28/04/15

Implementasi Manajemen Laba Pada Konvergensi IFRS




Di era globalisasi yang ditandai dengan banyak munculnya perusahaan multinasional kebutuhan akan standar akuntansi internasional memang mutlak diperlukan. Pelaporan keuangan transnasional mensyaraktkan perusahaan harus memahami praktik akuntansi ditempat perusahaan tersebut berkedudukan. Ketika dunia bisnis dapat dikatakan hampir tanpa batas negara, sumber daya produksi (misal uang) yang dimiliki oleh investor di suatu negara tertentu dapat dipindahkan dengan mudah dan cepat ke negara misalnya melalui mekanisme bursa saham. Tentu saja akan timbul suatu masalah ketika standar akuntansi yang dipakai di negara tersebut berbeda dengan standar akuntansi yang dipakai di negara lain. Investor dan kreditor serta calon investor dan calon kreditor akan menemui banyak kesulitan dalam memahami laporan keuangan yang disajikan dengan standar yang berbeda-beda. Hal tersebut yang mendorong timbulnya standar akuntansi internasional (IFRS) yang dirumuskan oleh IASB (International Accounting Standard Board).
Manfaat dari adanya suatu standar global:
1.          Pasar modal menjadi globa dan modal investasi dapat bergerak di seluruh dunia tanpa hambatan berarti. Standard pelaporan keuangan berkualitas tinggi yang digunakan secara konsisten di seluruh dunia akan memperbaiki efisiensi alokasi lokal.
2.                  Investor dapat membuat keputusan yang lebih baik.
3.        Perusahaan-perusahaan dapat memperbaiki proses pengambilan keputusan mengenai marger dan akuisisi.
4.     Gagasan terbaik yang timbul dari aktivitas pembuatan standar dapat disebarkan dalam mengembangkan standar global yang berkualitas tertinggi.

Sedangkan dari sisi akuntansi diharapkan akan meningkatkan kualitas laporan keuangan ddengan meningkatnya komparabilitas laporan keuangan, dan transparasi bagi para pengguna salah satunya mengurangi adanya peluang yang memungkinkan munculnya manajemen laba di setiap pelaporan keuangannya.
Indonesia sebagai salah satu Negara G20 juga telah memuuskan untuk konvergensi ke IFRS. Konvergensi sendiri berarti to become similar or the same. Dengan demikian konvergensi ke IFRS dapat diartikan membuat standar akuntansi suatu Negara sama dengan IFRS. Konvergensi standar akuntansi dapat dilakukan dengan 2 (dua cara) yaitu: adopsi (mengambil langsung dari IFRS) dan harmonisasi secara sederhana dapat diartikan bahwa suatu negara tidak mengikutisepenuhnya standar yang berlaku secara internasional. Negara tersebut hanya membuat standar akuntansi yang mereka miliki tidak bertentangan dengan standar akuntansi internasional. Mengingat standar akuntansi tidak terlepas dari tata hukum, social, ekonomi dan budaya suatu negara maka pengertian konvergensi ke IFRS lebih masuk akal untuk harmonisasi. Konvergensi standar akan mengahapus perbedaan tersebut perlahan-lahan dan bertahap sehingga nantinya tidak akan ada lagi perbedaan antara standar negara tersebut dengan standar yang berlaku secara internasional. Dalam perkembangannya, standar akuntansi yang awalnya single standard telah berubah menjadi triple standard, yaitu: pertama, standar akuntansi entitas tanpa akuntabilitas publik yang digunakan untuk perusahaan kecil dan menengah atau perusahaan yang tidak memiliki akuntabilitas public dan tidak memiliki fungsi fiducia, atau perusahaan yang mempunyai fungsi fiducia tetapi diwajibkan oleh regulator menggunakan standar SAK ETAP contohnya BPR. Kedua, standar akuntansi syariah, yang digunakan oleh entitas yang melakukan transaksi berbasis syariah, ketiga adalah standar akuntansi berbasis IFRS yang digunakan untuk entitas yang mempunyai fungsi fiducia dan mempunyai pertanggungjawaban public. Kendala dalam harmonisasi PSAK ke dalam IFRS.
1.                  Dewan standar akuntansi yang kekurangan sumber daya
2.                  IFRS berganti terlalu cepat sehingga ketika proses adopsi suatu standar IFRS masih dilakukan, pihak IASB sudah dalam proses mengganti IFRS tersebut.
3.                  Kendala bahasa, karena setiap standar IFRS harus diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dan acapkali ini tidaklah mudah.
4.                  Infrastruktur profesi akuntan yang belum siap. Untuk mengadopsi IFRS banyak metode akuntansi yang baru harus dipelajari lagi oleh para akuntan.
5.                  Kesiapan perguruan tinggi dan akuntan pendidik untuk berganti kiblat ke IFRS.
6.                  Support pemerintah terhadap issue konvergensi.

Penyesuaian terhadap IFRS memberikan manfaat terhadap ketebandingan laporan keuangan dan peningkatan transparasi. Melalui penyesuaian maka laporan keuangan perusahaan indonesia akan dapat diperbandingkan dengan laporan perusahaan dari negara lain, sehingga akan sangat jelas kinerja perusahaan mana yang lebih baik dan dapat meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan. Selain itu program konvergensi IFRS juga mengurangi biaya modal (cost of capital) dengan membuka peluang penggalangan dana melalui pasar modal secara global, meingkatkan investasi global, dan mengurangi beban penyusunan laporan keuangan, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan, meningkatkan komparabilitas laporan keuangan dan menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. Disisi lain tujuan konvergensi IFRS adalah agar laporan keuangan berdasarkan PSAK tidak memerlukan rekonsiliasi signifikan dengan laporan keuangan berdasarkan IFRS dan kalaupun ada diupayakan hanya relatif sedikit sehingga pada akhirnya laporan auditor menyebut adanya kesesuaian dengan IFRS. Secara rinci manfaat adopsi IFRS adalah sebagai berikut:
a.                  Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan standar akuntansi keuangan yang dikenal secara internasional (enchance comparability).
b.                  Meningkatkan arus investasi global melalui transparasi.
c.                  Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.
d.                 Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
e.                  Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management.

Manajemen laba dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya menyiasati beberapa kelonggaran yang diperbolehkan dalam standar akuntansi keuangan. Manajemen laba depat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.                  Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi yaitu manajemen dapat mempengaruhi laba melalui perkiraan terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi asset tetap atau amortisasi asset tidak berwujud, estimasi biaya garansi, dll.
b.                  Mengubah metode akuntansi, yaitu melakukan perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk memcatat suatu transaksi. Contoh mengubah depresiasi asset tetap dari metode jumlah angka tahun ke metode garis lurus.
c.                  Menggeser periode biaya atau pendapatan, yaitu melakukan pergeseran periode biaya atau pendapatan. Misalnya dengan menunda atau mempercepat pengeluaran penelitian sampai pada periode akuntansi berikutnya, menunda atau mempercepat pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda produk ke pelanggan, mengatur penjualan asset tetap perusahaan.

Fenomena manajemen laba seperti dua sisi mata uang. Pada satu sisi terang, earnings management adalah produk yang ’legitimate’, sedangkan disisi lain (sisi gelap), earnings management dianggap sebagai produk dari suatu tindakan yang immoral dan unethical. Earnings management oleh sebagian kalangan dianggap sebagai proffesional judgement atas laporan keuangan, tetapi dapat menyesatkan (mislead) pihak stakeholder dalam melakukan interpretasi terhadap performa ekonomi (economic performance) suatu perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pihak manajemen telah dengan sengaja melakukan tindakan manipulasi atau tindakan lainnya yang dapat mempengaruhi laporan keuangan. Konsekuensinya akan lebih luas bila earnings management dilakukan oleh manajemen perusahaan go publik, pihak investor akan terlihat bodoh bila mempercayai laporan keuangan tersebut. Biasanya hal ini dilakukan oleh pihak manajemen yang mempunyai keyakinan kuat bahwa pihak investor tidak mempunyai akses informasi kedalam perusahaan, sehingga investor akan melihat laporan keuangan tersebut sebagai laporan yang true report. Bila manajemen tidak mempengaruhi atau memanipulasi laporan keuangan, maka dapat disimpulkan bahwa earning quality telah bernilai positif. Data-data yang dilaporkan berarti dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Tanpa campur tangan earnings management, berarti laporan keuangan telah benar-benar merefleksikan kondisi sebenarnya suatu perusahaan dan akan membantu pihak stakeholder dalam memprediksi performa ekonomi perusahaan tersebut dimasa datang. Sebagian kalangan-terutama kalangan akademisi, melihat bahwa earnings management terlihat “sangat menakutkan”, karena aktivitas ini sangat berhubungan dengan moralitas dari manajemen.
Laporan keuangan sangat dibutuhkan oleh pemakai informasi karena dapat digunakan untuk memenuhi 4 (empat) hal, yaitu: 1) pemilik perusahaan, 2) keberlangsungan usaha, 3) investasi masa depan, dan 4) prestasi (manajemen). Laporan laba bagi kepentingan pemilik perusahaan berarti laporan laba berguna sebagai isi informasi laba dalam penyajian laporan keuangan dan setidaknya dapat menambah keuntungan secara pribadi pemilik perusahaan. Laporan laba menyangkut keberlangsungan usaha berarti hal ini didasarkan pada asumsi bahwa usaha dapat berlangsung bila ada ketersediaan kas sebagai modal usaha dalam perusahaan. Laporan laba berguna bagi investasi masa depan berarti informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan masa depan menyangkut investasi usaha. Laporan laba berguna bagi peningkatan prestasi karyawan berarti laporan ini dapat mempengaruhi posisi atau kedudukan serta prestasi karyawan. Informasi laba dalam praktiknya dapat mempengaruhi perilaku para pemakai informasi laporan keuangan, khususnya pihak investor dan kreditor. Apalagi dalam negara yang perekonomiannya terdapat mekanisme pasar modal di dalamnya. Laba (earnings), kemampuan menghasilkan laba (earnings power), dan kemampuan menciptakan kas (cash generating power) badan usaha dianggap sebagai indikator yang dapat mempengaruhi perilaku partisipan di pasar modal. Informasi laba ini dibutuhkan oleh investor dan kreditor sebagai dasar keputusan terhadap tingkat pengembalian yang mereka investasikan. Karena besarnya manfaat yang diberikan oleh laporan keuangan inilah, maka dibentuk sebuah aturan dalam proses pelaporan keuangan (financial reporting) yang disebut dengan prinsip akuntansi berterima umum (PABU) atau generally accepted accounting principles (GAAP). PABU adalah rerangka pendoman yang terdiri atas standar akuntansi dan sumber-sumber lain yang didukung berlakunya praktik akuntansi secara resmi (yuridis), teoritis, dan praktis. Standar akuntansi berarti semua konsep, ketentuan, prosedur, metoda, dan teknik yang tersedia secara teoritis maupun praktis dalam proses pelaporan keuangan. Sedangkan sumber-sumber lain bisa dalam bentuk praktik yang tidak diatur dalam standar akuntansi termasuk peraturan badan autoratif lain, kebiasaan dan konvensi yang membentuk praktik pelaporan keuangan yang sehat.
Tujuan dibentuknya prinsi-prinsip PABU sebagai aturan dalam pelaporan keuangan adalah untuk menyeragamkan proses pelaporan keuangan (financial reporting) berikut hasilnya berupa laporan keuangan (financial statment) pada setiap entitas bisnis yang ada dalam sebuah negara, sehingga dapat mempermudah dalam proses pengauditan (auditing) atas kewajaran dalam pelaporannya. Tujuan lainnya adalah untuk mengukur tingkat keterbandingan (comparability) antara laporan keuangan entitas bisnis yang satu dengan yang lainnya, sehingga akan memperlihatkan keterbandingan tingkat kinerja keuangannya. Dengan diterapkannya PABU oleh setiap entitas bisnis, maka diharapkan laporan keuangan yang dihasilkan nantinya memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas laporan keuangan yang tinggi dapat dilihat dari karateristik-karakteristik kualitatif yang mendukungnya. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa terdapat empat karakteristik kualitatif pokok, yaitu dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat diperbandingkan. Laporan keuangan dapat dipahami berarti laporan keuangan memiliki tingkat kemudahan yang tinggi untuk segera dipahami oleh pemakai. Laporan keuangan relevan berarti informasi yang dihasilkan laporan keuangan harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Laporan keuangan memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan. Kesalah material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur dari yang seharusnya disajikan atau secara wajar diharapkan dapat disajikan. Laporan keuangan dapat diperbandingkan berarti laporan keuangan harus dapat diperbandingkan antar periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan (trend) posisi dari kinerja keuangan.
Dalam tataran normatif, PABU diatas memang dapat memberikan jaminan atas kualitas laporan keuangan yang diterbitkan oleh entitas bisnis. Tetapi dalam tataran praktis, standar akuntansi memiliki keterbatasan – keterbatasan yang dapat dijadikan laporan keuangan menjadi kurang andal (reliable). Keterbatasan-keterbatasan tersebut diantaranya adalah: 1) fleksibilitas penerapan metode akuntansi yang menyebabkan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektifitas dalam menyusun metode akuntansi yang dipilih, 2) penentuan waktu untuk pengeluaran-pengeluaran yang bersifat discretionary dapat dipergunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi laba, yaitu dengan mempercepat atau menunda pengeluaran-pengeluaran tersebut dan menggesernya pada periode-periode yang lain. Keterbatasan laporan keuangan lainnya yaitu laporan keuangan yang berisi data masa lalu sehingga memiliki keterbatasan informasi jika dikaitkan dengan likuiditas perusahaan pada masa yang akan datang. Keterbatasan laporan keuangan di atas, pada praktiknya menimbulkan aktivitas manajemen laba oleh pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangannya. Manajemen laba adalah tindakan yang ditunjukan untuk memaksimumkan utilitas manajer dan cenderung untuk menguntungkan diri mereka sendiri dengan cara mempengaruhi proses pelaporan keuangan. Manajemen laba adalah cara yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi angka laba secara sistematis den sengaja dengan cara memilih kebijakan akuntansi dan prosedur akuntansi tertentu yang bertujuan untuk memaksimumkan utilitas manajer dan atau nilai pasar dari perusahaan.
 Menurut Yona Octiani Lestari dalam penelitian yang berjudul “Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Manajemen Laba Di Indonesia “ menyimpulkan bahwa peralihan kepada konvergensi IFRS diharapkan akan membawa dampak positif diantaranya adalah sisi pelaporan keuangan. Dengan adanya konvergensi IFRS maka akan tercipta suatu pelaporan yang seragam, sehingga memudahkan para pengguna laporan keuangan untuk melakukan kebijakan yang terkait dengan performa laporan keuangan suatu perusahaan. Dan hal ini akan memudahkan investor lintas negara untuk melakukan kebijakan investasinya. Konvergensi IFRS bertujuan untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang relevan dan reliable sehingga akan tercipta suatu laporan yang lebih berkualitas baik untuk aset, kewajiban, modal, pendapatan dan beban. Standar IFRS berbasis prinsip akan lebih condong pada penggunaan nilai wajar dan pengungkapan yang lebih banyak dan rinci diharapkan dapat mengurangi adanya praktik manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Dian Agustia yang berjudul “ Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow dan Laverage Terhadap Manajemen laba” dengan menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan tahun 2007-2011 dan populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan Textil yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang berjumlah 18 perusahaan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa variabel-variabel good corporate governance (GCG) tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Keberadaan komite audit dan proporsi dewan komisaris di perusahaan publik sampai saat ini masih sekedar untuk memenuhi ketentuan pihak regulator (pemerintah ) saja, sehingga besar kecilnya jumlah komite audit dan proporsi dewan komisaris di perusahaan tidak bisa membatasi terjadinya praktik manajemen laba. Kepemilikan institusional tidak berperan sebagai sophiscated investors. Kepemilikan manajerial juga tidak berpengaruh terhadap manajemen laba karena persentase manajer yang memiliki saham relatif sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan modal yang dimiliki investor umum. Variabel free cash flow berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan perusahaan dengan arus kas bebas yang tinggi cenderung tidak melakukan manajemen laba, karena meskipun tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah bisa meningkatkan harga sahamnya.
Menurut Intan Soraya dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Konservatisma Akuntansi Terhadap Manajemen Laba Dengan Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Pemoderasi” dengan sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah 32 perusahaan manufaktur dari total populasi perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Menyimpulkan bahwa variabel konservatisma akuntansi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Penggunaan income decreasing berkaitan dengan sinyal manajemen mengenai kondisi perusahaan saat ini yang lebih buruk dari yang dilaporkan. Manajemen akan menggunakan sifat kehati-hatian lebih tinggi ketika melakukan metode income decreasing, karena akan terdapat dua kemungkinan yang terjadi akibat pelaporan laba yang rendah. Pertama, kinerja manajemen akan dianggap kurang baik dalam mengelola perusahaan karena tidak menghasilkan laba sesuai dengan target. Kemungkinan kedua pelaku pasar dapar beraksi secara negatif apa bila melihat laba yang overstatment dan akan mendapat masalah ligitasi.
 Manajemen akan menggunakan sifat kehati-hatian agar laba yang dilaporkan tidak oversatate. Sifat kehati-hatian digunakan semakin tinggi manajemen melaporkan laba yang rendah, karena manajemen cenderung kurang agresive dalam melaporkan laba agar tidak terjadi overstate. Semakin tinggi penggunaan praktik konservatisma akuntansi maka semakin tinggi penggunaan praktik manajemen laba. Variabel kepemilikan manajerial dalam penelitian ini diukur berdasarkan perbandingan antara banyaknya saham yang dimiliki manajemen dengan jumlah saham yang beredar yang menunjukan bahwa tidak dapat memoderasi pengaruh konservatisma terhadap manajemen laba. Dikarenakan, besar atau kecilnya penggunaan praktik konservatisma akuntansi dalam manajemen laba tidak didasari oleh kepemilikan manajerial. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham lainnya. Praktik konservatisma akuntansi akan tetap ada, karena ketika manajer memiliki saham di perusahaan akan menimbulkan pengawasan perusahaan yang sangat ketat. Pengawasan perusahaan diiringi dengan sifat kehati-hatian para manajer dalam mengambil keputusan, sehingga besar atau kecilnya kepemilikan manajerial tidak mempengaruhi penggunaan praktik konservatisma akuntansi terhadap manajemen laba. Dengan kata lain, kepemilikan manajerial tidak akan melemahkan atau menguatkan penggunaan konservatisma akuntansi karena praktik konservatisma akuntansi sudah melekat ketika manajemen melakukan praktik manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Glyceria Ayu Wijayanti dengan judul “Analisis Manajemen Laba Di Tingkat Segmen Sebelum Dan Sesudah Penerapan Adopsi IFRS 8 Menjadi PSAK 5 (2009) Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bei”. Dengan sampel 28 perusahaan manufaktur yang terdapat di bei yang menyimpulkan bahwa hasil deskriptif menunjukkan bahwa terdapat penurunan manajemen laba setelah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK No.5 (2009). Nilai rata-rata manajemen laba sesudah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK Nomor 5 (revisi 2009) mengalami penurunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada penurunan aktivitas manajemen laba di tingkat segmen perusahaan setelah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK No. 5 (2009). Penurunan aktivitas manajemen laba tersebut mampu membuat informasi-informasi yang ada pada laporan keuangan menjadi semaki andal untuk digunakan oleh pihak eksternal. Hasil uji hipotesis adalah tidak terdapat penurunan yang signifikan pada manajemen laba di tingkat segmen antara sebelum dan sesudah adopsi IFRS 8 menjadi PSAK Nomor 5 (Revisi 2009) pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2008-2013. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian tidak dapat diterima. Penurunan aktivitas manajemen laba di tingkat segmen yang terjadi sangat sedikit sehingga hasil yang diperoleh pada saat pengujian hipotesis dinilai tidak terdapat penurunan yang signifikan antara sebelum dan sesudah adopsi IFRS 8.
Yona menyimpulkan Peralihan kepada konvergensi IFRS diharapkan akan membawa dampak positif diantaranya adalah sisi pelaporan keuangan. Dengan adanya konvergensi IFRS maka akan tercipta suatu pelaporan keuangan. Dengan adanya konvergensi IFRS maka akan tercipta suatu pelaporan yang seragam, sehingga memudahkan para pengguna laporan keuangan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan performa laporan keuangan suatu perusahaan. Dan hal ini akan memudahkan investor lintas negara untuk melakukan kebijakan investasinya. Konvergensi IFRS bertujuan untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang relevan dan reliable sehingga akan tercipta suatu laporan yang lebih berkualitas baik untuk aset, kewajiban, modal, pendapatan dan beban. Standar IFRS berbasis prinsip akan lebih condong pada penggunaan nilai wajar dan pengungkapan yang lebih banyak dan rinci diharapkan dapat mengurangi adanya praktik manajemen laba.




Daftar Pustaka
Agustia, Dian. 2013. ‘pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow,  dan Leverage Terhadap Manajemen Laba’. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 15, No.1. Universitas Airlangga Surabaya.
Cahyati, Ari Dewi. 2011. ‘ Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS: Sebuah Tinjauan Teoritis Dan Empiris’. JRAK, Vo. 2, No. 1. Universitas Unisma.
Lestari, Yona Octiani. ‘Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Manajemen Laba Di Indonesia. Karya tulis tidak dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Natalia, Irene. 2010. ‘Kualitas Laba Yang Dihasilkan Oleh Pengadopsian International Financial Reporting Standards’. Jurnal Akuntansi Kontemporer, Vol.2, No. 1. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Nuariyanti, Ni Kadek Intan. 2014. ‘Analisis Komparatif Kinerja Perusahaan Sebelum dan Sesudah Konversi ke IFRS’. E-jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.2. Universitas Udayana.
Nurhayati, Ida.  2013. ‘Dampak Konvergensi Standar Akuntansi Keuangan Terhadap International Financial Reporting Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia’. Prosiding Seminar Nasional & Call For Paper. Universitas Stikubank.
Pitasari, Anggita. 2014. ‘ Analisis Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Tingkat Kepatuhan Pengungkapan Konvergensi IFRS Pada Laporan Laba Rugi Komprehensif’. Diponegoro Journal Of Accounting, vol. 03, No. 2. Universitas Diponegoro.

Soraya, Intan. 2014.’Pengaruh Konservatisma Akuntansi Terhadap Manajemen Laba Dengan Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Pemoderasi’. Diponegoro Journal Of Accounting, Vo. 3, No. 3. Universitas Diponegoro.
Senja, Novita. 2012. ‘Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Go Public Tahun 2007-2011’.Karya tulis tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Surabaya.
Wijayanti, Glyceria Ayu. 2013.’Analisis Manajemen Laba Di Tingkat Segemen Sebelum Dan sesudah Penerapan Adopsi IFRS 8 Menjadi PSAK 5 (2009) Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bei’. Karya tulis tidak dipublikasikan. Universitas Atma Jaya Jogyakarta.

1 komentar:

  1. apa ada faktor penyebab munculnya manajemen laba? aku butuh banget untuk bahannya nih, mau kejer target :D

    BalasHapus