28/04/15

Pengungkapan Cash Value Added and Economic Value Added



Pasar modal merupakan tempat dimana berbagai instrumen keuangan diperjualbelikan. Pasar modal berperan besar dalam menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan suatu negara, termasuk di Indonesia. Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal telah menggariskan bahwa pasar modal mempunyai posisi strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Pasar modal menjadi sarana pendanaan bagi perusahaan maupun istutusi pemerintah, sekalaigus sarana bagi masryarakat untuk melakukan kegiatan investasi. Pemilik dana atau investor banyak yang tertarik untuk berinvestasi di pasar modal karena ingin mendapatkan keuntungan dari tabungan maupun deposito. Namun keuntungan yang lebi besar ini sejalan denga resiko yang dihadapi. Investasi dipasar modal tidak dijamin oleh pemerintah, sehingga suatu waktu investro dapat merugi karena investasinya tidak bernilai sama sekali. Tabungan, deposito, dan bentuk investasi bebas risiko lainnya, meskipun bunga nya kecil, cukup aman karena dijamin pemerintah melalui lembaga penjamin simpanan (LPS). Semakin besar risiko investasi, semakin besar pula potensi keuntungan. Karena itu, meskipun instrumen keuangan di pasar modal menjanjikan keuntungan yang lebih besar, investor perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan perusahaan tempat dia akan berinvestasi.
Salah satu instrumen keuangan yang aktif diperjualbelikan di pasar modal adalah saham. Saham merupakan bukti kepemilikan atau penyertaan modal seseorang dalam suatu perusahaan. Bentuk saham adalah selembat kertas yang menyatakan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat tersebut. Pemegang saham ini berhak atas keuntungan yang diperoleh perusahaan. Karena itu, salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan investor dalam memilih saham perusahaan untuk berinvestasi atau untuk mempertahankan saham yang dimiliki adalah dengan melihat stock return atau tingkat pengembalian ssaham perusahaan. Return atau tingkat pengembalian saham merupakan manfaat atau keuntungan yang diterima investor atas investasinya dalam perusahaan. Karena dihitung berdasarkan harga saham perusahaan yang seringkali naik turun, nilai return tidak pasti setiap tahunnya, tergantung kinerja perusahaan. Adanya ketidakpastian ini kemudian mendorong investor menggunakan berbagai cara atau metode untuk memilih saham perusahaan yang tepat untuk meminimalkan risiko investasi. Untuk memutuskan memilih atau mempertahankan investasinya di suatu perusahaan, investor akan menilai kinerja perusahaan tempatnya berinvestasi menggunakan berbagai metode. Penilain kinerja ini dilakukan atau dihitung berdasarkan nilai-nilai yang tercantum pada laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan. Kinerja perusahaan ini merupakan gambaran atau indikator yang menunjukkan kelayakan sebuah saham dipilih sebagai instrumen investasi. Saham perusahaan dianggap layak harga atau return saham perusahaan tersebut. Idealnya, kinerja perusahaan berbanding lurus dengan kesejahteraan pemegang sahamnya. Oleh karena tujuan utama investor adalah memaksimalkan return, maka dibutuhkan suatu pengukuran kinerja berhubungan dengan return, yang menggambarkan kesahteraan pemegang saham.
Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam pengukuran kinerja keuangan tradisional, dikembangkanlah suatu pemikiran atau konsep pengukuran berdasarkan nilai yang dikatakan mampu menjelaskan kinerja saham perusahaan secara lebih akurat, yakni pengkuran kinerja keuangan berdasarkan nilai (value based) yang dikenal dengan value based management (VBM) memasukkan biaya modal dalam perhitungannya. Dengan memasukkan biaya modal (cost of capital) perusahaan dalam perhitungannya, VBM dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi potensi penciptaan nilai (value-creating) dari perusahaan. VBM pada dasarnya menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham. Jika laba yang diperoleh lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan, sehingga dasar perhitungannya adalah mengurangkan laba dengan biaya modal. Value based measurement (VBM) merupakan metode pengukuran kinerja berdasarkan nilai yang dikembangkan para peneliti untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari pengukuran tradisional. Metode ini memasukkan biaya modal dalam perhitunganya, sehingga dapat digunakan untuk menghitung pertambahan nilai perusahaan. Konsepnya adalah nilai (value ) dapat tercipta jika perusahaan yang menginvestasikan modalnya dapat memperoleh return melebihi cost of capital. Value based ini sebenarnya bukan merupakan konsep baru. Konsep ini merupakan pengembangan dari residual income, yaitu selisih antara pendapatan yang diperoleh dengan biaya kapital yang dikeluarkan, VBM pada dasarnya merupakan pendekatan manajemen untuk menjalankan tujuan perusahaan memaksimalkan nilai pemegang saham dengan menghasilkan pengembalian return yang lebih besar dari biaya modalnya.
Kelebihan dari penggunaan metode value based dibandingkan pengukuran akuntansi tradisional antara lain adalah menghitung laba relatif terhadap modalnya, melakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh distorsi yang berasal dari inflasi dan standar akuntansi, seta memasukkan unsur risiko bisnis dalam perhitungan, dengan memasukkan biaya modal (cost of capital) perusahaan dalam perhitungannya, VBM dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi potensi penciptaan nilai dari perusahaan. Karena VBM pada dasarnya menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham jika laba yang diperoleh lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan, maka dasar perhitungannya adalah mengurangkan laba dengan modal. Jika pengembalian yang dihasilkan perusahaan melebihi biaya modalnya maka perusahaan tersebut memiliki pengembalian positifdan karena itu meningkatkan nilai pemegang saham. Value (nilai) dari suatu perusahaan merupakan fungsi dari investasi, aliran kas, umur ekonomi aset, dan biaya kapiral, sehingga pengukuran nilai perusahaan yang baik adalah mencakup keempat variabel tersebut, terdapat empat pengukuran utama dalam VBM, yakni economic value added (EVA), cash value added (CVA), cash flow return on investment (CFROI), dan shareholder value analysis (SVA). Dan metode yang paling umum digunakan adalah EVA dan CVA.
Economic value Added (EVA) diperkenalkan pertama kali oleh Stren Steward management Service sebuah konsultan di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. EVA dipakai sebagai alat untuk menilai kinerja suatu pusat investasi. EVA merupakan pembaharuan dari economic profit atau residual income yang diperkenalkan lebih dari dua abad yang lalu. EVA tidak hanya digunakan sebagai ukuran dari kinerja perusahaan dan sebagai dasar pemikiran sistem bonus, tetapi juga merupakan indikator dari nilai yang diciptakan (value created) atau dihancurkan (value destroyed) dari pemegang saham. Jika pasar total dari perusahaan melebihi dari modal yang diinvestasikan maka perusahaan telah menciptakan nilai bagi pemegang saham, sebaliknya jika nilai pasar total dari perusahaan lebih rendah dari modal yang diinvestasikan maka perusahaan telah mengalami penghancuran nilai dari pemegang saham. Konsep EVA memiliki prinsip bahwa keberhasilan manajemen diukur berdasarkan nilai tambah ekonomis yang diciptakan selama periode tertentu. Dengan identifikasi aktivitas value added dan nonvalue added maka manajemen berupaya menambah aktivitas yang value added dan mengurangi/menghilangkan aktivitas nonvalue added.  Dalam menghitung EVA, dilakukan beberapa penyesuaian untuk menghilangkan distorsi akuntansi yang terkandung dalam laporan keuangan. Penyesuaian ini dilakukan terhadap NOPAT dan total kapital perusahaan dan disebut degan ekuivalen ekuitas. Penyesuaian terhadap nilai buku tersebut membuat nilai buku kapital berubah menjadi nilai kapital yang sebenarnya dimiliki perusahaan dan NOPAT menjadi lebih akurat dalam merefleksikan aliran kas yang dihasilkan dari operasi perusahaan.
Beberapa ekuivalen ekuitas yang dapat dilakukan antara lain:
1)             Deffered income tax reserve
Merupakan kumulatif perbedaan pajak yang dicatat secara akuntansi dengan pajak yang telah dibayarkan. Dengan menambahkan peningkatan defrred taxex ke dalam lab, maka NOPAT hanya akan terbebani oleh pajak yang benar-benar dibayar.
2)             LIFO resereve
Merupakan perbedaan nilai antara perhitungan persediaan dengan metode FIFO dan Lifo. LIFO resereve menunjukkan seberapa besar penurunan nilai persediaan karena menggunakan metode FIFO. Penambahan LIFO resereve pada kapital akan merubah penilaian persediaan dari metode LIFO menjadi FIFO, sehingga lebih mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
3)             Akumulasi amortisasi goodwill
Dengan menambahkan akumalasi amortisasi goodwill ke dalam kapiral dan menambahkan amortisasi per periode ke dalam NOPAT, maka aliran kas yang sebenarnya akan terefleksikan.
4)             Unrecorded goodwill
Bilai akuisisi dilakukan dengan moetode pooling of interst maka goodwill tidak akan tercatat. Karena nilai akuisisi yang sebenarnya tidak dicatat, maka tingkat pengembalian akan overstated. Unuk itu, goodwill yang tidak tercatat ini ditambahkan ke dalam kapital.
5)             Intangible
Nilai kapitalisasi dari intangible assets ditambahkan ke dalam total kapital, sedangkan perubahan setiap periodenya ditambahkan ke dalam NOPAT.
6)             Successful efforts to full cost
Perusahaan yang menggunakan metode pencatatan successful effort akan menghasilkan perhitungan tingkat pengembalian yang overstated. Karena itu, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengubah metode pencatatan menjadi metode full cost.
7)             Equity equipment reserve lainnya
Untuk mendekatkan kepada aliran kas yang sebenarnya, masih banyak penyesuaian lain yang dapat dilakukan. Contohnya, bad debt reserve, inventory obsolesce, warranties, deferred income reserve. Bila hal tersebut merupakan bagian dari operasional perusahaan, maka reserve tersebut merupakan ekuivalen ekuitas. Namun jika tidak terjadi secara periodik, maka tidak perlu dilakukan penyesuaian.
           
Namun metode EVA ini memiliki kelemahan, yakni sulitnya memilih ekuivalen ekuitas. Setiap industri membutuhkan penyesuaian yang berbeda-beda, tergantung sifat industrinya. Penyesuaian ini juga membuat perhitungan EVA menjadi kompleks dan rumit. EVA juga tidak dapat dipakai dalam semua industri. EVA baik diterapkan untuk perusahaan sektor jasa dan manufaktur, namun kurang cocok untuk institusi finansial dan perusahaan yang baru berdiri. Kelemahan lainnya adalah kesulitan dalam mengestimasi biaya kapital.
Metode cash value added (CVA) merupakan jenis lain pengukuran kinerja berdasarkan nilai yang dikembangkan oleh Boston Consulting Group. Metode CVA memilki konsep yang mirip dengan EVA. Perbedaan dari keduanya adalah CVA menggunakan aliran kas dari operasi sebagai dasar perhitungan laba perusahaan. CVA memiliki semua manfaat dari EVA dan mencoba memperbaikinya dengan memilih menggunakan cash flow daripada net income atau profit, karena net income mengandung distorsi akibat penggunaan prinsip akuntansi. Selain itu, CVA menambahkan depresiasi dan akrual ke NOPAT dalam menghitung aliran kas dari operasi yang termasuk dalam CVA. Dengan ditambahkannya depresiasi kembali, maka pengukuran ini tidak terpengaruh oleh kebijakan depresiasi perusahaan.Aliran kas dari operasi , yang dijadikan sebagi dasar perhitunga laba pada metode CVA, merupakan jumlah uang yang benar-benar diperoleh perusahaan dari aktivitas operasi perusahaan. Dengan hanya melihat pada aliran kas yang benar-benar terjadi, maka distori akuntansi dapat dihilangkan. Depresiasi ekonomis adalah jumlah yang harus disisihkan setiap tahunnya selama umur ekonomis dari aset, dimana jumlah seluruh penyisihan pada akhir umur ekonomis sama dengan nilai aset tersebut. Depresiasi ekonomis disini bukan berarti perusahaan harus menyisihkan sejumlah uangnya untuk mengganti asetnya dimasa mendatang, melainkan semacam benchmark dari operasi perusahaan pada periode tersebut.
Secara umum, nilai CVA yang tinggi menguntungkan bagi perusahaan dan investor karena hal tersebut menggambarkan kemampuan perusahaan untuk mengahasikan kas dari satu periode ke periode berikutnta, dengan menciptakan keuntungan yang likuid. Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan konsep CVA dibandingkan dengan EVA adalah:
1)             CVA mengontrol depresiasi, maka dengan menggunakan CVA dapat fokus pada apa yang menjadi alat dalam menciptakan profitabilitas.
2)             CVA dapat mengeliminasi distorsi akuntansi yang masih mungkin timbul dengan menggunakan EVA karena merefleksikan keuntungan yang benar-benar diperoleh perusahaan dalam bentuk uang.
3)             Investor biasanya lebih tertarik dengan cashflow dibandingkan dengan income.
Keunggulan CVA lainnya adalah:
4)             Dibandingkan EVA, perhitungan CVA lebih sederhana karena tidak memerluakan penyesuaian-penyesuaian seperti ekuivalen ekuitas dalam EVA.
5)             Data-data yang diperlukan dalam perhitungan CVA merupakan data yang terdapat dalam laporan keuangan dan lebih mudah didapatkan.
Kelemahan CVA:
1)             Depresiasi ekonomis dihitung berdasarkan asumsi-asumsi umur ekonomis aset, perkiraan laju inflasi selama umur ekonomis aset, dan tingkat biaya kapita yang tidak berubah selama umur ekonomis tersebut. Perbedaan asumsi-asumsi yang digunakan dalam menghitung depresiasi ekonomis dapat menimbulkan hasil perhitungan yang berbeda pula.
2)             Perbedaan pengkatergorian beban oleh perusahaan juga menyebabkan perbedaan hasil perhitungan. Misalnya, biaya riset dapat dianggap beban dan dapat pula dikapitalisasikan. Jika biaya riset dianggap sebagai beban, maka akan mengurangi nilai CVA, yang berarti nilai kinerja perusahaan menjadi lebih kecil.
3)             Perbedaan perhitungan biaya hutang dan ekuitas dalam menghitung biaya modal akan menghasilkan nilai CVA yang berbeda pula.

Penelitian yang dilakukan oleh Edriaty Natalia Napitupul dengan judul “ Hubungan Price-Earnings Ratio (PER) dan Cash Value Added (CVA) Terhadap Return Saham “ data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2008-2009 dengan pendekatan cross-sectional terdapat titil 155 observasi dengan sampel 68 perusahaan. PER dan CVA merupakan metode pengukuran kinerja keuangan perusahaan. Nilai dari PER dan CVA dihitung menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan dan informasi eksternal seperti harga saham, tingkat inflasi, dan suku bunga SBI. Dalam penelitian ini, PER mewakili pengukuran kinerja tradisional dan CVA mewakili metode pengukuran kinerja berdasarkan nilai, yang merupakan pengembangan dari metode tradisional yang dinilai memiliki banyak kelemahan. Nilai kedua metode perhitungan ini digunakan untuk mengukur baik buruknya kinerja perusahaan. Semakin baik kinerja keuangannya, seharusnya perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan pemegang saham yang tercermin dari peningkatan return saham.
Hasil regersei secara parsial menyimpulkan variabel PER menunjukkan bahwa PER memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan rata-rata return saham mingguan. Hal ini berarti semakin tinggi nilai PER suatu perusahaan, return yang diterima pemegang saham atau investor akan menurun. Hal ini mungkin dikarenakan semakin tinggi PER, dapat disebabkan oleh rendahnya laba per saham, sehingga perusahaan dapat dikatakan kurang mampu meningkatkan kekayaan pemegang saham. PER yang tinggi juga menunjukkan harga saham terlalu mahal sehingga menurunkan minat investor untuk membeli saham perusahaan. Akibatnya, harga saham akan menurun dan return saham juga menjadi rendah dan menurun. Hasil regersi secara parsial menyimpulkan variabel CVA memiliki hubungan positif yang signifikan dengan return saham perusahaan. Artinya, semakin tinggi nilai CVA suatu perusahaan, maka return yang diterima pemegang saham atau investor juga tinggi. Hal ini dikarenakan nilai CVA yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan semakin mampu menghasilkan laba berupa kas yang melebihi biaya modalnya. Karena itu, perusahaan dinilai memiliki kinerja keuangan yang baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan atau kekayaan pemegang saham. Hasil pengujian dengan keduan pendekatan membutikan bahwa CVA lebih baik atau lebih unggul dalam menjelaskan return saham jika dibandingkan dengan PER. CVA lebih baik dalam menjelaskan return jika dibandingkan dengan PER.



Daftar Pustaka
D. Venanzi, Financial Performance Measures And Value Creation: The State of Art, SpringerBriefs in Business.
Fernandez, Pablo. 2003. “ Three Residual Income Valuation Methods And Discounted Cash Flow Valuation”.
Gamsakhurdia, Tamar and Keteven Maisuradze. 2014. “The Choice Of Financial Performance Measures As One Of The Most Critical Challenges Facing
Corporation”. European Scientific Journal, Vol. 1.
Hejazi, Rezvan. 2007. “The Information Content Of Cash Value Added  (CVA) and P/E ratio: Evidence on Association with Stock Returns For Industrial Companies in the Tehran Stock Exchange”. Iranian Accounting & Auditing Review, Vol. 14, No. 47.
Irawan, Ronny. 2010. “Pengaruh Economic Value Added Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Manufaktur Yang Tercatat Di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Akuntansi Kontemporer, Vol. 2, No.1.
Liapis, Konstantinos J. 2010. “The Residual Value Models: A Framework for Business Administration”. European Research Studies, Vol. XIII, Issue. 1.
M. Rajesh and N R V Ramana Reddy. 2012. “An Empirical Study On Eva And Mva Approach”. International Journla of marketing, Vol.1, No.3.
Napitupulu, Edriaty Natalia. 2012. “Hubungan Price-Earnings Ratio (PER) Dan Cash Value Added (CVA) Terhadap Return Saham”.  Skripsi Universitas Indonesia.
Ottosson, Erik. 1996. “Cash Value Added- a New Method for Measuring Financial Performance.
Urbanczyk, Edward. 2005. “Economic Value Added Versus Cash Value Added: The Case of Companies in transitional economy, Poland”. International Journal Of Banking and Finance, Vol. 3.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar