagi pemegang saham, sebaliknya jika nilai pasar total dari perusahaan lebih rendah dari modal yang diinvestasikan maka perusahaan telah mengalami penghancuran nilai dari pemegang saham. Konsep EVA memiliki prinsip bahwa keberhasilan manajemen diukur berdasarkan nilai tambah ekonomis yang diciptakan selama periode tertentu. Dengan identifikasi aktivitas value added dan nonvalue added maka manajemen berupaya menambah aktivitas yang value added dan mengurangi/menghilangkan aktivitas nonvalue added.  Dalam menghitung EVA, dilakukan beberapa penyesuaian untuk menghilangkan distorsi akuntansi yang terkandung dalam laporan keuangan. Penyesuaian ini dilakukan terhadap NOPAT dan total kapital perusahaan dan disebut degan ekuivalen ekuitas. Penyesuaian terhadap nilai buku tersebut membuat nilai buku kapital berubah menjadi nilai kapital yang sebenarnya dimiliki perusahaan dan NOPAT menjadi lebih akurat dalam merefleksikan aliran kas yang dihasilkan dari operasi perusahaan.
Beberapa ekuivalen ekuitas yang dapat dilakukan antara lain:
1)             Deffered income tax reserve
Merupakan kumulatif perbedaan pajak yang dicatat secara akuntansi dengan pajak yang telah dibayarkan. Dengan menambahkan peningkatan defrred taxex ke dalam lab, maka NOPAT hanya akan terbebani oleh pajak yang benar-benar dibayar.
2)             LIFO resereve
Merupakan perbedaan nilai antara perhitungan persediaan dengan metode FIFO dan Lifo. LIFO resereve menunjukkan seberapa besar penurunan nilai persediaan karena menggunakan metode FIFO. Penambahan LIFO resereve pada kapital akan merubah penilaian persediaan dari metode LIFO menjadi FIFO, sehingga lebih mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
3)             Akumulasi amortisasi goodwill
Dengan menambahkan akumalasi amortisasi goodwill ke dalam kapiral dan menambahkan amortisasi per periode ke dalam NOPAT, maka aliran kas yang sebenarnya akan terefleksikan.
4)             Unrecorded goodwill
Bilai akuisisi dilakukan dengan moetode pooling of interst maka goodwill tidak akan tercatat. Karena nilai akuisisi yang sebenarnya tidak dicatat, maka tingkat pengembalian akan overstated. Unuk itu, goodwill yang tidak tercatat ini ditambahkan ke dalam kapital.
5)             Intangible
Nilai kapitalisasi dari intangible assets ditambahkan ke dalam total kapital, sedangkan perubahan setiap periodenya ditambahkan ke dalam NOPAT.
6)             Successful efforts to full cost
Perusahaan yang menggunakan metode pencatatan successful effort akan menghasilkan perhitungan tingkat pengembalian yang overstated. Karena itu, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengubah metode pencatatan menjadi metode full cost.
7)             Equity equipment reserve lainnya
Untuk mendekatkan kepada aliran kas yang sebenarnya, masih banyak penyesuaian lain yang dapat dilakukan. Contohnya, bad debt reserve, inventory obsolesce, warranties, deferred income reserve. Bila hal tersebut merupakan bagian dari operasional perusahaan, maka reserve tersebut merupakan ekuivalen ekuitas. Namun jika tidak terjadi secara periodik, maka tidak perlu dilakukan penyesuaian.
           
Namun metode EVA ini memiliki kelemahan, yakni sulitnya memilih ekuivalen ekuitas. Setiap industri membutuhkan penyesuaian yang berbeda-beda, tergantung sifat industrinya. Penyesuaian ini juga membuat perhitungan EVA menjadi kompleks dan rumit. EVA juga tidak dapat dipakai dalam semua industri. EVA baik diterapkan untuk perusahaan sektor jasa dan manufaktur, namun kurang cocok untuk institusi finansial dan perusahaan yang baru berdiri. Kelemahan lainnya adalah kesulitan dalam mengestimasi biaya kapital.
Metode cash value added (CVA) merupakan jenis lain pengukuran kinerja berdasarkan nilai yang dikembangkan oleh Boston Consulting Group. Metode CVA memilki konsep yang mirip dengan EVA. Perbedaan dari keduanya adalah CVA menggunakan aliran kas dari operasi sebagai dasar perhitungan laba perusahaan. CVA memiliki semua manfaat dari EVA dan mencoba memperbaikinya dengan memilih menggunakan cash flow daripada net income atau profit, karena net income mengandung distorsi akibat penggunaan prinsip akuntansi. Selain itu, CVA menambahkan depresiasi dan akrual ke NOPAT dalam menghitung aliran kas dari operasi yang termasuk dalam CVA. Dengan ditambahkannya depresiasi kembali, maka pengukuran ini tidak terpengaruh oleh kebijakan depresiasi perusahaan.Aliran kas dari operasi , yang dijadikan sebagi dasar perhitunga laba pada metode CVA, merupakan jumlah uang yang benar-benar diperoleh perusahaan dari aktivitas operasi perusahaan. Dengan hanya melihat pada aliran kas yang benar-benar terjadi, maka distori akuntansi dapat dihilangkan. Depresiasi ekonomis adalah jumlah yang harus disisihkan setiap tahunnya selama umur ekonomis dari aset, dimana jumlah seluruh penyisihan pada akhir umur ekonomis sama dengan nilai aset tersebut. Depresiasi ekonomis disini bukan berarti perusahaan harus menyisihkan sejumlah uangnya untuk mengganti asetnya dimasa mendatang, melainkan semacam benchmark dari operasi perusahaan pada periode tersebut.
Secara umum, nilai CVA yang tinggi menguntungkan bagi perusahaan dan investor karena hal tersebut menggambarkan kemampuan perusahaan untuk mengahasikan kas dari satu periode ke periode berikutnta, dengan menciptakan keuntungan yang likuid. Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan konsep CVA dibandingkan dengan EVA adalah:
1)             CVA mengontrol depresiasi, maka dengan menggunakan CVA dapat fokus pada apa yang menjadi alat dalam menciptakan profitabilitas.
2)             CVA dapat mengeliminasi distorsi akuntansi yang masih mungkin timbul dengan menggunakan EVA karena merefleksikan keuntungan yang benar-benar diperoleh perusahaan dalam bentuk uang.
3)             Investor biasanya lebih tertarik dengan cashflow dibandingkan dengan income.
Keunggulan CVA lainnya adalah:
4)             Dibandingkan EVA, perhitungan CVA lebih sederhana karena tidak memerluakan penyesuaian-penyesuaian seperti ekuivalen ekuitas dalam EVA.
5)             Data-data yang diperlukan dalam perhitungan CVA merupakan data yang terdapat dalam laporan keuangan dan lebih mudah didapatkan.
Kelemahan CVA:
1)             Depresiasi ekonomis dihitung berdasarkan asumsi-asumsi umur ekonomis aset, perkiraan laju inflasi selama umur ekonomis aset, dan tingkat biaya kapita yang tidak berubah selama umur ekonomis tersebut. Perbedaan asumsi-asumsi yang digunakan dalam menghitung depresiasi ekonomis dapat menimbulkan hasil perhitungan yang berbeda pula.
2)             Perbedaan pengkatergorian beban oleh perusahaan juga menyebabkan perbedaan hasil perhitungan. Misalnya, biaya riset dapat dianggap beban dan dapat pula dikapitalisasikan. Jika biaya riset dianggap sebagai beban, maka akan mengurangi nilai CVA, yang berarti nilai kinerja perusahaan menjadi lebih kecil.
3)             Perbedaan perhitungan biaya hutang dan ekuitas dalam menghitung biaya modal akan menghasilkan nilai CVA yang berbeda pula.

Penelitian yang dilakukan oleh Edriaty Natalia Napitupul dengan judul “ Hubungan Price-Earnings Ratio (PER) dan Cash Value Added (CVA) Terhadap Return Saham “ data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2009 dengan pendekatan cross-sectional terdapat titil 155 observasi dengan sampel 68 perusahaan. PER dan CVA merupakan metode pengukuran kinerja keuangan perusahaan. Nilai dari PER dan CVA dihitung menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan dan informasi eksternal seperti harga saham, tingkat inflasi, dan suku bunga SBI. Dalam penelitian ini, PER mewakili pengukuran kinerja tradisional dan CVA mewakili metode pengukuran kinerja berdasarkan nilai, yang merupakan pengembangan dari metode tradisional yang dinilai memiliki banyak kelemahan. Nilai kedua metode perhitungan ini digunakan untuk mengukur baik buruknya kinerja perusahaan. Semakin baik kinerja keuangannya, seharusnya perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan pemegang saham yang tercermin dari peningkatan return saham.
Hasil regersei secara parsial menyimpulkan variabel PER menunjukkan bahwa PER memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan rata-rata return saham mingguan. Hal ini berarti semakin tinggi nilai PER suatu perusahaan, return yang diterima pemegang saham atau investor akan menurun. Hal ini mungkin dikarenakan semakin tinggi PER, dapat disebabkan oleh rendahnya laba per saham, sehingga perusahaan dapat dikatakan kurang mampu meningkatkan kekayaan pemegang saham. PER yang tinggi juga menunjukkan harga saham terlalu mahal sehingga menurunkan minat investor untuk membeli saham perusahaan. Akibatnya, harga saham akan menurun dan return saham juga menjadi rendah dan menurun. Hasil regersi secara parsial menyimpulkan variabel CVA memiliki hubungan positif yang signifikan dengan return saham perusahaan. Artinya, semakin tinggi nilai CVA suatu perusahaan, maka return yang diterima pemegang saham atau investor juga tinggi. Hal ini dikarenakan nilai CVA yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan semakin mampu menghasilkan laba berupa kas yang melebihi biaya modalnya. Karena itu, perusahaan dinilai memiliki kinerja keuangan yang baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan pemegang saham. Hasil pengujian dengan keduan pendekatan membutikan bahwa CVA lebih baik atau lebih unggul dalam menjelaskan return saham jika dibandingkan dengan PER. CVA lebih baik dalam menjelaskan return jika dibandingkan dengan PER.



Daftar Pustaka
D. Venanzi, Financial Performance Measures And Value Creation: The State of Art, SpringerBriefs in Business.
Fernandez, Pablo. 2003. “ Three Residual Income Valuation Methods And Discounted Cash Flow Valuation”.
Gamsakhurdia, Tamar and Keteven Maisuradze. 2014. “The Choice Of Financial Performance Measures As One Of The Most Critical Challenges Facing
Corporation”. European Scientific Journal, Vol. 1.
Hejazi, Rezvan. 2007. “The Information Content Of Cash Value Added  (CVA) and P/E ratio: Evidence on Association with Stock Returns For Industrial Companies in the Tehran Stock Exchange”. Iranian Accounting & Auditing Review, Vol. 14, No. 47.
Irawan, Ronny. 2010. “Pengaruh Economic Value Added Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Manufaktur Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Akuntansi Kontemporer, Vol. 2, No.1.
Liapis, Konstantinos J. 2010. “The Residual Value Models: A Framework for Business Administration”. European Research Studies, Vol. XIII, Issue. 1.
M. Rajesh and N R V Ramana Reddy. 2012. “An Empirical Study On Eva And Mva Approach”. International Journla of marketing, Vol.1, No.3.
Napitupulu, Edriaty Natalia. 2012. “Hubungan Price-Earnings Ratio (PER) Dan Cash Value Added (CVA) Terhadap Return Saham”.  Skripsi Universitas Indonesia.
Ottosson, Erik. 1996. “Cash Value Added- a New Method for Measuring Financial Performance.
Urbanczyk, Edward. 2005. “Economic Value Added Versus Cash Value Added: The Case of Companies in transitional economy, Poland”. International Journal Of Banking and Finance, Vol. 3.


Pengungkapan Good Corporate Governance Terhadap Implementasi IFRS




Era globalisasi yang dialami oleh hampir seluruh negara di dunia, membuat banyak perusahaan bersaing antara satu dengan yang lainnya, begitu juga di Indonesia. Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) diperlukan agar perilaku para pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk. Good Corporate Governance (yang selanjutnya ditulis GCG) adalah salah satu pilar dalam sisitem ekonomi pasar, bahkan dengan menerapkan GCG secara baik diyakini dapat menolong perushaan dan perekonomian negara yang sedang tertimpa krisis untuk bangkit menuju arah yang lebih sehat, perusahaan yang menerapkan GCG juga mampu bersaing mengelola secara dinamis serta profesional. Di Indonesia sendiri, awal dikenalnya Corporate Governance adalah bermula dari usulan penyempurnaan peraturan pencatatan pada Bursa Efek jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) yang mengatur mengenai peraturan bagi emiten yang tercatat di BEJ yang mewajibkan untuk mengangkat komisaris independent dan membentuk komite audit pada tahun 1998, corporate gorvenance (CG) mulai dikenalkan pada seluruh perusahaan publik di Indonesia. Pedoman GCG merupaka panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan, dan mengkomunikasikan praktek GCG kepada pemangku kepentingan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerapan prinsip-prinsip Good Coporate Governance pada masing-masing negara adalah berbagai macam faktor intern dan ekstern perusahaan, yang termasuk faktor intern diantaranya yaitu struktur kepemilikan perusahaan, sedangkan yang termasuk dalam kategori foktor ekstern antara lain adalah budaya lokal, peranan serta kebijakan pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan bisnis serta perkembangan pasar modal pada masing-masing negara. Salah satu prinsip yang ada dalam GCG adalah prinsip transparasi, transparasi bisa diartikan sebagai ketebukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip tranparasi harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan adapt diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. Infromasi perusahaan bukan hanya sekedar visi dan misi melainkan juga strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.
Indonesia sendiri mulai menerapkan prinsip GCG (Good Corporate Governance) sejak menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan IMF pada tahun 1998. Sejak saat itu dibentuklah komite nasional kebijakan corporate Governance (KNKCG) yang memiliki tugas pokok untuk merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang Corporate Governance di Indonesia. KNKCG mulai menerbitkan pedoman GCG pada tahun 2001, pendoman CG bidang perbankan pada tahun 2004 dan pendoman komisaris independen dan pedoman pembentukan komite audit yang efektif. KNKCG berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Good Corporate Governance (GCG) harus memberikan insentif yang tepat bagi manajemen dan dewan guna mencapai tujuan yang menjadi kepentingan perusahaan dan para pemegang saham, serta harus memfasilitasi pengawasan yang efektif. Adanya sistem tata kelola perusahaan yang efektif, dalam sebuah perusahaan individu dan suatu perekonomian secara keseluruhan, membantu menyediakan level kepercayaan yang diperlukan untuk berfungsinya ekonomi pasar. Akibatnya, biaya modal menjadi lebih rendah dan perusahaan didorong untuk menggunakan sumber daya secara lebih efisien, sehingga mendasari pertumbuhan (OECD Principles of Corporate Governance, 2004). Pada tahun 2004, melalui surat keputusan menteri koordinator perekonomian RI No. KEP-49/M.EKON./.II. TAHUN 2004.KNKCG berubah menjadi komite nasional kebijakan governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas sosialisasi governance bukan hanya di sektor korporasi tetapi juga di sektor pelayanan publik. KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang telah diterbitkan pada tahun 2001 agar sesuai dengan perkembangan. Pedoman CG yang diperbaharui KNKG pada tahun 2006 ini masih menjadi pedoman pelaksanan tata kelola perusahaan (CG) di Indonesia sampai saat ini.
Kata governance berasal dari bahasa Perancis “Gubernance” yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut digunakan dalam konteks perusahaan atau organisasi kemudian disebut corporate governance. Istilah corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh cadbury comitte pada tahun 1992 yang didefinisikan seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak yang berkepntingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Forum for corporate governance in indonesia (FCGI, 2001) mendefinisikan corporate governance sebagai “seperangkay peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan utama corporate governance adalag menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dilihat dari beberapa pengertian corporate governance pada uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa corporate governance merupakan aturan “pakem”, sistem dan proses yang mengatur hubungan antara semua pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan baik internal maupun eksternal, baik dari top management hingga karyawan agar terjadi keseimbangan dan iklim kondusif di dalam perusahaan. Corporate governance juga mengendalikan dan mengawasi supaya tidak terjadi ketimpangan dalam pemberian informasi perusahaan terhadap pihak yang memiliki kepentingan.
Komite nasional kebijakan governance (KNKG) pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman good corporate governance (GCG) yang sudah dibuat oleh KNKCG sebelumnya pada tahun 2001. Di dalam pedoman itu terdapat lima prinsip corporate governance, yaitu sebagi berikut:
1)             Transparasi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang materialdan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2)             Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3)             Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi undang-undang dan peraturan serta memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan lingkungan untuk tujuan menjaga keberlanjutan jangka panjang dari bisnis dan untuk diakui sebagai warga perusahaan yang baik.
4)             Independensi (Independency)
Perusahaan harus dikelola secara independen, sehingga tidak ada perusahaan tunggal akan mendominasi yang lain dan tidak ada intervensi dari pihak lain agar pelaksanaan GCG berjalan secara lancar.
5)             Kewajaran dan kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan kesetaraan.

Organization for economic Co-operation and development (OECD) juga mengembangkan lima prinsip Good Corporate Governance (GC), yaitu:
1)             Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham.
2)             Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing dan minoritas.
3)             Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan.
4)             Keterbukaan dan transparasi.
5)             Akuntabilitas dewan komisaris.

Dalam pedoman Good Corporate Governance (GC) penerbit KNKG tahun 2006 menjelaskan bahwa kepengurusan perseroan terbatas di Indonesia menganut sistem dua badan (twoboard system)yaitu dewan komisaris (dewan pengawas) dan dewan direksi (dewan manajemen). Keduanya memiliki kesamaan presepsi terhadap visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai dewan pengawas, anggota dewan komisaris baik secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri berhak memiliki akses untuk memperoleh informasi tentang perusahaan secara tepat waktu dan lengkap. Dalam pedoman GCG 2006 juga disebutkan bahwa dewan komisaris sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan, memberikan nasihat kepada direksi, memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG dan memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan. Dewan komisaris fungsinya mewakili kepentingan para pemegang saham, menyampaikan laporan pertanggung jawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan oleh direksi. Laporan tersebut merupakan bagian dari laporan tahunan sebagai perwujudan akuntabilitas dalam rangka pelaksanaan asas GCG. Jumlah anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan.Dalam undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas juga disebutkan bahwa jumlah minimal anggota dewan komisaris adalah satu orang. Dijelaskan pula dalam pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, organ perseroan adalag rapat umum pemegang saham,. Direksi, dan dewan komisaris. Pengangkatan maupun pemberhentian dewan direksi dan dewan komisari dilakukan melalui rapat umum pemegang saham. Selanjutnya, dewan direksi dan dewan komisaris bertanggung jawab terhadap RUPS. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi dan memberi nasihat kepada dewan direksi.
Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi. FCGI menyatakan bahwa, kriteria komisaris independen di indonesia diambil dari kriteria otoritas bursa efek Australia tentang outside directors, di mana kriteria tersebut menekankan tentang pentingnya independensi dalam dewan komisaris. Dalam pedoman umum Good Corporate Governance indonesia yang dikeluarkan oleh komite nasional kebijakan governance (KNKG) pada tahun 2006, dijelaskan bahwa jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraruran perundang-undangan. Salah satu dari komisaris independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. Semakin besar jumlah komisaris independen dalam suatu perusahaan maka pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen akan semakin berkualitas dan akan meningkatkan transparasi dalam pelaporan keuangan.
FCGI mengungkapkan bahwa, agar dapat menjalankan fungsinya di tengah lingkungan bisnis yang kompleks dengan baik, dewan komisaris perlu membentuk komite-komite yang membantunya menjalankan tugas, salah satunya adalah komite audit. Komite audit dipandang sebagai suatu komite dalam perusahaan yang bertugas untuk mengawasi kinerja manajemen untuk menghindari terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan yang mungkin akan merugikan stakeholders. Berdasarkan peraturan keputusan ketua Bapepam Nomor: Kep-29/PM/2004 disebutkan bahwa komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. Anggota komite audit bertanggung jawab untuk memantau kepatuhan perusahaan dengan persyaratan pengungkapan wajib. Komite audit bertugas memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.
Komite audit selain bertugas dalam melakukan pengawasan kinerja manajemen juga berperan penting sebagai penghubung antara pemegang saham dengan dewan komisaris untuk menghindari masalah pengendalian internal perusahaan. Dalam pedoman umum Good Corporat Governance Indonesia yang dikeluarkan oleh KNKG tahun 2006, disebutkan bahwa komite audit bertuga membantu dewan komisaris untuk memastikan:
a.              Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
b.             Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.
c.              Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku.
d.             Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.

Dalam pedoman umum good corporate governance indonesia yang dikeluarkan oleh KNKG tahun 2006, mengungkapkan bahwa dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG dengan baik. Namun, dewan komisaris tidak diperbolehkan untuk turut berperan dalam pengambilan keputusan operasional. Dalam peraturan menteri negara badan usaha milik negara nomor: Per-01/MBU/2011 disebutkan bahwa, rapat dewan komisaris harus diadakan secara berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam setiap bulan, dan dalam rapat tersebut dewan komisaris dapat mengundang direksi. Besarnya intensitas pertemuan yang diadakan oleh dewan komisaris akan mampu meningkatkan kepatuhan wajib IFRS.
Rapat komite merupakan koordinasi antara anggota-anggotanya agar dapat menjalankan tugas secara efektif dalam hal pengawasan laporan keuangan, pengendalian internal, dan pelaksanaan GCG perusahaan. Rapat komite audit yang sering diadakan diharapkan akan dapat meningkatkan pengungkapan wajib IFRS. Keputusan ketua BAPEPAM Nomor: Kep-29/PM/2004 dalam peraturan nomor IX.1.5 mengenai pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit dijelaskan bahwa, Komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Setiap rapat komite audit dituangkan dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh seluruh anggota komite audit yang hadir.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggita Pritasari tentang “Analisis Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Tingkat kepatuhan Pengungkapan Konvergensi IFRS Pada Laporan Laba Rugi Komprehensif” populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh perusahaan jasa yang terdaftar di BEI yaitu sebanyak 236 perusahaan, sampel yang dipilih dalam penelitian tersebut menggunakan purposive sampling. Jumlah sampel yang diperoleh berdasarkan kriteria yang telah ditentukan yaitu sebanyak 40 perusahaan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jumlah anggota dewan komisaris tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan konvergensi IFRS pada laba rugi komprehensif , dengan alasan karena jumlah anggota dewan komisaris perusahaan sampel rata-rata berjumlah empat sampai lima orang, jumlah tersebut jauh lebih besar dari ketentuan minimal jumlah anggota dewan komisaris yang ditetapkan oleh undang-undang No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas yaitu satu orang. Namun, jumlah anggota dewan komisaris yang besar juga akan sulit dalam mencapai kesepakatan dan membuat keputusan. Hal ini dikarenakan setiap dewan komisaris pasti memiliki pertimbangan tersendiri dalam pengambilan keputusan sehingga akan membutuhkan waktu yang lama, maka akan sulit bagi dewan komisaris untuk mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi yang lebih luas. Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa variabel proposi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan konvergensi IFRS. Alasan mendasar atas hal ini dapat disebabkan karena proporsi komisaris independen perusahaan sampel yang rata-rata sebesar 42,79% belum cukup untuk melaksanakan fungsi pengawasan bersama dewan komisaris. Perusahaan sampel rata-rata memiliki proporsi komisaris independen yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dewan komisaris. Hal ini dapat terjadi karena pemegang saham lebih mempercayakan perusahaan kepada komisaris dari internal perusahaan karena dianggap lebih mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan. Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa variabel jumlah anggota komite audit berpengaruh signifikan, alasan mendasar atas hal ini dapat disebabkan karena jumlah anggota komite audit perusahaan sampel rata-rata telah memenuhi ketentuan minimal tiga orang dan telah mampu untuk memberikan pendapat profesional yang memerlukan perhatian dari dewan komisaris, dalam hal ini komite audit mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah mengungkapkan informasi sesuai dengan persyaratan yang diwajibkan. Hasil pengujian terhadap hipotesis keempat menunjukkan bahwa variabel jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan, alasan tersebut dari hasil penelitian ini dapat disebabkan karena jumlah dewan komisaris perusahaan sampel rata-rata tidak memenuhi persyaratan minimal untuk mengadakan pertemuan sebanyak dua belas kali dalam satu tahun. Hasil pengujian terhadap hipotesis kelima menunjukkan bahwa variabel jumlah rapat komite audit berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapkan konvergensi IFRS, alasan tersebut mendasari untuk hasil penelitian tersebut disebabkan karena jumlah rapat komite audit yang lebih besar dari jumlah rapat dewan komisaris dapat menjadi aktivitas untuk membahas mengenai penyusunan laporan keuangan perusahaan dan dikomunikasikan atau diterapkan dalam langkah nyata pengawasan yang optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Reny dyah Retno M dengan judul “Pengaruh good Corporate Governance Dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan”  menyimpulkan GCG berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan variabel kontrol ukuran perusahaan dan leverge pada perusahaan yang terdaftar di bei 2007-2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa investor bersedia memberikan premiun lebih kepada perusahaan yang memberikan transparasi atas pelaksanaan GCG dalam laporan tahunan mereka. Semakin tinggi tingkat implementasi GCG semakin tinggi nilai perusahaan yang ditunjukkan dengan tingginya harga saham perusahaan. Pada variabel kontrol berupa ukuran perusahaan dan leverage, terbukti memiliki korelasi positif signifikan terhadap GCG. Hal ini dikarenakan perusahaan besar memiliki masalah keagenan lebih besar karena lebih sulit untuk dimonitor, sehingga di perlukan penerapan corporate governance yang baik, perusahaan kecil mempunyai kesempatan bertumbuh yang tinggi, sehingga membutuhkan dana eksternal dan membutuhkan penerapan corporate governance yang baik. Adanya corporate governance yang baik akan meminimalisasi konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan mengenai keputusan pendanaan dan hal-hal yang berhubungan dengan laverafe perusahaan.
Pengungkapan CSR berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan dengan variabel kontrol ukuran perusahaan, jenis industri, profitabilitas, dan leverage pada perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2007-2010 masih rendah dan belum mengikuti standar GRI. Pada variabel kontrol ukuran perusahaan memiliki korelasi signifikan terhadap pengungkapan CSR, semakin besar perusahaan maka pengungkapan CSR yang dibuat juga cenderung semakin luas. Variabel kontrol jenis industri memiliki korelasi signifikan terhadap pengungkapan CSR, dikarenakan luas pengungkapan CSR antar perusahaan dalam industri yang satu dengan idustri lainnya berbeda karena masing-masing industri memiliki karakteristik yang berbeda. Pada variabel kontrol profitabilitas memiliki korelasi signifikan terhadap pengungkapan CSR dikarenakan perolehan laba yang semakin besar membuat perusahaan mengungkapkan informasi sosial yang lebih luas. Pada variabel kontrol laverage, memiliki korelasi signifikan terhadap pengungkapan CSR dikarenakan manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan CSR yang dibuat agar tidak menjadi sorotan debtholders.

Penelitian yang dilakukan oleh Ruth Tria Enjelina Girsang dengan judul “Pelaksanaan Prinsip Transparansi Sebagai Salah Satu Bentuk Prinsip Good Corporate Governance Pada PT. Semen Gresik (Persero) Tbk” menyimpulkan bahwa menurut ketentuan keputusan ketua badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan No: KEP-134/BL/2006 tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi emiten atau perusahaan publik terdapat beberapa hal yang tidak disampaikan PT. Semen Gresik (persero) Tbk. Dalam laporan tahunannya, 1) terdapat perbedaan hasil pendapatan yang disampaikan oleh dewan komisaris dengan bagian produksi, penjualan dan prospek usaha. 2) tidak menyebutkan kepemilikan saham dari keluarga direksi maupun komisari, 3) tidak menyebutkan jenis tindakan korporasi yang menyebabkan perubahan jadwal saham dalam kronologis pencatatan saham, 4) tidak menyebutkan mengenai assesment terhadap anggota dewan komisari/ direksi, 5) tidak menguraikan hasil evaluasi dari manajemen risiko perusahaan hanya menyebutkan sistem yang digunakan saja, 6) tidak menguraikan tentang pengendalian intern, 7) tidak melaporkan mengenai CSR yang terkait dengan tanggung jawab kepada konsumen, 8) kurang menjelaskan tentang penegakan kode etik bagi yang melanggar, 9) tidak menyebutkan bagaimana bentuk penanganan yang akan dilakukan dalam sistem whistleblower, 10) tidak menguraikan mengenai kebijakan akuntansi yang dipilih antara nilai wajar dan model biaya untuk menilai aset tetap PT. Semen Gresik Tbk, dan juga tidak mengungkapkan metode yang digunakan dalam estimasi nilai wajar aset tetap atau pengungkapan nilai wajar aset tetap.
Penelitian yang dilakukan oleh Dian Agustia dengan Judul “ Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba” dengan menggunakan sampel sebanyak 14 perusahaan tekstil yang terdaftar diBEI “ menyimpulkan variabel-variabel Good Corporate Governance (GCG) tidak berpengaruh terhadap praktek manajemen laba. Keberadaan komite audit dan proporsi dewan komisaris di perusahaan publik sampai saat ini masih sekedar untuk memenuhi ketentuan pihak regulator (pemerintah) saja, sehingga besar kecilnya jumlah komite audit dan proporsi dewan komisaris di perusahaan tidak bisa membatasi terjadinya praktik manajemen laba. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan investor institusional tidak berperan sebagai sophisticated investors. Kepemilikan manajerial juga tidak berpegaruh terhadap manajemen laba karena presentase manajer yang memiliki saham relatif sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan modal yang dimiliki investor umum. Variabel free cash flow berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan perusahaan denga arus kas bebas yang tinggi cenderung tidak akan melakukan manajemen laba, karena meskipun tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah bisa meningkatkan harga sahamnya.Laverage ratio berpengaruh terhadap earnings management. Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya akan cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh R. Erdianto Setyo Wahyono dengan judul “ Pengaruh Corporate Governance Pada Praktik Manajemen Laba: Studi Pada Industri Perbankan Indonesia” data penelitian tersebut didapat dari BEI dan Indonesia Capital Market Directory (ICMD) di mana terdapat 31 perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2010. Pembahasan penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hipotesis mekanisme Corporate Governance berpengaruh negatif terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan yang go public ditolak karena penerapan mekanisme corporate governance pada industri perbankan yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2010 masih belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum, terutama mengenai jumlah anggota komite audit independen pada pasal 38 ayat 4 yang menyatakan” Komisaris Indeoenden dan Pihak Independen yang menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling kyrang 51% dari jumlah anggota komite audit. Sedangkan kepemilikan institusional pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2010 cenderung mengalami peningkatan dari kisaran 61%-81% menjadi lebih besar dari 81% sehingga menciptakan kepemilikan yang terkonsentrasi, dimana hal ini dapat mengakibatkan tidak terlindunginya kepemilikan saham minoritas karena dengan adanya kepemilikan terkosentrasi memungkinkan pemilik saham mayoritas untuk mengatur pihak manajemen perusahaan [erbankan sesuai kepentingannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Reny Yustina dengan judul “ Pengaruh Konvergensi IFRS dan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi” dengan menggunakan sampel sebesar 39 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, menyimpulkan bahwa penelitian tersebut terhadap pengujian variabel konvergensi IFRS terhadap tingkat konservatisme akuntansi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat konservatisme akuntansi ini bisa terjadi karena sifat IFRS yang cenderung menganut principle based sehingga memungkinkan adanya interprestasi subjektif dari perusahaan dalam menngimplemantasikan standar tersebut. Hasil pengujian variabel proporsi komisaris independen terhadap tingkat konservatisme akuntansi menunjukkan bahwa variabel tidak berpengaruh secara signifikan, hasil tersebut dilatar belakangi oleh adanya perusahaan yang belum mematuhi peraturan BAPEPAM yang mensyaratkan proporsi komisaris independen dalam perusahaan sekurang-kurangnya 30% dari jumlah keseluruhan dewan komisaris yang ada. Rendahnya proporsi tersebut menyebabkan proporsi komisaris independen memiliki pengaruh yang lemah terhadap fungsi monitoring dan tingkat konservatisme itu sendiri. Hasil pengujian variabel laverage terhadap tingkat konservatisme akuntansi menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh secara signifikan dengan arah koefisien positif terhadap tingkat konservatisme akuntansi perusahaan, hal tersebut didasari konflik yang akan muncul antara pemegang saham dan pemegang obligasi, yaitu bahwa tingkat leverage tinggi pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan kontraktual terhadap akuntansi yang konservatis.



Daftar Pustaka
Agustina, Cintia Heko. 2014. “Pengaruh Kompetisi, Corporate Governance, Struktur Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Risiko”. Skripsi Universitas Diponegoro.
Agustia, Dian. 2013. “Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow, Dan Leverage Terhadap Manajemen Laba”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.14, No.1. Universitas Airlangga.
Fitriani, Sonia. 2014. “Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Konservatisme Akuntansi”. Skripsi Universitas Dian Nuswantoro.
Girsang, Ruth Tria Enjelina. 2013. “Pelaksanaan Prinsip Transparansi Sebagai Salah Satu Bentuk Prinsip Good Corporate Governance Pada PT. Semen Gresik Tbk”. Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya.
Nirbhita, Nandana Antya. 2014. “Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Corporate Governance Disclosure” Skripsi Universitas Diponegoro.
Pitasari, Anggita dan Aditya Septiani. 2014. “Analisis Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Tingkat Kepatuhan Pengungkapan Konvergensi IFRS Pada Laporan Laba Rugi Komprehensif”. Diponegoro Journal Of Accounting, Vol.03, No. 02.
Retno M, Reny Dyah dan Denies Priantinah. 2012. “Pengaruh Good Corporate Governance Dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan”. Jurnal Nominal, Vol.1, No.1.
Sari, Maylia Pramono. 2012. “Peran Audit Internal Dalam Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance (GCG) Pada Badan Layanan Umum (BLU) Di Indonesia”. Universitas Negeri Semarang.
Tohir, Rusli. 2013. “Pengaruh Struktur Corporate Governance Pada Kualitas Laba Dengan Intellectual Capital Disclosure Sebagai Variabel Intervening”. Skripsi Universitas Diponegoro.

Wahyono, R. Erdianto Setyo. 2013. “Pengaruh Corporate Governance Pada praktik Manajemen Laba: Studi Pada Industri Perbankan Indonesia”. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Vol. 1, No. 2.
Yustina, Reny. 2012.”Pengaruh Konvergensi IFRS Dan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi”.