13/06/15

IMPLEMENTASI IFRS TERHADAP PERUBAHAN PSAK

Di dalam akuntansi dikenal adanya standar yang harus dipatuhi dalam penyusunan dan  penyajian laporan keuangan. Standar tersebut diperlukan karena banyaknya pengguna laporan keuangan. Dengan perubahan standar akuntansi di Indonesia dari tahun 1994 sampai sekarang membuat banyak perubahan yang terjadi pada standar akuntansi keuangan di Indonesia dari tahun 1994-2012. Pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) adalah standar yang digunakan untuk pelaporan keuangan di Indonesia. PSAK digunakan sebagai pedoman akuntan untuk membuat laporan keuanganm, maupun sebagai dasar untuk menyatakan kewajaran suatu laporan keuangan oleh auditor. Laporan keuangan merupakan salah satu media utama yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangannya kepada pihak luar. Laporan ini juga mereka peristiwa kejadian bisnis. Ikatan akuntan Indonesia menyatakan laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercaya kepada mereka. PSAK No.1 menyatakan bahwa laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas entitas secara wajar. Perusahaan dengan menerapkan PSAK secara benar, disertai pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam Catatan Atas Laporan keuangan. Pernyataan ini menetapkan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan bertujuan yang selanjutnya disebut’ laporan keuangan’ agar dapat dibandingkan laporan keuangan periode sebelumnya. Pernyataan ini mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimum isi laporan keuangan. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar walaupun pengungkapan tersebt tidak diharuskan oleh PSAK.
Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan bahwa laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan juga menunjukan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dengan semakin meningkatnya arus investasi global, maka daya informasi dari laporan keuangan termasuk perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu ditingkatkan. Hal tersebut meningkatkan kebutuhan akan suatu standar akuntansi keuangan yang digunakan secara internasional mengingat akuntansi yang merupakan penyedia informasi bagi pengambilan keputusan yang bersifat ekonomi juga dipengaruh oleh lingkungan bisnis yang terus menerus berubah tersebut. Dengan adanya standar akuntansi yang digunakan secara internasional, maka dapat memudahkan pemahaman dan meingkatkan daya informasi dari laporan keuangan bagi para pengguna global. Untuk menjawab kondisi tersebut, indonesia ikut serta melakukan konvergensi IFRS, sesuai dengan salah satu kesepakatan pemerintah indonesia sebagai anggota G20 forum dalam pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC, 15 November 2008. Konvergensi IFRS dilakukan dengan merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011-2012. Setelah 2012, standar IFRS akan menjadi target perpindahan dimana perubahan standar akuntansi Indonesia akan dinamis mengikuti perubahan yang dilakukan oleh IASB.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Any Eliza dengan judul “ Tinjauan atas PSAK No. 1 (Revisi 2009) Penyajian Laporan Keuangan dan Perbedaannya dengan PSAK No. 1 (Revisi 1998) dengan menggunakan tinjauan konseptual yang merupakan studi literatur. Sumber penulisan berasal dari SAK terkait, buku akuntansi keuangan berbasis IFRS, serta materi dari beberapa TOT tentang Standar Akuntansi di Indonesia. Sebagai bentuk implemtasi dari konvergensi IFRS, dewan standar akuntansi keuangan (DSAK) telah mensahkan PSAK No. 1 (revisi 2009) tentang penyajian lapora keuangan pada tanggal 15 desember 2009. PSAK No. 1 (revisi 2009): penyajian Laporan keuangan merupakan PSAK diadopsi seluruhnya dari IAS: Presentation of Financial Statements per 1 Januari 2009. PSAK No. 1 (revisi 2009) diterapkan oleh entitas untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 januari 2011. PSAK ini salah satunya menggantikan PSAK No. 1( revisi 1998): penyajian laporan keuangan. Terdapat beberapa perbedaan dalam PSAK No. 1 (revisi 2009): penyajian laporan keuangan. Beberapa perbedaan adalah sebagai berikut:pertama, terdapat perbedaan beberapa istilah yang digunakan dalam PSAK No. 1 (revisi 2009): penyajian laporan keuangan. Beberapa istilah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Istilah “kewajiban” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirubah menjadi “liabilitas” pada PSAK No. 1 (revisi 2009).
2.      Istilah “aktiva” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirubah menjadi “aset” pada PSAK No. 1 (revisi 2009).
3.      Istilah “neraca” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirbah menjadi “laporan posisi keuangan” pada PSAK No. 1(revisi 2009).
4.      Isitilah “hak minoritas” pada PSAK No. 1 (revisi 1998) dirubah menjadi “kepentingan nonpengendali” pada PSAK No. 1 (revisi 2009).

Selain adanya perubahan istilah pada PSAK No. 1 (revisi 2009) par. 07 juga dicantumkan beberapa istilah yang sebelumnya diungkapkan dalam PSAK No. 1 (revisi 1998). Beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Catatan atas laporan keuangan.
2.      Laba atau rugi.
3.      Laporan keuangan bertujuan Umum.
4.      Material
5.      Pemilik
6.      Pendapatan komprehensif lain
7.      Penyesuaian reklasifikasi
8.      Standar akuntansi keuangan
9.      Tidak praktis
10.  Total laba rugi komprehensif
Kedua, perbedaan mencakup komponen laporan keuangan lengkap. Menurut PSAK No, 1 (revisi 2009) par. 10, laporan keuangan yang lengkap terdiri dari:
1.        Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode.
2.        Laporan laba rugi komprehensif selama periode.
3.        Laporan perubahan ekuitas selama periode.
4.        Laporan arus kas selama periode.
5.        Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain dan
6.        Laporan posisi keuangan awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasikan pos-pos dalam laporan keuangannya.

Sementara komponen laporan keuangan lengkap menurut PSAK No. 1 (revisi 1998) mencakup:
1.        Neraca
2.        Laporan laba rugi
3.        Laporan perubahan ekuitas
4.        Laporan arus kas
5.        Catatan atas laporan keuangan

Perbedaan signifikan dari komponen laporan keuangan lengkap menurut kedua PSAK adalah sebagai berikut:
1.        PSAK No. 1(revisi 2009) mewajibkan entitas untuk menyusun laporan laba rugi komprehensif, yang terdiri dari informasi laba rugi yang biasa dilaporkan dalam laporan laba rugi menurut PSAK No. 1 (revisi 1998) ditambah dengan informasi pendapatan komprehensif lain.
2.        PSAK No. 1 (revisi 2009) mewajibkan entitas untuk menyusun laporan posisi keuangan awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasikan pos-pos dalan laporan keuangannya. Sementara PSAK No. 1 (revisi 1998) tidak mensyaratkan laporan tersebut.

Ketiga, perbedaan mencakup informasi yang harus disajikan dalam laporan keuangan. Menurut PSAK no. 1 (revisi 2009) , laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, dan arus kas. Sementara menurut PSAK No. 1 par 5, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan yang meliputi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban, serta arus kas. Keempat, perbedaan dalam hal penyajian laporan laba rugi komprehensif. Sebelumnya menurut PSAK no. 1 (revisi 1998), perusahaan hanya diwajibkan untuk menyusun laporan laba rugi komprehensif. Untuk itu, perusahaan wajib mencantumkan komponen pendapatan komprehensif lain dalam laporan laba rugi komprehensif yang disusunnya. Pendapatan komprehensif berarti seluruh perubahan ekuitas pemilik perusahaan diluar dari transaksi kontribusi atau distribusi dari dan kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagaimana pemilik perusahaan. Sebelum dikeluarkannya PSAK No. 1 (revisi 2009), informasi mengenai pendapatan komprehensif lain disajikan dalam laporan perubahan ekuitas. Dengan adanya perubahan ini, maka para pengguna laporan keuangan dapat mengetahui semua informasi yang berkaitan dengan perubahan ekuitas pemilik yang bukan berasal dari kontribusi dan distribusi pemilik dalam laporan laba rugi komprehensif. Kelima, perbedaan dalam hal penyajian pos luar biasa. Menurut PSAK No, 1 (revisi 2009) par 84, entitas tidak diperkenankan menyajikan pos-pos penghasilan dan beban sebagai pos luar biasa dalam laporan laba rugi komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), atau catatan atas laporan keuangan. Namun demikian, tidak dijelaskan alasan mengapa pos luar biasa tidak lagi diperkenankan untuk disajikan. Keenam, perbedaan dalam hal pengaturan waktu dikeluarkannya laporan keuangan. Menurut PSAK no. 1 (revisi 1998) par. 38, suatu perusahaan sebaiknya mengeluarkan laporan keuangannya paling lama 4 (empat) bulan setelah tanggal neraca. Sementara dalam PSAK No. 1 (revisi 2009) tidak diatur kapan entitas sebaiknya mengeluarkan laporan keuangannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Armelia Sri Wulandari dan Ratna Wardhani dengan judul “Dampak Pengimplementasian IFRS Terhadap Kualitas Laporan Keuangan di Indonesia: Studi Kasus atas PSAK 30 Tentang Sewa. Dengan menggunakan populasi seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2002-2012 selain Bank dan perusahaan jasa keuangan karena adanya perbedaan operasional dan kebijakan akuntansi. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dimana populasi yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah yang memenuhi beberapa kriteria. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa seiring dengan berkembangnya kebutuhan akan sumber pembiayaan alternatif yaitu sewa, kebutuhan akan standar akuntansi sewa juga semakin meningkat. Pada awalnya standar akuntansi sewa dibuat berdasarkan US GAAP yang dikenal sebagai a rule based standard. Pada periode 1994-2004 standar akuntansi di Indonesia diubah menjadi berdasarkan IFRS yang lebih principle based. Standar akuntansi yang principle based lebih mengutamakan substansi ekonomi transaksi, sehingga kualitas informasi akuntansi akan meningkat dengan diimplementasikannya IFRS. dalam penelitian ini dilakukan pengujian dengan memperbandingkan value relevance dari informasi akuntansi sewa yang dibuat PSAK 30 (1994) dan PSAK 30 (revisi 2007) dan PSAK 30 (revisi 2011). Hasil penelitian menunjukkan value relevance dari informasi akuntansi yang dibuat berdasarkan PSAK 30 (revisi 2011) lebih tinggi dai informasi akuntansi yang dibuat berdasarkan PSAK 30 (revisi 2007), dan value relevance informasi akuntansi yang dibuat berdasarkan PSAK 30 (1994). Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya perbedaan value relevance dari infromasi akuntansi yang menggunakan model sewa pembiayaan dan sewa operasi, dimana sewa pembiayaan lebih value relevance. Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya peningkatan lebih value relevance baik dari informasi akuntansi yang menggunakan model sewa operasi dan sewa pembiayaan dengan direvisinya PSAK 30 (1994) menjadi PSAK 30 (revisi 2007) dan PSAK 30 (revisi 2011). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengimplementasian IFRS melalui PSAK 30 (revisi 2007) dan PSAK 30 (revisi 2011) mengakibatkan peningkatan kualitas laporan keuangan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian. Dalam penelitian tersebut magnitude dari nilai sewa terhadap total hutang diabaikan, karena keterbatasan ketersediaan data dalam melakukan constructive operating lease. Dalam penelitian ini juga tidak di kontrol perubahan yang disebabkan oleh PSAK lain yang diterbitkan sepanjang tahun 2002-2006. Pengujian normalitas data tidak menggunakan metode statistik hitung, tetapi hanya menggunakan rule of thumb dari central limit theorem.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekaputri Ciptani Febriati dengan judul “Analisis Penerapan PSAK 55 atas Cadangan kerugian Penurunan Nilai”. Dalam penelitian tersebut, penulis menggunakan jenis komparatif, yaitu membandingkan teori yang terdapat di PSAK 55 (revisi 2011) dengan praktek yang dilakukan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Berdasarkan hasil penelitian maka disimpulkan dalam pengakuan dan pengukuran Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang diterapkan PT. Bank Rakyat Indonesia. Tbk telah sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2011). Proses pengakuan CKPN oleh PT. Bank Rakyat Indonesi. Tbk dicatat pada biaya perolehan diamortisasi diukur menggunakan suku bunga efektif awal instrumen, serta mempertimbangkan seluruh eksposur pinjaman yang diberikan, bukan hanya yang berkualitas rendah dalam proses estimasi terhadap penurunan nilai. Sedangkan pada proses pengukuran CKPN oleh PT. Bank Rakyat Indonesia. Tbk, aset keuangan dievaluasi secara kolektif diukur berdasarkan kerugian historis yang pernah dialami perusahaan, yaitu membandingkan tingkat kerugian historis aset keuangan tersebut dengan tingkat kerugian historis dengan aset serupa yang telah diobservasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Eva Maria dengan judul “Penerapan PSAK 16 (revisi 2007) dan PMK No. 79 tahun 2008 tentang aset tetap pada perusahaan di Indonesia”. Menyimpulkan bahwa secara fiskal perusahaan mengalami kerugian, maka sebaikanya perusahaan melakukan revaluasi atas aset tetapnya, karena dalam pembayaran pajak perusahaan akan lebih menguntungkan. Sebaliknya, jika secara fiskal perusahaan mengalami laba, maka revaluasi aset tetap sebaiknya tidak dilakukan, karena dalam pembayaran pajak perusahaan akan mengalami kerugian jika dibandingkan dengan bila perusahaan tidak melalukan revaluasi aset tetap. Jika boleh untuk memilih, maka perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia akan cenderung tetap mencatat aset tetapnya seharga nilai perolehan, hal ini disebabkan karena sistem perpajakan di Indonesia tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset dikenai pajak final sebesar 10 % dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aset turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revaluation model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final . padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastika perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Selain itu jika perusahaan memakai revaluation model, maka siap-siap untukkeluar uang lebih banyak untuk menyewajasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknyaaset tetap yang tidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepadajasa penilaiakan besar untuk menilai aset-aset ini. Kemudian yang jadi masalahjika temyata nilaiwajar yang ditetapkan penilai berbeda dengan nilai wajar yang di tetapkan auditor dari akuntan publik, biasanya nilai wajar dari auditor yang akan dipakai. Sistem pencatatanakuntansi juga sedikit lebih rumit daripada memakai historical cost. Ketika perusahaanpertama kali berubah dari historical cost model ke revalution model, maka akumulasipenyusutan di hapus dan beban penyusutan dihitung kembali berdasarkan nilai wajar yang baru. Demikian selanjutnya apabila revaluasi menerbitkan nilai baru, maka bebanpenyusutan dihitung kembali .
Penelitian yang dilakukan oleh Glyceria ayu wijayanti dengan judul “Analisis Manajemen Laba di Tingkat Segmen Sebelum dan Sesudah Penerapan Adopsi IFRS 8 Menjadi PSAK 5 (2009) pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di BEI. Dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa standar IFRS 8 mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi segmen yang ada dengan jujur. Aturan tersebut diharapkan mampu menekan atau lebih membatasi perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajer. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa manajemen laba di tingkat segmen dengan Discretionary Unallocated Cost yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI cenderung sangat kecil. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata manajemen laba di tingkat segmen dengan jumlah yang sangat kecil. Rata-rata manajemen laba setelah adopsi IFRS 8menjadi PSAK No. 5 (2009) bahkan cenderung mengalami penurunan. Dengandemikian, dugaan penelitian bahwa perusahaan yang telah mengadopsi IFRScenderung memiliki tingkat manajemen laba yang lebih rendah daripadasebelum mengadopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009) dapat diterima. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa dugaan dapat diterima,namun dari pengujian hipotesis dapat diketahui bahwa tidak terdapatpenurunan yang signifikan pada manajemen laba di tingkat segmen sebelumdan setelah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009). Hal ini terjadi karenasebagian besar sampel perusahaan manufaktur multisegmen yang terdaftar diBEI mengalami peningkatan manajemen laba, dan sebagian lainnya mengalamipenurunan bahkan ada kemungkinan cenderung tidak melakukan manipulasilaba di tingkat segmen melalui Discretionary Unallocated Cost baik sebelumataupun sesudah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009). Tidak adanya penurunan yang signifikan pada manajemen laba di tingkatsegmen menunjukkan bahwa adopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009) tidakmemberikan perbedaan terhadap tingkat aktivitas manajemen laba padaperusahaan manufaktur multisegmen yang terdaftar di BEI. Meskipun adopsiterhadap IFRS 8 sudah dilakukan, namun masih terdapat perusahaan yangmengalami peningkatan manajemen laba. Hal ini terjadi karena perilakuoportunis yang dimiliki oleh manajer. Sebaik apapun standar yang digunakan,jika manajer tetap memiliki perilaku oportunis yang ingin mengutamakankepentingan pribadi maka tindakan-tindakan seperti manajemen laba masihsulit untuk ditekan.















Daftar Pustaka

Tjandra, Gerry. 2014. “Dampak Penerapan PSAK 24 (revisi 2010), FAS 158 dan ED PSAK 24 revisi 2013 Imbalan Paska kerja Program Imbalan Pasti”. Media Bisnis Vol. 6, No. 1. STIE Trisakti.
Eliza, Any. 2012. “Tinjauan Atas PSAK No. 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan dan Perbedaannya dengan PSAK No. 1 (revisi 1998)”. Jurnal Ilmiah ESAI Volume 6, No. 2.
Sitopu, Armelia Sri Wulandari dan Dr. Ratna Wardhani. 2014. “Dampak Pengimplementasian IFRS Terhadap Kualitas Laporan Keuangan di Indonesia: Studi Atas PSAK 30 Tentang Sewa”. SNA 17 Mataram. Universitas Indonesia.
Tyas, Esti Laras Aruming. 2013. “Evaluasi Penerapan Standar Akuntansi Keuangan Dalam Pelaporan Aset Biologis (studi kasus pada koperasi “M”). Universitas Brawijaya.
Febriati, Ekaputri Ciptani. 2013. “Analisis Penerapan PSAK 55 atas Cadangan Kerugian Nilai”. Jurnal EMBA Vol. 1, No. 3. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Paath, Chintya Lidya Amelia. 2015. “Evaluasi Penerapan PSAK 24 Revisi 2010 Mengenai Imbalan Kerja Khususnya Imbalan Setelah Bekerja Pada Bank Sulut”. Jurnal EMBA Vol.3, No. 1. Univesitas Sam Ratulangi Manado.
Kusumawardhani, Anggi Puspita. 2014. “Dampak Penerapan Nilai Wajar Berdasarkan PSAK 13: properti Investasi (revisi 2011) Terhadap Laba Perusahaan”. Skripsi. Universitas Jember.
Pratama, Yongka Arief. 2014. “Perbedaan Kualitas Laba Sebelum dan Sesudah Adopsi International Accounting Standards (IAS) 39 Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”. Karya ilmiah tidak dipublikasikan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Wijayanti, Glyceria Ayu. 2014. “Analisis Manajemen Laba di Tingkat Segmen Sebelum Dan Sesudah Penerapan Adopsi IFRS 8 Menjadi PSAK 5 (2009) Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di BEI”. Karya ilmiah yang tidak dipublikasikan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Chariri, Anis. 2010. “Menguji Kualitas Standar Akuntansi Hasil Adopsi IFRS: Studi Empiris Pada PSAK No. 55 (revisi 2006)”. SNA XIII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar